Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelajaran dari Pernikahan

28 Maret 2010   18:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:08 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_104747" align="alignleft" width="300" caption="Berita itu adalah pernikahan, berita itu adalah pelajaran. Pelajaran tentang keberanian (Gbr: Google)"][/caption] Awalnya, saya mengira ia bercanda. Saat beberapa bulan lalu, saya masih di Jeuram, Aceh. Mendengar ia ingin untuk menikah. Bahkan ia mengaku sudah ada calonnya. Iya, sebagai seorang kakak yang sok intelek. Cenderung percaya dengan logika. Terlalu mengagung-agungkan analisis. Saya beranggapan semua yang disebutkannya tidak lebih dari bentuk sebuah canda seorang lelaki yang baru menanjak dewasa. Baru 2 tahun melangkahi usia 17. Belum begitu matang dalam hitungan logika umum. Tetapi, kemarin saya mendapat telpon darinya. "Bang, alhamdulillah, kalheueh acara nikah lon. Jinoe lon teungoeh urus keurija." (Terj: Bang, sudah selesai acara pernikahan saya. Sekarang saya sedang mencari pekerjaan). Iya, ini cerita tentang adik kandung saya sendiri, Zulfahmi. Seorang adik yang beberapa tahun lalu memilih meninggalkan bangku sekolah umum, dan menjejakkan kakinya di salah satu pesantren di Surabaya. Sampai kemudian mengabdikan dirinya di cabang pesantren tersebut di salah satu kabupaten di Aceh. Di sana pula ia menemukan calon istri yang sekarang sudah benar-benar menjadi istrinya sendiri. Sebelum pernikahan itu terjadi, ia memang meminta pandangan dari saya sebagai seorang saudaranya yang lebih tua."Bang, pue jeuet menyoe lon keuemeueng meunikah?" (Terj: Bang, apa boleh kalau saya menikah?" Dengan ekspresi tegas--meski masih sedikit menganggap itu canda--, saya mengangguk dan hanya berucap singkat."Abang yakin, kah dek ka rayeuek. Dan kah ka mampu untoek ka pikee pue nyeung get untuk udeep. Meunyoe ka yakin, laksanakan laju. Suai Abang gohlom nikah, nyan hana masalah. Hana alasan han Abang bri izin kah nikah cuma kareuna Abang gohlom." (Terj: Abang yakin, kamu sudah dewasa. Dan kamu sudah mampu untuk berpikir apa saja yang terbaik untuk hidupmu sendiri. Kalau sudah yakin, laksanakan saja. Soal, Abang belum menikah, itu bukan masalah. Bukan alasan, cuma karena Abang belum nikah terus tidak izinkan kamu untuk juga menikah)." Hari ini, niatnya itu sudah dilaksanakan. Dari sana, justru kekaguman saya pada adik saya ini semakin bertambah. Sebab ia sudah berhasil keluar dari ketakutan disebabkan pandangan banyak orang. Bahwa usia seperti dirinya belum matang. Belum siap untuk membina rumah tangga. Tapi saya percaya, logika-logika seperti itu hanyalah ketakutan yang dibungkus dengan alasan-alasan yang seolah cerdas. Padahal keberanian mengambil keputusan untuk sesuatu yang jelas baik, itu sendiri adalah kecerdasan yang sebenarnya. Adik saya sudah keluar dari pencarian alasan yang tidak jelas itu. Maka (lagi) saya membanggakan lelaki muda itu. Dan memang percaya, ia mampu untuk menjalankan perahu rumah tangganya. Adikku memberi pelajaran sangat berharga atas keberanian dalam hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun