Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kelamin Katepe

3 Juli 2010   03:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:07 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_183853" align="alignleft" width="300" caption="Apa saja bisa dibolak-balik jika sudah saatnya untuk dibolak-balik (Gbr: Google Images)"][/caption] Saya tidak berani menyimpulkan bahwa kelamin lebih penting dari banyak hal lainnya di planet bumi ini. Meski terkadang suka tercenung kalau iseng-iseng melihat katepe, jenis kelamin diposisikan di atas agama. Iya, sebaiknya tidak melanjutkan membaca tulisan ini bagi Anda yang suka dengan segala hal yang terlalu serius, sebab yang saya tuliskan ini nyaris bisa saya pastikan samasekali tidak serius. Yap, coba ambil kembali katepe Anda, lihatlah posisi kelamin katepe (menulis begini kesannya katepe memiliki kelamin ya?). Dan di sana, posisi kelamin beberapa tingkat letaknya di atas agama. Nah, Anda bisa saja berujar, lha itu kan cuma kebetulan saja. Tidak ada yang harus dipermasalahkan dari letak urut antara kelamin dan agama. It's okey, tetapi perhatikan segala sesuatu yang bermain dalam hukum tinggi dan rendah. Hukum tersebut berada di semua elemen di bawah langit, bahkan sampai ke langit. Melihat ke atas, mungkin yang lebih dulu terlihat tower-tower yang demikian tinggi, atau mungkin gedung-gedung yang menjulang tinggi. Ke atas lagi, oh ada burung yang bermain lebih atas, dan mereka bisa turun naik--dan memang di mana saja burung bisa turun naik--bisa seolah terlihat menyentuh awan. Tetapi ada juga yang naik tapi tidak turun-turun. Sebaliknya ada yang turun-turun tapi tidak bisa naik-naik. Yang terakhir ini biasanya bisa ditangani oleh tabib-tabib obat tradisional dengan ramuan semacam jamu. Ada juga yang memanfaatkan ekor belut atau langsung minyak belut untuk kemudian dibaluri (lho? Kok jadi lari ke sana?). Baik, serius lagi. Soal atas dan bawah bagi sebagian orang yang mungkin sudah sangat dewasa dan matang pikirannya, bisa jadi itu tidak menjadi sebuah persoalan terlalu penting. Sedang saya mungkin belum terlalu dewasa dan tidak terlalu matang, atau pun setengah matang--andai manusia bisa diibaratkan sate atawa makanan lainnya--, sehingga hal-hal demikian terasa penting sampai kemudian memilih sedikit menguras pikiran untuk renungkan itu. Beberapa teman yang sudah menikah terkadang cerita ke saya, atas dan bawah itu kadang menentukan rasa. Memang agak sulit saya pahami maksud teman ini kemana. Sulit, karena saya sedang memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu apa-apa terkait dengan 'pekerjaan sampingan' orang yang sudah berkeluarga, yang memiliki pasangan hidup. Lalu, ada juga beberapa teman yang berkecimpung dalam dunia politik yang mengatakan. Atas dan bawah itu masalah serius. Sebab kalau sudah di atas, akan lebih mudah untuk melihat kemana-mana. Beda kalau yang di bawah, kesulitan dan melelahkan karena harus selalu melihat ke atas. Harus sering melihat ke atas karena khawatir bisa jadi ada bintang yang tiba-tiba jatuh ke bumi, lalu mereka tidak sempat untuk selamatkan diri. Bisa juga untuk antisipasi segala kemungkinan dari yang kuning sekalipun. Sebab bicara kuning yang bisa pula terlempar ke mereka, kalaupun berupa bongkahan emas, tetap berisiko patah tulang atau mungkin kepala pecah, juga bisa mati saat jatuh ke badannya tanpa diketahui ketika jatuhnya karena enggan melihat ke atas. Walaupun di mana-mana orang banyak menghayal bisa mendapat emas yang jatuh tiba-tiba dari langit. Pun, bukan tidak mungkin sekantung kotoran orang-orang yang bermain di atas. Sebab, karena yang di atas katanya semua cerdas sehingga terkadang berpikir instant syahdan untuk buang kotoran dalam kantong plastik, dilemparkan ke bawah. Sangat tidak mengenakkan jika mengenai kepala, badan atau anggota tubuh mana saja. Analogi yang menjijikkan bukan? Memang. Karena saya juga melihat banyak sekali hal-hal yang menjijikkan di sekitar negeri gemar ripah loh jinawi ini, tetapi sekarang sudah dipandang biasa. Jadi maafkan jika saya juga membuat perumpamaan yang tidak kalah menjijikkan. Nah, mau kemana tulisan ini? Tidak kemana-mana. Masih soal atas dan bawah. Yang di atas jika ingin lemparkan sesuatu ke bawah, lempar yang masuk akal dan tidak merendahkan atau pun malah mematikan yang berada di bawah. Dan jika kemudian terpikir untuk mengangkat yang dibawah untuk naik ke atas, jangan hanya karena alasan variasi untuk mencegah ejakulasi dini (lho?). Tetapi mengangkat karena memang sudah layak untuk diangkat dan dia paham apa saja yang diinginkan di bawah, bagaimana keadaan di bawah dan banyak hal yang berhubungan dengan apa saja yang berada di bawah. Orang yang terus menerus berada di atas, kemudian dibiarkan terus menerus melempar kotoran ke bawah, jatuhkan saja mereka itu. Sebab, yang di bawah katanya juga merupakan tiang-tiang penyangga yang bernyawa. Ketika memang merasa yang diatasnya kelak membuat tiang-tiang itu patah dalam diam karena membiarkan matahari 'menzalimi' penyangga untuk melapuk karena panas atau juga karena hujan sekalipun. Ups, ternyata saya yang tadi ingin bicara tentang katepe malah jadi bicarakan masalah yang saya sendiri bingung, duh. Maaf saudara-saudara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun