Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Kartu Merah

22 Juni 2010   16:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:21 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_174609" align="alignleft" width="300" caption=""][/caption] Gawang Perancis berhasil dirobek-robek oleh bafana bafana Afrika Selatan, lengkap dengan kartu merah sebagai kado pelengkap. Merah yang membuat mata saya merasa begitu tertarik. Entah mungkin karena memang warna merah jamak dianggap sebagai warna paling sensual, seksi atau apapun namanya. Tetapi memang ketertarikan saya pada warna itu sepertinya memang masuk akal--boleh juga kalau disebut ini sebagai sesuatu yang subjektif. Karena warna itu memberi dampak, setidaknya raut wajah sebagian besar pemain kesebelasan dari negeri yang disebut Negeri Mode itu tidak terlalu berbeda jauh dari seorang remaja yang baru mengenal cinta tetapi harus pupus di tengah jalan. Djibril Cisse sepertinya sangat menghayati seperti apa membentuk wajah kecewa, terbukti layar televisi berkali-kali menyorot wajah pemain berwajah sangar tersebut. Merah tidak sederhana. Seperti merahnya wajah kesebelasan yang pernah gemilang bersama Zizou, karena harus rela cuma bisa sarangkan 1 gol saja ke gawang lawan, sedangkan mereka harus ikhlas meskipun dengan sangat terpaksa, laiknya perawan jelita yang dipaksa kawin seperti dalam cerita Siti Nurbaya tertindih Datuk Maringgih. Ups, sepertinya saya harus minta maaf pada orang-orang Afrika Selatan andai tidak sengaja mereka membaca tulisan saya ini yang menyebut tim sepak bola mereka dengan Datuk Maringgih. Akan tetapi saya menyebut seperti itu lebih oleh sebab kepongahan Perancis yang merasa sebagai perjaka gagah, sampai kemudian pelatih mereka sendiri dihujat dan didikte laiknya seorang murid SD yang sedang duduk mendengar pelajaran olahraga dari guru olahraga. Koran-koran mengupas keterbalikan peran itu. Atau, soal Perancis yang durhaka itu bisa dimirip-miripkan dengan cerita Malin Kundang yang terkena kutukan sampai menjadi batu. Cuman, Kesebelasan yang pernah disinari oleh Zidane tersebut mungkin mengalami kutukan yang tidak separah Malin Kundang, sehingga yang berubah menjadi batu hanya kepalanya saja. Walau begitu, ketika kepala saja bisa demikian bisa memberi akibat memalukan. Tak terbayang jika yang harus berubah jadi batu itu adalah bagian-bagian lain pada tubuh, meski tidak harus separah yang dialami Malin Kundang. Jadi terpikir, melamun, sepertinya pemain bola seperti team Perancis tersebut beberapa hari ke depan, melepas penat ke Teluk Bayur di Padang. Bisa jadi di sana mereka bisa melihat dan merenung lebih dalam kekuatan sebuah kutukan. Ah, saya jadinya terlalu mengada-ada bahkan dalam melamun. Akhirnya kok saya obrolkan batu? Sepertinya saya harus cari pembenaran terkait batu. Setidaknya, mungkin obrol-obrol tentang batu bisa dikait-kaitkan juga dengan: terkena batu. Iya Perancis terkena batunya. Buktinya ketenaran Malouda, Djibril Cisse, Thierry Henry tidak berperan besar untuk mengubah angka melewati 1 (satu). Itu baru 'terkena batu', entahlah kalau sampai terkena karang--tapi dalam bahasa Indonesia tidak dikenal sindiran "terkena karang."

***

Kartu merah selanjutnya memang tidak hanya sekedar menghentikan pemain yang kemudian harus [caption id="attachment_174611" align="alignright" width="250" caption=""][/caption] keluar dengan malu membuncah. Tetapi kartu merah seyogyanya memang penting ada dan tetap ada. Bukan persoalan,"untuk apa juga kata maaf jika tidak ada lagi jalan keluar?" Karena untuk sebuah kesalahan yang parah, idealnya memang diberikan kartu merah. Sebab, soal maaf itu tidak untuk menyederhanakan setiap kesalahan. Perancis, setelah membuat merah muka pelatihnya-konon- di ruang ganti, sekarang mereka sedang bercermin untuk melihat mukanya yang merah karena kalah. Itu juga jika mereka berkesempatan saat usai tanding kali ini langsung ke wastafel dan mencuci mukanya. Ternyata kartu merah itu selalu menjadi pilihan logis untuk setiap manusia pongah. Gambar:  Gbr: Gawang.com, indomedia.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun