[caption id="attachment_110513" align="alignleft" width="189" caption="Cukup aku memanjat pala saja, meskipun tidak terlalu terlihat"][/caption] Dulu, pernah guru mengajiku yang mengajar alif, ba, ta dengan terbatuk-batuk. Disela-sela menunggu batuk itu menunjukkan kenakalannya melebihi kenakalan tubuh kecilku dan teman-teman, ia bicara tentang naik pohon. Ujarnya. semakin tinggi pohon yang kalian naiki, akan semakin sakit ketika jatuh. Ah, dasar anak-anak (menyebut begini agar jikapun kedunguan terjadi sampai kini, mungkin kesalahan yang diakibatkannya bisa sedikit termaafkan. Kan anak-anak ya?). Memang, saat guru ngajiku ini bercerita tentang pohon, yang tergambar di kepalaku sendiri memang benar-benar pohon. Sedang teman-temanku yang lain bisa jadi lebih pintar sehingga mereka bisa hubung-hubungkan itu dengan hal-hal lain. Hingga keesokan harinya, pohon jambu klutuk yang berada di depan rumah Teungku (sebutan untuk beliau. Juga sebutan masyarakat Aceh untuk ustadz), tidak lagi berani kunaiki. Iya, karena tadi malam Teungku baru saja bercerita tentang semakin sakit saat jatuh. Maka lebih baik tidak naik-naik. Dan memang, Siben yang menjadi teman kecil harus ikhlaskan tangannya patah saat menaiki pohon sampai ke pucuknya. Sedang aku lebih berani menaiki pohon pala yang cabangnya lebih banyak, juga daunnya lebih rimbun--karena sekalipun ada rasa ngeri, tetap saja selalu berselera untuk bisa memanjat--. Saat menyimak-nyimak kedua pohon itu. Pohon jambu memang memiliki daun yang lebih jarang dari pohon pala. Jadi, Siben sampai sampai patah tangannya setelah terjatuh, kukira bukan karena ia tidak lihai memanjat. Secara, jam terbang panjat-memanjat lebih dulu dia yang menguasainya. Tetapi, kukira lebih karena demikian banyak orang-orang yang melihatnya dari jalan yang memang bersisian dengan pohon jambu itu. Bisa saja, orang-orang yang lewat itu suka melihatnya begitu gesit memanjat sampai ke cabang yang paling lentur sekalipun. Dari sana, kuduga, ia merasa orang-orang mengatakan ia hebat sampai ia tidak bisa kuasai diri. [caption id="attachment_110514" align="alignright" width="300" caption="Ketenaran dan kebenaran"][/caption] Melepaskan diri dari keharusan untuk berhati-hati, sebab bagaimanapun tangan kecil itu juga masih kalah gesit dengan kera di hutan kecil pinggir kampung. sampai, seperti itu, tangan patah, tulang rusuk memiliki kisah sama lengkap dengan lobang hidung yang menjadi sungai mengalirkan dengan deras darahnya. Ternyata dilihat orang-orang memang tidak selamanya baik. Aha, jadi bersyukur juga karena aku lebih memilih menaiki pohon pala rimbun itu. Walaupun letaknya persis di belakang rumah. Gerakanku di kerimbunan daun tidak terlihat orang-orang, akupun tidak perlu menunjukkan gelayutanku sambil membayangkan diri sebagai pemeran Film Tarzan. Sehingga, nyaris saban hari menaiki pohon itu, tak sekalipun aku harus merasakan terjatuh dengan cara yang begitu menyakitkan seperti halnya dirasakan teman tadi. Walaupun, saat mencoba mengukur ketinggian pohon pala dengan pohon jambu tadi, pohon pala masih lebih tinggi. Tapi, tetap saja ya, Siben mungkin terlihat lebih beruntung karena sering mendapatkan ekspresi kagum dari banyak orang yang kebetulan lewat di pohon ia naiki. Duh, jadi tersadar, aku dengan beberapa kawanku yang pemalu bersepakat hingga dewasa. Biar saja kita naiki pohon pala. Sumber Gambar: Di sini dan di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H