Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hypnoteraphy untuk Anak

8 Januari 2010   16:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:33 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_50669" align="alignleft" width="300" caption="Anak-anak itu adalah embun yang sejukkan masa depan (Gbr: Pribadi)"][/caption] Kebahagiaan itu tiba tidak selalu harus dalam bentuk materi, karena kebahagiaan itu bertempat di hati. Indah. Iya, itu yang terasakan sekali olehku. Ada beberapa hal yang membuat hidup saya hari ini terasa begitu indah. Satu saja yang bisa saya ceritakan untuk sahabat Kompasianer semua. Berawal tadi sore, saat beberapa anak yang selama ini menjalankan peran sebagai Konselor Anak di lembaga yang selama ini saya bergiat, bercerita tentang masalah yang mereka hadapi sendiri. Dan itu merupakan kelanjutan dari program lembaga untuk bisa membukukan pengalaman anak-anak tersebut. Saya sebut lanjutan, sebab saya melihat anak-anak itu masih kesulitan mendeskripsikan pengalamannya dalam tulisan. Sehingga saya yang dipercayakan sebagai editor untuk buku tersebut, merasa tidak menemukan apa-apa dari semua yang telah dituliskan. Maka alternatif selanjutnya, setelah diskusi panjang lebar dengan rekan-rekan di lembaga, menelusuri lebih dalam pengalaman anak-anak itu, menjadi pilihan. Apa yang saya lakukan? Anak-anak tersebut saya minta untuk bisa melihat semua pengalamannya seperti layaknya menonton film (sedikit mempergunakan Hypnoteraphy yang saya bisa). "Lihat semua yang telah kalian alami. Rasakan, seperti apa udaranya, suasana yang ada, warna-warna yang terlihat, gerak, perhatikan semua. Perhatikan. Perhatikan. Kalian sedang berada di sana." Anak-anak tersebut saya biarkan larut dalam semua 'film' yang terpampang di depan matanya. Awalnya mereka masih bisa cekikikan dengan teman-temannya, selanjutnya semua itu berubah. Wajah mereka terlihat menegang, lebih serius. Sesekali tergambar ekspresi kesedihan, semakin terang. "Baik, lupakan semua yang terlihat itu. Rasakan kalian sudah berada di detik kalian sekarang. Ehemmm." Perintahku pada anak-anak ini "Sekarang, adik..." Tunjuk saya pada salah satu dari mereka.  Gadis kelas 1 SMA, sehari-hari sering terlihat ceria. Sepintas seperti tidak ada masalah pada dirinya. "Adik pernah punya masalah yang paling membuatmu sedih?" "Iya Kak, pernah." "Baik, sekarang kakak minta adik untuk cerita tentang satu kesedihan yang aling membekas di pikiran dan batin adik. Bisa ya?" "Gitu ya, bisa banget Kak." "Okey, sekarang, dengarkan hanya suara kakak." Ujarku pelan. "Hm." Iya sudah mulai kembali larut dalam bayangannya. "Rasakan, rasakan, rasakan semua rasa yang datang saat adik merasakan kesedihan saat itu." Wajahnya mulai terlihat lebih berubah. "Jangan lepaskan dirimu dari perasaan itu, biarkan tetap di sana. Bersama semua warna yang ada, semua rasa yang ada, semua sedih yang ada. Ceritakan ke kakak dan semua teman-teman adik di sini. Jangan segan, ini kakakmu yang sangat menyayangimu. Teman-temanmu ini juga sangat mencintaimu. Silahkan, ceritakan." Yang terlihat selanjutnya airmata dan isak tangisnya yang pelan mulai menguasai wajahnya. "Iya, aku pernah dipukuli dan disiksa Ayah....."Ia sesenggukan, ada rasa tidak tega dan iba juga yang saya rasakan sendiri. "Iya, lanjutkan, cerita saja, cerita saja. Di depanmu hanya ada yang mencintaimu, menyayangimu. Cerita saja."Perintahku pelan. "Waktu itu, aku memakai kalung ibu. Ibu memintaku untuk memakainya. Kalung emas seberat 10 Mayam (istilah Aceh untuk ukuran emas dengan kisaran berat 9,6 Gram). Lalu..." Terhenti, ia makin sesenggukan. Saya biarkan saja dia terus menangis. Beberapa saat ia terus saja menangis, masih juga tidak saya minta untuk hentikan. Saya biarkan. "Lalu, ayah meminta kalung itu. Karena Ibu sudah lebih dulu bilang untuk tidak berikan ke ayah, karena ayah terlihat mulai ada niat untuk menikah lain. Terus, akupun tidak mau berikan itu. Ayah mulai marah-marah. Aku menghindar dan mencoba untuk lari ke belakang. Dari sana, Ayah mengejarku. Ditariknya aku ke dapur. Ayah mengambil abu dapur dari tungku yang biasa Ibu memasak. Lalu Ayah menjambak rambutku. Abu yang masih penuh dengan arang dan kayu sisa, diusapkan ke wajahku..." Anak ini mulai histeris. "Diusap sampai mukaku berdarah-darah, terkena sisa kayu kecil di dalam abu dapur itu. Aku cuma bisa menangis. Setelah Ayah puas menyiksaku seperti itu. Aku lari ke rumah Nenek. Walaupun rumahnya jauh, sekitar 1 KM. Aku terus lari ke sana, dengan jalan kaki. Di sana Nenek terkejut melihat mukaku yang belum sempat kubersihkan, masih penuh debu. Dibersihkan dan diberikan obat. Sampai 3 hari aku tidak pulang. Sampai sekarang masih benci ke Ayah." Saya menemukan gambarannya. Sedangkan 2 anak lain, memang juga bercerita. Setelah saya pengaruhi pikiran mereka dengan pola sebelumnya. Yang satu, ia saya buat 'menikmati' semua air matanya. Ia bercerita tentang ibu tirinya yang suka mengatakan, menjelek-jelekkannya pada tetangga sebagai anak yang cuma suka makan, menghabiskan beras saja, tidak punya manfaat dan sampai penyebutan nama-nama binatang. Semisal babi sering diucapkan untuk anak ini. Yang seorang lagi, ia bercerita tentang pengalamannya dengan adik satu-satunya yang meninggal saat Tsunami melanda Aceh pada 2004 lalu. Selanjutnya yang saya lakukan adalah meminta mereka untuk kedepan agar bisa membuat "klien" yang mereka konseling, bisa seperti ini. Bawa dia untuk bisa merasakan utuh semua pengalamannya. Dan saat menuliskannya, saya minta mereka untuk juga merasakan semua itu, lihat semua itu seperti laiknya sebuah film yang sedang ditonton. "Baik, sekarang Kakak minta kalian pejamkan mata sebentar. Bayangkan semua teman-teman yang selama ini mencintai kalian. Teman-teman yang suka membuat kalian tertawa dan tersenyum. Rasakan dan lihat semua dengan jelas dan terang." Saya biarkan beberapa saat mereka membayangkan itu. "Hmmm" Saya mendehem kuat."Sekarang buka pelan-pelan dengan melihat senyum kalian sendiri." Tutup 'sihir' saya. Sangat menyenangkan, melihat mereka bisa tersenyum lepas, bahkan tertawa. Yang terakhir, anak-anak hanya bisa berujar,"Kok bisa ya?"

***

Malam ini, saya merasakan kebahagiaan setelah mendapat SMS dari seorang Sahabat, Mariska Lubis. Alhamdulillah. Telah lahir dengan selamat Maitreya Ananda Manisha--anak pintar yang diberkati untuk perdamaian--. Lahir Jam 20.50. Berjenis kelamin perempuan. 45 Cm, 2,6 Kg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun