Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pelajaran Selembar Surat Wasiat

18 Maret 2010   04:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:21 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_96533" align="alignleft" width="300" caption="Aku menulis pidato kematianku sendiri (Gbr: Google)"][/caption] Tercenung. Iya, saya merasakan takjub dengan seorang Belanda kaya pada jamannya namun memiliki pemikiran yang begitu penuh cinta. Cintanya itu begitu tercermin, bahkan dalam surat wasiat yang ia tuliskan "... Maka hoetang jang laen jang di sabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe... dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja,..." (seperti di kutip di sini):

***

Adalah lelaki bernama Cornelis Chastelein, memiliki budak yang banyak dan harta yang melimpah. Budaknya saja didatangkan dari berbagai wilayah seperti Makasar, Pulau Rote, Jawa bahkan dari Filipina. tetapi lelaki ini justru tidak semena-mena pada budaknya. Malah ia memberikan pembekalan agama kepada mereka, diberi pendidikan. Tak kurang tanahpun diberikannya, selain kemudian budak-budak tersebut dimerdekakan. Sampai ia menuliskan Surat Wasiat menjelang kemangkatannya. Surat Wasiat yang menunjukkan bentuk cinta yang tidak hanya kepada budaknya, namun juga kepada alam. Ia tidak mengizinkan kayu yang berada di Depok ditebang. Depok, yang berasal dari nama padepokan lelaki ini (De Eerste Protestante Organisatie van Christenen) sekarang telah menjadi sebuah tempat yang begitu ramai. Jadi terpikir, di manakah pohon-pohon yang dulu diamanahkan Cornelis untuk dijaga? [caption id="attachment_96535" align="alignright" width="250" caption="Kita pasti mati, tetapi kebaikan yang pernah kita lakukan pasti takkan pernah mati. Meskipun saat masih hidup, kebaikan tersebut tidak terlihat terlalu berharga (Gbr: Okezone)"][/caption] Itu satu. Nah, yang lain juga yang membuat saya terpukau dengan lelaki dari negeri 'penjajah' itu adalah kepedulian. Betapa budak-budak yang di jaman itu (abad 18) lazim diperlakukan tidak manusiawi, namun di tangannya malah bisa tercipta sebuah bentuk perbudakan yang memanusiakan. Bahkan generasi dari budak tersebut masih meneruskan menjaga "sisa" dari peninggalan Cornelis (dengan adanya sebuah yayasan, Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, YLCC di Pancoran Mas Depok). Teringat pesan yang juga saya temukan dari buku Stephen R Covey: Seven Habits of Highly Effective People: "Apa yang ingin dituliskan di nisan anda kelak, lakukan itu sekarang." Dan, saya sendiri merasa hanya baru bisa menulis kalimat yang persis itu di Facebook saya: "Aku menulis pidato kematianku sendiri." Semoga, kita kelak juga bisa 'hidup' kendati fisik sudah mati. Kendati nyawa sudah lepas dari badan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun