Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teologi Kesalahan

22 Februari 2010   11:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:48 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_79391" align="alignleft" width="300" caption="semoga pernikahanmu selalu memberi inspirasi, kawan (Gbr: Arun Kumar)"][/caption] Dear Fick Someone once told me - By all means marry; if you get a good wife, you’ll be happy. If you get a bad one, you’ll become a philosopher. So, I thought it does sound good. Philosophers are happy people too. Yes, I'm getting married on 17th February 2010 with Neela, a soft-spoken girl (as of now!), and I would like you to be present at this occasion to wish us and make our Day more memorable. Would be happy to see you at the wedding. Just to remind you - I mean really happy :) Cheers *** Undangan itu tiba dari seorang sahabat, di India. Kenal dengannya sekitar 2 tahun lalu saat Seminar Sanitasi bersama WTO Singapore. Ketika itu, Arun menjadi seorang teman diskusi yang 'berkontribusi' membuat saya kebingungan. Iya kebingungan dengan dialek Inggrisnya yang memang masih kental India. Email tersebut baru saya baca hari ini, setelah berminggu-minggu saya di jalan dan terus di jalan. Menapaki jalanan dalam berbagai rasa yang sedikit tidak mudah untuk digambarkan utuh. Untuk bisa menggunakan internet saja kesulitan Membaca emailnya, saya merasakan tidak enak, sedikit kurang nyaman dan seperti dimakan oleh perasaan bersalah. Tidak enak dikarenakan membaca emailnya saja telat. Terus, tidak nyaman karena memang teringat seperti apa perasaan sahabat tersebut mengetahui kalau sahabatnya ini membaca emailnya beberapa hari kemudian. Dimakan rasa bersalah, disebabkan oleh kesalahan selanjutnya, tidak bisa hadir di acara sakralnya. Kalkulasi sederhana, jarak antara Indonesia dengan India. Kemudian soal lamanya perjalanan yang harus ditempuh. Dilengkapi saat melongok ke dompet yang hanya berisi beberapa lembar uang ribuan. Duh, kenapa milih menjadi miskin? Seperti itu ledekan sebuah suara yang datang entah dari mana. Tidak didengar oleh telingaku, namun menggema begitu nyaring di dalam diri. Lha, ternyata ujung dari itu pada pertanyaan tersebut, kenapa memilih miskin? Iya, saya harus mengakui, jika hari ini saya miskin, kemiskinan itu adalah pilihan saya. Jika hari ini ternyata kemiskinan itu berdampak pada berbagai konsekuensi yang tidak mengenakkan, itu juga jelas merupakan pilihan. Ternyata memang, apapun yang terjadi tidak ada yang harus disalahkan. Terus menyalahkan diri sendiri? Saya kira tidak juga. Menyalahkan diri sendiri juga bukan sebuah pilihan bijak. Tetapi, permisi saya sedang mencoba mengajarkan diri sendiri bahwa apapun yang terjadi tidak ada yang harus disalahkan. Selain hanya mengizinkan hati dan pikiran untuk melihat pada pelbagai kemungkinan solusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun