[caption id="attachment_64159" align="alignleft" width="300" caption="seperti apakah sudah hati berbentuk saat memeluk "][/caption] Dalam riuh lolong anjing malam, candaan pungguk dan geliat lincah puyuh di balik semak-semak. Juga lenguh sapi di kandang persis berdekatan dengan sungai. "Kenapa kau tidak mau disebut namamu? Padahal aku ingin sekali menyapa dengan namamu sendiri. Aku jengah menyebutmu sebagai binatang." Menjadi binatang itu adalah kebanggaanku, kenapa engkau harus merasa jengah. Aku menerima taqdirku seperti ini. Karena, jikapun mungkin secara derajat aku masih berada di bawah kalian yang memang lebih beruntung tercipta sebagai manusia. Tetapi tetap aku merasakan tidak kalah lebih beruntung daripada kalian. "Kau merasa lebih beruntung?" Jelas, karena duniaku tidak mengenal kemunafikan. Duniaku adalah alam yang sama sekali apa adanya. Takkan kau temukan dusta... "Dusta yang kau maksudkan?" Uhm, jelas karena aku tahu, kalian melakukan sesuatu yang lain saat berhadapan dengan sesama bangsamu. Dan kemudian yang dibelakang, kalian melakukan lagi yang berbeda. Kalian begitu terbiasa hasut menghasut. Saling dengki, padahal kalian juga paham kalau tanpa kedengkian, kalian tetap saja masih bisa hidup. Bahkan lebih tenang. Kalian tidak pernah tegas dan takut untuk tegas. Juga kau sendiri ku perhatikan seperti itu. Terkadang engkau ketakutan dengan hidupmu sendiri. "Baik, bagaimana engkau melihatku?" Kau manusia yang ketakutan pada diri sendiri. Kau merasa napas untuk kau hidup itu diberikan manusia. Padahal sesekali tidaklah seperti itu, kau harusnya lebih melihat pada Tuhan yang telah memberi napas itu untukmu. Meski tidak dengan cara melumat bibirmu. "Aku belum bisa terlalu memahami apa yang kau maksudkan." Iya, kau diberikan semua yang diberikan pada manusia lain. Kau memiliki bentuk kepala, keras tetapi tidak berani kau benturkan karena takut hancur. Memiliki tangan yang kukuh tetapi tidak kuasa engkau memalu paku di dinding-dinding sekedar untuk membuat satu saja gubuk kecil. Setidaknya seperti yang ditempati sapi. "Bahasamu sulit untuk kucerna." Kalian masih saja mempersoalkan bahasa yang kalian dengar, tapi tidak pernah permasalahkan telinga [caption id="attachment_64167" align="alignright" width="200" caption="seperti apakah wajah harga diri?"][/caption] kalian dalam keadaan seperti apa saat mendengar sesuatu. Melihat deretan huruf tetapi tidak bisa melihat jiwa yang ada dalam satu huruf yang tercantum, bahkan pada titik. Di sana, bertempat madah para nabi. Kalian membaca yang tidak hanya membaca tapi seringkali diam-diam mengacungkan belati dari bawah meja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H