Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teologi Birahi

26 Januari 2010   16:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:15 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_61814" align="alignleft" width="300" caption="negeriku pasti akan kembali dipenuhi rerumputan indah, dan matahari akan semakin cerah. Seperti gairah para pecinta yang kian memerah "][/caption] Inilah madah sepasang puyuh, yang dengan lirikan tajam menari di balik ilalang, melirik langit. Apakah Tuhan melihatnya ataukah hanya menjadi sasaran terkaman beberapa ular  lapar. Yang menjadi pasangannya sama sekali tidak memiliki sayap, mengintip dari tempat-tempat yang kadang tak terintip manusia, lalu rubuhkan banyak rumah-rumah manusia yang pernah menepuk dada mencaci bumi.

***

Aku hanya puyuh kecil yang takkan pernah mungkin bersanding denganmu di pelaminan penuh cinta untuk tetaskan puyuh raksasa, yang kuasa menampar angkara. Haruskah kucoba labuhkan cinta di dermaga hatimu, duhai sang perkasa? Begitu surat sang puyuh bersayap namun terus setia mencoba untuk menjejak tanah. Dengan sepenuh rindu, angin puyuh menulis beberapa ribu abjad di tanah berdebu. Inilah persebadanan ketulusan duhai kekasih. Yang ingin kujadikan sebagai benih-benih angin sepoi di rahimmu kelak. Yang akan memberi sejuk pada bumi yang masih terus disenggamai keangkaraan. Aku sudah diajarkan para malaikat untuk tetaskan mimpi itu hanya bersama dirimu, pujaan hatiku. Aku tak pedulikan sayapmu yang enggan mengepak, karena gemuruh cinta ini kuasa membawamu pada sketsa cakrawala penuh warna pelangi indah. Membuang semua resah. Dan diatas awan kita berdua mendesah hanya dalam cinta yang tak setengah. Balas Angin Puyuh.

***

Dalam gejolak rindu yang mengelegak. Tersepakati pertemuan di sisi reranting belukar yang terlihat indah oleh gemuruh cinta.

"Aku sangat merindukanmu kekasih. Ingin kudekap tubuh mungilmu untuk menyapa bintang-bintang" Ujar angin puyuh dalam balutan seragam asmara yang ia dapatkan dapatkan dari istana para dewa. Termalu-malu. Puyuh kecil bersayap mungil mengepak menggigil dan membawanya kemana-mana, karena cinta dan rindu juga dirasakannya.

"Duhai, engkau sang perkasa. Seperti apakah indahnya malam ini ketika ku berada di dekapan dadamu."

"Kemarilah..." Ujar puyuh yang terlihat tak bertubuh

"Kutaburkan benih kesejukan di rahimmu sayang. Dengan sperma puisi, dengan irama senggama yang diajarkan para dewi. Yang pernah menjadikan Zeus kian perkasa menikam mati beribu iblis yang selalu ketus."

Terlewatilah sebuah malam dalam desahan sepasang puyuh.

***

Lalu dalam dansa beberapa malam kemudiannya. Mereka nyanyikan kidung cinta bercerita tentang gelisah atas serakah angkara. "Duhai, cinta ini menjadi energi yang akan kujadikan pedang-pedang tak terlihat mata musuh."

Dalam tatap sepenuh cinta, kekasihnya menambahkan lirik kidung itu,"Duhai rindu yang akan selalu kusiram sebagai embun yang membuat hati mereka yang menjejak bumi merasakan kesejukan serupa melodi surga mengalun. Menjadi seragam perang untuk kekasih membantai angkara dalam tarian sang perkasa di medan perang yang membuat dewa murka."

Kidung itu terhenti. Mereka berbaring saling dekap di tanah yang mulai melembab.

"Kekasih, apakah menurutmu, aku hentikan semua perang dan mengoyak beribu buku sejarah perang?"

"Tidak, diriku tidak mengharapkankan itu. Kenakan saja seragam perangmu, meski angkara tetap saja takkan pernah berakhir sebelum bumi penuh hancur dan melebur senyapkan semua dengkur. Tikam saja tubuh para angkara dengan seribu sangkur. Kutahu, itulah sejarah para ksatria yang telah membuat ketakutan sampai pada kerajaan guntur," bisik lirih puyuh kecil di tubuh kekasihnya yang mulai mengayun, dengan butir-butir keringat yang mulai berjatuhan yang membuat tanah semakin melembab.

Selanjutnya menjadi sajak lenguhan, dan lantas keduanya terdiam."Sayang, meski aku sudah penuhi jiwaku dengan semua salju cinta yang menjadi darah. Aku takkan membiarkan ia keluar berwarna merah, jikapun kelak aku mati dalam perang dengan para jalang. Meski mereka mencoba menebang tubuhku, tetapi tidak berbentuk tubuhku ini akan kujadikan penyebab mereka meriang. Kecuali jika memang mereka biarkan aku melenggang, dan mereka tidak terlalu girang menampakkan diri serupa beruang garang."

"Aku percaya padamu, duhai perkasa. Seperti tubuhmu saat mengayun di tubuhku, aku berharap satu hari kelak, perjalanan perang bisa terhenti. Meski kutahu, sejak berlaksa masa di abad-abad yang sudah berlalu, perseteruan dengan para benalu tidak pernah ikut berlalu. Teruskan perjalananmu ksatria. Aku akan menjaga benihmu di rahimku. Ia pasti akan menjadi angin sepoi-sepoi yang melenakan para musuh, dan menjadi penyejuk untuk pemilik hati yang tak pernah keruh."

Terpisahlah dua kekasih meneruskan perjalanan di pekat malam yang sedang buram. Dengan asa pasti tak lama lagi matahari akan kembali membawa terang pada lekuk tubuh buana untuk lenyapkan semua durjana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun