Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Inilah Aku! (Sebuah Potret 'Egois')

14 November 2009   14:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:20 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_25373" align="alignleft" width="104" caption="Lembut bukan berarti membunuh ketegasan"][/caption]Kalaupun sedang duduk ditengah keramaian. Yang kusukai hanya mengamati orang-orang yang berada disekelilingku. Dari gerak tubuh, nada bicara, raut wajah, senyum yang dikeluarkan sampai dengan mencoba melihat kekuatan cahaya mata yang dipancarkan mereka.

Dan tentu saja, mendengar apa saja yang dibicarakan. Dari sana, banyak hal terbaca. Sebagian begitu penuh dengan ketulusan, kejujuran, keikhlasan hingga cinta. Tak jarang juga harus
berhadapan dengan orang-orang yang mengklaim diri sebagai 'Nabi'. Mereka seringkali adalah orang-orang yang suka bicara, meski sedang tidak dibutuhkan oleh siapa juga.

Inilah pergaulan dan ini interaksi. Terkadang banyak hal yang tidak disukai dan tidak diinginkan justru terjadi. Akan sangat keliru tentunya, jika ketika berhadapan dengan sesama manusia, menemukan hal-hal yang tidak mengenakkan, justru kemudian Tuhan menjadi kambing hitam dari semua potret yang tidak disukai itu.

Secara jujur, akupun harus mengakui, terkadang dalam berbagai interaksi, muncul rasa tidak enak, sakit hati, marah hingga yang kontradiktif dengan itu: CINTA.

Selama ini, ketika coba melihat kedalam jiwa. Satu hal yang aku temukan, figur-figur seperti apa yang paling cepat membuatku jatuh cinta adalah orang-orang bijak. Bagaimana aku mengukur kebijaksanaan seseorang? Dari kesantunan, dari sapaan yang menyejukkan, dari senyum tulus dan tentu saja dari kejujuran.

***

Berbicara itu, saya malah terlempar 'nostalgia' pada sebuah kasus kecil. Seorang teman memiliki sebuah Lembaga,"Bro, ayo kau gabung saja denganku, aku juga butuh orang sepertimu yang concern pada masalah sosial. Dan kemampuanmu menulis itu bisa menjadi sebuah kontribusi
cukup penting untukku."

Aku menarik napas panjang,"memang aku belum terikat kontrak dengan lembaga apapun. Tetapi
aku punya janji dengan seorang teman, bahwa aku menerima untuk bekerja bersamanya." Tegasku. dalam bathin muncul juga godaan,"bukankah dengan rekan yang saya sebut itu tadi juga belum ada sebuah ikatan kontrak, belum pasti?"

Aku menjawab dan berdebat dengan diri sendiri,"Memang, aku tidak di ikat dengan kontrak, [caption id="attachment_25407" align="alignright" width="300" caption="Coba tinggal jejak sebelum mati"][/caption]tetapi nuraniku meminta itu. Aku diminta nurani untuk konsisten dengan janji, meski berpegang pada janji itu belum tentu bisa memberi efek pasti."

Aku melihat gurat kecewa di wajah rekan ini, memang ia telah lebih dulu kukenal jauh sebelum aku mengenal teman yang saya sebut tadi. Tetapi, nurani takkan bisa terima dusta, sekecil apapun."Lembaga saya ini memiliki fasilitas cukup lengkap."Rayunya dengan menyebut semua yang dimiliki lembaganya."Maaf, saya tidak bisa." Ku ulangi lagi cerita tentang janjiku pada seorang rekan yang berada jauh dariku, dengan ekspresi ketegasan kuat. Proses diskusi tertutup dengan kalimat,"kau terlalu idealis, malah sudah tidak lagi realistis."

Hanya dalam hati aku menjawab,"inilah AKU"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun