Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Di Atas Tubuh Shinta

3 November 2009   14:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:27 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Shinta kulihat memang terlalu indah untuk dipandang. Baju sari yang ia kenakan, langkah anggunnya membuatku seperti sedang mereguk bergalon-galon sampanye. Kecantikan yang ia miliki tidak hanya tertulis di Epos Ramayana. Tetapi ia memang sangat indah. Kurasakan sekali, tidak terlalu banyak perbendaharaan kata-kata yang kumiliki untuk mengeksplanasi kecantikannya. Kukira ia memang tercipta dari embun yang berada di dedaunan syurga. Hanya dengan memandangnya membuat cahaya matahari seakan kalah terang. Malam ini ia sedang berada dikursi plastik rumahku. Kursi murah yang kubeli pekan lalu. Sedikitpun harga kursi plastik itu tidak mengurangi keanggunan tubuh jelitanya,"Kau membanggakan itu semua, Shinta?" Tanyaku dengan ekspresi selembut yang kubisa."Dengan semua keistimewaan yang kau miliki?" "Yang aku tahu, kau bisa melihatku bukanlah seorang gadis remaja yang masih suka dengan boneka. Bagiku, tubuh ini hanya boneka saja. Boneka yang hanya menggugah nafsu lelaki. Dan hanya aura itu yang bisa dimunculkan dari sebatang tubuh yang kau sebut sebut kecantikan." "Lalu?" Tanyaku pelan, sambil membayangkan aku sedang mengajukan pertanyaan kecil itu disisi kupingnya yang begitu merah indah. Lantas kutepis lamunan itu sebelum ia menjawab tanyaku. "Dari sejak aku masih berada dipelukan Rama. Dan dari ketika Rahwana merelakan beribu lembar nyawanya terbang. Aku selalu saja lebih suka pada melihat kedalam diriku. Berkali-kali kubakar tubuh ini. Kubiarkan luka menyelimuti, agar mereka tidak merasakan cinta hanya pada warna yang ada diatas tubuhku. Tetapi aku heran dan sering tanyakan pada Para Dewa, kenapa hal itu bisa terjadi? Kenapa keringat dari tubuh Rama mengembalikan semua kulit ini. Hingga Rahwana berhalusinasi sampai memupuk dengki" Ia menengadah, memperlihatkan lehernya yang membuatku tidak berani untuk menatap berlama-lama. Kurasa ia sedang menikmati nostalgianya. "Aku merasa lelaki terlalu tolol untuk pahami cinta. Mereka biarkan hanya mata yang dipergunakan untuk menatap hieroglif cinta. Setiap seribu tahun, hanya beberapa lelaki saja yang mampu menusukkan trisula hingga ke rongga kedua mata itu. Lelaki seperti ini disebut Tuhan tercipta dari embun yang berada didaun yang berdekatan denganku disalah satu pohon di Syurga." Matanya menerawang, namun semakin mengental indah di kedua bola mata itu. Aku tidak berani berandai-andai. Aku tidak ingin merusak hatiku yang sudah beribu kali kutata untuk tidak remuk lagi serupa kepingan cermin diamuk batu. Lantas ia berdiri, sesekali kuizinkan mataku untuk mencuri pandang menatap lekuk indah ditubuh itu."Ah, mataku terlalu jalang." "Kau sepertinya tidak diciptakan dari embun itu." Simpulnya pelan, seperti mendesah. "Iya, aku harus jujur padamu, aku masih menyukai untuk melihat keindahan." "Sampai kapan? Aku sering katakan juga pada Rama dulu kala. Bahwa, seorang boleh saja terlahir sebagai pengecut, tapi ia harus mati sebagai ksatria berani. Lelaki yang tidak mampu untuk merubah dirinya menjadi lebih baik, mereka adalah pengecut. Para pengecut sering berpikir, mereka terlahir sebagai pengecut dan mereka meyakini Tuhan telah zalim padanya karena sudah menciptakannya sebagai pengecut. Pengecut tidak pernah mampu berperang melawan musuh-musuh yang berada diluar rumahnya, karena mereka untuk mengalahkan diri sendiri saja tidak mampu" "Sedangkan mereka yang berani memegang bilah pedang dan memotong kemaluannya, seringkali sejarah mencatat mereka sebagai pahlawan. Para ksatria ini selalu meyakini, Tuhan cukup mampu kembalikan kemaluan yang bisa dibanggakan pada istri yang dicintainya" Dalam kelembutannya, suara itu terdengar begitu tajam ditelingaku. Tidak terbetik ragu aku menulis sajak di secarik kain sari yang kurobek ditubuh Shinta. Meski berdebar juga kurasakan saat mendekatinya."Shinta, aku temukan kebijaksanaan jauh berada diatas tubuhmu. Kau, seperti langit yang berisi bintang menerangi hatiku." Tak lama, aku kembali berdiri tegak seperti prajurit yang bernafsu kembali ke medan perang,"Aku mencintaimu walau aku tidak pernah mengatakannya. Tapi, pada langit juga sudah kuikrarkan, aku hanya ucapkan dengan tegas cinta ketika aku sudah merasakan kematian. Setelah aku terlahir kembali sebagai ksatria. Jika aku mengatakan cinta itu padamu detik ini, tak ada yang membedakanku dengan Rahwana." Dia tidak mengatakan apapun lagi, hanya tangannya yang lembut mengayun mengusap pipiku. Kelembutan ini nanti akan kubawa ke medan perang. Dedicated to: Perempuan Bijaksana Silahkan untuk juga berkunjung: Catatan Lain

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun