Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Negeri Kemenyan

15 April 2010   14:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:46 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_119249" align="alignleft" width="220" caption="Kemenyan ini bisa membakar sekolah juga semua rumah ibadah (Gbr: Flickr)"][/caption] Beberapa tahu lalu, saat jalan-jalan di Malioboro malam hari, bau kemenyan menyeruak sampai ke dalam mobil. Suara gamelan seakan menjadi bagian yang begitu menyatu dengan bau itu, terasakan aura magic yang begitu kuat.

***

Iseng saya tanya ke seorang rekan yang kebetulan merupakan seorang penduduk asli Yogyakarta."Mas, kok orang jualan itu mesti maen menyan segala?" "Lha, ente nanyain gua, emang tampangku mirip dengan dukun?" Dalam rasa kesal yang saya sembunyikan serapat mungkin, oleh sebab jawabannya yang terasakan oleh saya sebagai respon asal saja. "Saya nanya serius lho..." Dengan memasang ekspresi mata sedikit mendelik. "Ente gitu aja diseriusin. Taulah, orang kita di mana-mana kemenyan lebih dipercaya daripada Tuhan. Bahkan banyak orang begitu meyakini kalau kemenyan plus berbagai macam dupa bisa menajdi bagian upaya untuk menarik rezeki, menambah pelanggan, pelaris..." Selanjutnya tidak lagi terdengar olehku apa saja yang dijelaskannya, karena memang di dalam tempurung kepala saya bermain-main gumaman yang saya sendiri merasakannya sebagai gumaman yang tidak jelas. Tapi saat mencoba kembalikan memori ketika mengetik ini, terlihat kembali bahwa saat itu saya keluhkan persoalan keyakinan di negeri ini. Syahdan, sampai level presiden sekalipun masih lebih menyukai bau kemenyan daripada bau parfum.

***

Jadi ingin membanding-bandingkan lagi. Saya suka dengan bau parfum, tapi kok saya belum kaya ya? Mereka yang suka kemenyan malah kian sejahtera. Tapi jangan pusingkan itu. Kalaupun mereka lebih kaya, saya yakini bukan karena persoalan parfum atawa juga soal kemenyan itu. Tegas saja melihat mereka lebih aktif bekerja, lebih tahu strategi mendapatkan uang. Namun, tidak bisa juga saya akhiri sampai ke sana, jika memang kemanjuran strategi hidup dan mengais rejeki sudah mereka miliki kenapa pula perlu kemenyan? Kok saya jadi pusingkan persoalan ini? Ternyata memang mereka saja yang lebih pintar. Lha jelas, saya masih sibuk dengan pikir ini pikir itu, sedang mereka terus berbuat dan bekerja dengan semua yang mereka bisa. Nah, berarti kalimat saya itu mencerminkan kalau saya tidak meremehkan mereka bukan? Semoga. Memang, persoalan kemenyan itu masih saja mampu menebarkan aroma yang menggidikkan bulu roma. Seperti apa kekuatan yang dimiliki oleh barang tersebut, itu yang saya mohon untuk tidak ditanyakan pada saya. Walaupun bau itu tidak hanya tercium di desa-desa saja, tetapi juga mendapat tempat sampai ke kota. Di tempat yang kata orang sebagai tempatnya orang-orang pintar (orang pintar juga memiliki arti sama dengan dukun ya? ). Tempat mereka yang berpendidikan tinggi. Ah, tidak juga ya, buktinya kota juga memiliki tidak sedikit manusia bodoh, bahkan seperti yang saya sebut sebelumnya, untuk bertahan sebagai presiden, politikus dan sebagainya sejauh ini belum bisa dipisahkan dari aroma kemenyan.

***

Di kampung saya, agar bola tidak masuk ke gawang saja harus dipasang tempurung berisi kemenyan yang mengepul. Tapi lawan tetap saja bisa melesakkan bola ke gawang. Saya kira bukan karena kipernya yang tidak ahli tapi bisa jadi karena ia memang sudah mabuk dengan bau kemenyan yang mengganggu fokusnya. Nah, untuk negeri ini tidak lagi jadi sasaran "gol" dari negara "lawan", bukankah tidak lebih baik buang dulu tempurung-tempurung yang berisi kemenyan. Ketika ada orang meninggal juga cukup dengan baca doa, tidak perlu dilengkapi dengan kepulan asap kemenyan dengan alasan memanggil arwah yang sudah mati agar bisa menyatu dengan doa yang dipanjatkan. Sebab, bukan tidak mungkin, api kecil dalam tempurung berisi kemenyan itu kelak akan membakar gedung-gedung sekolah, mesjid, gereja, vihara. Negara ini malah menjadi kian terlunta-lunta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun