Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mimpi Lelaki

9 April 2010   13:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:53 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_114844" align="alignleft" width="300" caption="Menulis mimpi untuk bisa bermimpi dengan sadar"][/caption]

Pernah ada surat yang ditulis dengan tinta air mata. Dengan huruf dari alphabet tanpa isak, tanpa jerit. Dengan tangan yang menjadi gigi geraham yang saling menggigit. Persis ketika hidup sedang bermain-main dengan cambuknya. Bukan sekali dua cambuk itu mengenai sebatang tubuh kurus itu, tetapi beribu. Bekas-bekasnya belum begitu pulih.

Tetapi matahari melihat ia menghabiskan siang. Bulan, meski terkadang mengintip dari sela-sela awan hitam menatap ia meringkuk dalam dingin tanpa selimut. Orang-orang yang berjalan disekitar salah satu anak manusia itu, seringkali melemparnya. Bukan dengan senyum ramah, tapi dengan cibiran. Dalam benak manusia lalu, mereka meyakini pemilik tubuh itu hanya akan menjadi beban. Mungkin akan menjadi bagian dari sampah.

Satu malam, pungguk putus asa berujar dengan menyindir,"betapa malang orang-orang yang tidak memiliki cinta barang secuil di dalam hati. Mereka menyamakan manusia lemah dengan diriku yang jelas diciptakan sebagai binatang. Mereka membuat aku terkekeh, sebab tidak bisa melihat dengan matanya. Yang mereka sukai cuma irama perut dan musik dari denting kelamin."

Sedangkan Tuhan sedang menatap dengan mata yang berbinar-binar. Pada orang-orang sabar dan percaya dengan kekuatan-Nya.

Terus, lelaki tersebut beberapa malam mendatangiku, bercerita, "pernah aku menadahkan tangan ketika aku sedang lemah. Tetapi bukan karena keinginanku sendiri, justru diminta oleh mereka agar mereka memiliki tempat untuk membuat ladang yang mungkin ingin dipersembahkan pada Tuhan. Pernah kutolak, karena aku tahu pasti, sulit menemukan ketulusan di jengkal-jengkal tanah ini. Aku menduga mereka bisa menghinaku atas uluran tangannya. Tetapi, kemudian kucoba berlunak, terbukti benar, mereka menjadikan hinaan serupa kain berdaki yang bertuliskan puisi. Lalu dilemparkan ke tubuhku saat aku benar-benar nyaris telanjang. Namun, aku selalu percaya, mata Tuhan tidak pernah tertutup melihat semua penghinaan. Juga semua airmata yang pernah jatuh dalam sepi-sepiku. Tuhan tahu bentuk hatiku."

"Jika seorang ibu tahu menunggui dan mengobati anaknya saat sakit. Tuhan kuyakini lebih mampu dari itu. Maka aku tidak pernah kecewa atas apapun yang diberikan Tuhan selama perjalanan hidup yang kutempuh." Tambahnya lagi sembari melangkah pergi. Kudengar, ia sedang menuju sebuah pertambangan emas di sebuah bukit yang ditunjuki Tuhan dalam mimpinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun