Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Lelaki Telanjang

6 November 2009   15:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:25 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka yang belajar cinta di tengah gurun takkan pernah merasa haus. Sedangkan orang-orang yang tidak pernah mengenal cinta akan mati kehausan dipinggir-pinggir sungai yang dipenuhi air. Sekumpulan lelaki sedang berdiri ditengah deru debu sahara, dengan tiupan topan yang begitu angkuh. Seakan ingin menguyah, tak hanya tubuh-tubuh ringkih itu. Tapi helai-helai baju yang terlalu sederhana pun seperti akan dilenyapkan dari pemandangan gersang sahara itu. Baju-baju yang dikenakan mereka itu, juga telah membuat angin-angiin gila merasakan iri. Mereka para lelaki yang begitu rindukan kematian dalam cinta. Mereka telah biarkan oase yang bertebar digurun untuk tidak direguknya. Kudatangi salah satu dari para lelaki itu. "kenapa engkau dengan semua para sahabatmu itu biarkan saja oase itu tetap disana. Bukankah panas gurun ini membuat kalian kehausan?" Tanyaku lugu. "Mungkin iya, orang-orang sepertimu akan melihat kami sebagai para pemabuk. Apalagi sebagian mereka yang ketakutan untuk menapaki jalan ini. Mereka bahkan menyebut kami telah menajdi orang-orang yang gila dengan cinta yang memenuhi jiwa kami." Aku hanya tertegun, mencoba meraba-raba makna dari setiap kata yang keluar dari bibir yang mengering lelaki itu. Seuntai salam yang kucoba ucapkan nyaris tak keluar dari mulut, langsung saja aku beranjak pergi. Dibenakku hanya ada gumpalan-gumpalan tanya yang kemudian perlahan menjadi bebatuan, berubah menjadi prasasti yang sudah bertulis untai kalimat." untuk mencintai bukan untuk mencari kenikmatan-kenikmatan apapun, tetapi ia adalah penyerahan. Para pecinta adalah manusia yang selalu percaya dengan kekuatan Tuhan. Dia yang selalu tahu atas harga dari setiap napas yang terhembus dalam cinta." Aku masih berada ditengah gurun itu. Berada jauh dari para lelaki yang kuakui begitu penuh dengan cinta. Para lelaki yang telah membiarkan semua energi kebusukan yang bertiup dari lorong-lorong terbawah bumi untuk terus terhembus, tetapi tetap saja tidak membuat mereka terhanyut dan larut dari semua itu. Semua kekuatan dari aroma-aroma busuk selalu saja menulis sejarah kegagalan. Dalam keterpakuan, aku merasakan kedatangan Rumi dengan desau angin yang berupa lingkaran, ia memutar, sedang menunjukkan sebuah tarian Sufi. Tanpa bentuk."aku selalu melihat rindu di dalam dadamu. Aku merasakan sekali bayangan-bayangan yang berkelebat dalam pikiran dan hatimu." "Kau sering sekali melihat bunga-bunga yang tumbuh, tetapi hanya dalam pikiranmu. Padahal dari sejak pertemuan pertama aku denganmu. Kusiratkan makna, kau harus tebarkan benih-benih bunga sepanjang bukit yang kau daki, sepanjang lorong yang kau masuki. Jangan pedulikan tentang persoalan yang berhubungan dengan urusan Tuhan. Dia lebih tahu yang dibutuhkan dari setiap tanaman keindahan itu. Bilapun nanti datang binatang-binatang yang mencoba menginjaknya, Tuhan telah lebih dulu membuat pagar-pagar di sisi terdekat setiap kuntumnya." Aku coba merunduk, mencoba mengambil segenggam pasir. Kutaburkan diatas kepalaku sendiri. Agar jiwa lebih tahu, bila cinta hanya sebesar debu takkan pernah bisa runtuhkan kerasnya kepala "Aku mencoba belajar dari setiap bulir pasir ini. Sayang sekali, sejauh ini aku hanya bisa alirkan cinta dalam beberapa untai puisi. Impikan bumi lepas dari semua ngeri dari segala duri." Suaranya mulai merayap mendekati telingaku, seperti lakon kemesraan seorang kekasih yang ingin bicara disisi telinga kekasihnya,"bawa saja gumpalan-gumpalan pasir itu untuk kau tabur ke semua penjuru, ia takkan menumbuhkan bunga. Atau kau izinkan jemarimu untuk menyentuh ujung-ujung dedaunan, tanyakan padanya, bagaimanakah menumbuhkan cinta hingga kau tak bersua dengan para pecinta dusta. Jangan meringis, jauhkan tangis bila disana harus tersentuh duri." Meulaboh: 061109

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun