Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Catatan Ular

16 Januari 2010   19:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:25 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"I believe in angel, something good in everything I see...I have a dream, a song to sing."

[caption id="attachment_55307" align="alignleft" width="300" caption="Aku percaya pada diri sendiri, tetapi aku juga percaya pada Tuhan yang lebih mampu mengajari kebenaran. Aku bisa mengejar kemuliaan, tetapi kemuliaan yang sebenarnya juga berada dalam genggaman Tuhan (Gbr: Reading Islam)"][/caption] Sementara dalam hati melamunkan diri sebagai salah satu dari anggota kelompok musik Westlife, pikiran mencoba menjadi jejaka binal, mengintip kamar-kamar makna atas mimpi yang sering dijadikan puisi. Mimpi yang telah merubah banyak ulat menjadi kupu-kupu indah, dengan taburan warna memukau dan kepakkan sayapnya mencandai bunga-bunga.

***

Setahuku, dari mendengar cerita para ulat, saat sedang mencoba merayap di reranting yang bisa kulalui. Mereka sama sekali tidak pernah memaki bulu-bulu yang berada di tubuhnya. Bulu yang sering dipandang dengan sorot mata jijik oleh beberapa anak manusia yang tak bisa melihat rambut di kepalanya. Ah, aku hampir lupa dalam perjalanan itu aku menjadi ular yang tidak menerima takdir. Karena diharuskan bermain di tempat-tempat sampah, di rerumputan lembab, dan semua tempat-tempat yang sering ditakuti manusia. Aku merasa kalah dengan ketegaran ulat-ulat kecil itu. Aku nyaris tak pernah berani berbangga dengan keberadaan diri sebagai ular. Otakku yang mungkin terlalu kecil, tak sanggup berpikir terlalu jauh. Keluhku hanya berkisar, ular hanya menjadi simbol pengkhianat. Ular hanya binatang melata yang takkan pernah diizinkan sekedar untuk bisa menyapa pintu rumah mereka yang membusungkan dada sebagai manusia.

***

Setelah lamunan liar itu buyar oleh sesuatu yang tidak kutahu. Kecamuk kuat terjadi di dalam dada. Tidak lebih lembut dari perkelahian Habil dan Qabil. Tidak lebih lambat tikaman keris Empu Gandring yang diayunkan Ken Arok ke dada Tunggul Ametung. Sama sekali tidak lebih pelan dari hembusan gas Adolf Hitler membunuh beribu Yahudi. Apa yang disebut dengan kehinaan? Itu saja yang bergulat. Apakah seekor ular itu adalah kehinaan sedangkan yang menciptakannya adalah yang Maha Mulia, Tuhan. Setahuku, kemuliaan Tuhan itupun akan muncrat juga pada sekecil apapun makhluknya (aku melongok pada cangkir teh yang mulai dikerubungi semut kecil).

***

Anjing juga diciptakan oleh Tuhan. Sekira persoalan kehinaan itu menjadi palu hakim yang dipegang oleh sembarang manusia, aku malah menduga takkan ada seekor anjingpun akan bertahan hidup. Terbiarkan mengendus-endus sisa-sisa tulang di kenduri. Sebab, memang tidak sedikit manusia yang masih melihat palu hakim itu sebagai mainan anak-anak. Hm, aku ingin terus menggumam. Tetapi gumaman tidak akan pernah menjadi puisi yang terbaca oleh semua manusia. Lagu tidak serius untuk membuat kita serius

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun