Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saat Pemilu Minta Tumbal di Aceh

3 April 2014   10:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:09 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_329815" align="aligncenter" width="572" caption="Siapa yang bermain? Jangan jadikan nyawa rakyat sebagai mainan (Gbr: AnalisaDaily)"][/caption]

Pernah membayangkan peluru sebanyak 46 butir menghujam ke tubuh Anda? Mengerikan, tentu saja. Tiket yang terlalu mahal, jika itu hanya untuk menghadap Tuhan. Tapi itu adalah tiket jauh lebih mahal jika itu hanya untuk satu alasan yang tak lebih dari politik. Namun, itulah yang terjadi di Aceh menjelang Pemilu 2014.

Itu hanya sekelumit cerita mengenaskan yang terjadi di Aceh. Sebanyak 46 peluru itu ditembakkan ke salah seorang calon legislatif dari Partai Nasional Aceh, salah satu dari tiga partai lokal di sana. Kejadian yang melukai perasaan kemanusiaan itu terjadi di Ladang Tuha, salah satu desa di Kecamatan Meukek, Aceh Selatan. Kejadian Minggu malam, 2 Maret 2014 tersebut itu sekaligus menjadi satu halaman dari banyak halaman cerita mahalnya Pemilu.

Sebab, setelahnya terdapat kejadian yang sulit untuk disebut lebih kecil masalahnya karena justru merenggut nyawa anak kecil. Ya, bocah berusia 1,5 tahun pun turut menjadi tumbal jelang Pemilu tahun ini. Bocah yang bernama Khairul Anwar itu meregang nyawa setelah peluru menembus pelipis ke arah belakang.

Saban hari saya terus berkomunikasi ke daerah yang tak lain adalah kampung halaman saya sendiri, lewat seluler, internet, dan apa saja alat yang memungkinkan. Bahan cerita tak jauh-jauh dari tanda tanya: siapa pelakunya? Apa motif pelaku? Apakah benar karena alasan persaingan saja? Atau, jangan-jangan ada pihak yang sengaja menciptakan suatu kondisi tertentu untuk tujuan tertentu?

Kecurigaan demi kecurigaan pun mencuat. Tidak saja di benak saya, tapi juga di benak hampir semua rekan-rekan dan keluarga saya sendiri setiap membicarakan topik itu.

Kecurigaan adalah hal lumrah di tengah situasi yang ganjil itu. Skeptis pun wajar muncul, karena pihak keamanan seakan tak berdaya mencegah itu terjadi. Meski banyak tanda tanya mencuat lebih jauh. Kok bisa, jika katakanlah itu murni pelakunya adalah antara Aceh dengan Aceh, bisa leluasa memiliki senjata?

Lebih lanjut, bagaimana ceritanya sehingga pihak-pihak pelaku bisa begitu enteng petantang-petenteng dengan senjata dan kemudian menghamburkan-hamburkannya secara semena-mena?

Tapi kecurigaan lebih jauh, apakah benar tak ada skenario tertentu di balik kasus demi kasus penembakan yang terjadi menjelang Pemilu yang seharusnya menjadi pesta rakyat yang berdemokrasi itu? Jika iya, apa yang menjadi tujuan dari skenario itu? Apa iya, untuk sebuah skenario besar harus dengan cara yang bernilai kerdil begitu?

Tentu, pertanyaan seperti itu akan terus mencuat. Jika ingin menuding bahwa pelakunya adalah pihak-pihak internal Aceh yang menginginkan kekuasaan di daerah tersebut, saya kira mereka takkan sepolos itu mencari cara untuk memuluskan tujuannya. Sekalipun kemungkinan seperti ini bisa saja ada.

Namun, ada satu hal yang menghentak-hentak di kepala saya. Ketika belum lama ini seorang oknum TNI mengaku dirinya meminjamkan senjata api yang ia miliki kepada salah seorang pelaku penembakan yang berhasil terendus.

Ya, keheranan saya ini ketika salah seorang anggota Batalyon 111/Raider Kodam Iskandar Muda, Praka Heri mengakui terlibat dalam kasus lainnya, penembakan terhadap caleg dari Partai Nasional Demokrat pada 16 Februari 2014 (sumber). Disebutkan, alasan prajurit tersebut meminjamkan senjata itu karena dia dan pelaku langsung penembakan adalah teman baik.

Alasan lebih jauh, seperti dijelaskan Kadispen TNI AD Brigjen TNI Andika Perkasa, saat meminnjamkan senjatanya, sang prajurit pun sedang dalam pengaruh narkoba. Sangat masuk akal, memang. Tapi juga masuk akal, saya kira, bahwa jika satu titik api muncul, maka titik api lainnya takkan jauh-jauh dari titik api yang pertama. Tujuannya?

Aceh itu daerah yang baru menjelang sembilan tahun damai. Lazimnya satu kawasan yang baru selesai perang, sementara para pihak yang terlibat perang kini saling membaur, kesepakatan damai tercapai, tapi masalah sebenarnya belumlah selesai. Itu adalah masalah siapa sebenarnya yang harus menjadi tuan di Aceh? Ini bisa jadi merupakan alasan besar di balik penembakan demi penembakan terjadi.

Jika ini tidak benar-benar terjawab, saya ingin menyederhanakan kesimpulan saja, artinya Aceh merupakan proyek gagal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Perdamaian yang digadang-gadang sebagai sebuah keberhasilan SBY, hanyalah perdamaian di permukaan, untuk terlihat di mata internasional. Sementara pada realitasnya, perang itu sama sekali belum berhenti.

Maaf, Pak Presiden, akhirnya saya justru menyangsikan Anda! (FOLLOW: @zoelfick)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun