Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pilpres dan Pelacuran Pers

21 Juli 2014   13:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:43 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14058999831895291899

[caption id="attachment_348871" align="aligncenter" width="490" caption="Gbr: AWDI-Online"][/caption]

Pelacuran kerap diidentikkan sebagai profesi hina. Itulah pilihan mereka yang menjual sesuatu yang paling berharga, kehormatan dirinya sebagai manusia, dengan harga murah. Tapi, pekerjaan itu tak melulu dilakukan mereka yang memang tak bernasib baik untuk memperkaya akalnya dan kemampuannya. Sebab pilihan serupa kerap dengan sadar oleh mereka yang konon lebih kaya secara wawasan dan pengetahuan.

Ya, ini lebih ke soal media, yang dalam definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia--salah satunya--didefinisikan sebagai alat komunikasi, utamanya koran dan sejenisnya. Juga diterjemahkan sebagai perantara, yang memang menjembatani pihak yang tahu dengan yang tidak tahu, yang paham dengan yang tidak paham.

Di sana terdapat Pers paling menentukan, sebagai elemen yang menjadi rahim media-media tersebut. Dalam buku Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani (Alex Sobur, 2001), yang dikutip dari salah satu pakar, bahwa media massa merupakan bagian komunikasi antar manusia. Media menjadi saluran memperluas jangkauan pesan antar manusia. Ringkasnya, begitulah secara definisi. Tentu saja ada manusia di dalam proses itu dan juga manusia yang menjadi sasaran itu.

Sementara, manusia yang menjadi subjek dan objek di tengah perjalanan media massa itu saling pengaruh-mempengaruhi. Acapkali, media massa berperan sentral dalam mempengaruhi atau bahkan merecoki. Tentu saja, tujuan Pers sama sekali bukan untuk merecoki yang dalam KBBI diterjemahkan sebagai "membuat gaduh" itu.

Hanya, disayangkan, acapkali pula Pers membuat kegaduhan. Masyarakat yang semestinya harus mengerutkan keningnya  memikirkan kebutuhan menjelang lebaran--misalnya, juga harus mengerutkan kening lagi karena ulah beberapa media. Alih-alih membuat cerdas masyarakat, tapi justru membuat masyarakat linglung. Ketika sudah linglung, tentu pikiran jernih takkan leluasa bertahan. Yang terjadi selanjutnya adalah salah paham, percekcokan, silang pendapat, hingga pertikaian yang bahkan berisiko nyawa.

Saya sendiri, beberapa kali menulis status di Facebook yang memang condong ke salah satu calon presiden. Tak terbetik niat untuk menggiring, kecuali hanya mengajak berdiskusi, bahwa saya memilih si pulan ini karena ini, dan saya tidak memilih si pulan karena itu. Sambil menunjukkan beberapa data yang saya percaya berasal dari sumber yang layak dipercaya.

Dari sana, saya menemukan beberapa kali respons, berupa pengakuan bahwa calon presiden yang saya tunjukkan itu adalah sosok yang akan memurtadkan mereka. Calon presiden itu akan membuat aliran-aliran yang dibenci mendapatkan tempat. Hingga muncul pandangan-pandangan yang cenderung rasis. Saat saya tanyakan dari mana sumbernya, terpampanglah berbagai link yang menjadi sumber berita rujukan mereka.

Benarlah kata beberapa ahli, bahwa manusia cenderung hanya mendengar yang mereka inginkan saja, bukan yang benar. Maka saya diperlihatkan link demi link dari internet, yang saya pastikan memiliki "misi tersembunyi" yang sama. Ajakan untuk melihat sumber-sumber lain, ditolak mentah-mentah, dengan alasan media rujukannya adalah paling benar.

Itu hanya pemandangan kecil. Betapa, media yang konon dihuni oleh orang-orang berpengetahuan, tapi bahkan tak terbeban membentuk karakter pembaca "militan" seperti itu. Syukur-syukur jika keyakinan yang militan itu tepat atas berita-berita yang memang tak mengada-ada dan layak dipercaya. Tapi ketika yang diyakini penuh itu tak lebih dari rumor yang menjurus fitnah, maka terang saja itu menjadi dosa media tersebut. Sayangnya, soal dosa-pahala seperti sudah menjadi domain agama saja, sesuatu yang seolah hanya berada di atas langit. Akhirnya, soal dosa dipersetankan.

Mempersetankan dosa itu, tak pelak membuat banyak pembaca tanpa merasa berdosa menyebar fitnah karena menurutnya itulah fakta. Media-media itupun dengan tanpa merasa berdosa, mengumbar berita-berita lain yang kian memanaskan suasana. Sambil, pada saat yang sama memuaskan birahi sang calon presiden yang menjadi dukungannya, karena menilai sang Capres adalah penyelamat agama dan penyelamat negara. Pembaca media itu terbuai, terbawa mimpi indah, dengan mata terpejam sehingga menolak melihat kenyataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun