Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pilpres dan Pelacuran Pers

21 Juli 2014   13:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:43 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14058999831895291899

Terjadilah pesta onani. Media yang hanya memberi ruang untuk pihak yang mereka dukung, membuat yang didukung terpuaskan, dan para pendukung dengan baju yang sama dengan mereka merasa klimaks. Asalkan puas, benar-tak benar menjadi perkara belakangan. Sesat-tak sesat biar menjadi urusan kemudian.

Di situlah terjadi hal absurd sekaligus naif. Pelacuran terjadi, dan di saat yang sama penikmat pelacuran itu cukup dipuaskan hanya dengan onani. Ini memang bukan analogi yang cukup elok, tapi begitulah gambaran pertalian beberapa media dengan penggemar mereka.

Tak ada dosa yang harus ditakutkan, selama dosa itu dilakukan bersama-sama. Seakan-akan begitulah prinsip yang menjadi pegangan. Toh, cerita neraka itu tak lebih dari dongeng yang ada dalam agama. Maka, dosa-dosa itu dilakukan dengan gembira.

Belum ada palu Tuhan yang diketuk di hari kiamat---seperti keyakinan beberapa agama--untuk memastikan bahwa yang mereka  lakukan itu benar atau salah. Melainkan, hanya palu dari Komisi Pemilihan Umum yang akan diketuk, sudah membuat penikmat onani itu tadi gelisah.

Maka itu, dosa media, mampu mendangkalkan yang seharusnya dalam, menyempitkan sesuatu yang harusnya lebih luas. Lahirlah ajakan-ajakan yang dangkal dan sempit: menduduki KPU, mengerahkan massa, dan berbagai hal lainnya yang bersifat mengancam. Tidak saja mengancam institusi yang mereka sebut telah membuat mereka sangsi. Tapi sekaligus mengancam demokrasi, dan bahkan kematian nurani.

Sialnya, masih ada saja media-media yang bersedia menjadi alat menyihir, untuk menunjukkan yang keliru sebagai hal benar. Mempermanis sekian banyak alasan, memolesnya menjadi indah.

Itu sejatinya adalah pelacuran. Sesuatu yang layak dinista. Apalagi yang dilacurkan bukanlah kelamin seperti dilakukan para pelacur umumnya, melainkan melacurkan kepala dengan otak di dalamnya dan akal yang menjadi fungsinya, sebagai sesuatu yang merupakan pemberian Tuhan termahal.

Disayangkan, memang, sedikit sekali catatan menggembirakan sepanjang pra-pasca Pilpres 2014. Jika dikaitkan dengan bagaimana media menempatkan diri.

Walaupun, dalam sejarah Pers, tak sedikit jejak yang bisa menjadi inspirasi. Sebut saja, Eugene Meyer, pada saat memutuskan membeli The Washington Post pada tahun 1933, mengeluarkan kalimat yang masih acap diingat mereka yang menghargai dunia pers. Meski Meyer memiliki kepentingan terhadap keuntungan dari media yang dibelinya, tapi sedikitnya ia memiliki sikap tegas. "Demi untuk tetap menyajikan kebenaran, jika perlu, koran ini akan mengorbankan keuntungan finansialnya apabila memang itu dibutuhkan demi kepentingan masyarakat."

Mudah-mudahan saja, Dewan Pers, yang selama ini menjadi "Malaikat Pencatat Amal", bisa menunjukkan satu peringatan keras terkait fenomena pelacuran media tersebut. Dewan Pers, mudah-mudahan sekaligus bisa menjadi peniup sangkakala, bahwa jika pers hanya menjadi alat penghancur, akan ada "tangan Tuhan" yang membuat mereka sendiri benar-benar hancur tanpa perlu "pengerahan massa".

Peringatan keras itu penting, agar, ke depan tak terjadi pelacuran yang akan menularkan berbagai penyakit otak: kebodohan dan sekaligus ketidakwarasan. Apalagi, demokrasi takkan pernah bisa dipahami baik tanpa otak yang terbiasa dengan informasi yang baik. (FOLLOW: @ZOELFICK)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun