Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Soal Langkah Prabowo Pasca Sidang MK

21 Agustus 2014   15:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:58 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_354295" align="aligncenter" width="600" caption="Mendengar suara yang benar atau yang terdengar merdu? (Gbr: id.berita.yahoo.com)"][/caption]

Prabowo masih menjadi pembicaraan publik, daripada menyebut dirinya sedang santer digunjingkan. Walaupun, pada faktanya, pergunjingan tentang dirinya--jika memilih menyebut begitu--memang bukanlah hal mengada-ada. Pertanyaannya, sadarkah sosok Capres 2014 tersebut atas berbagai pandangan di luar penganut "asal bapak senang" di sekelilingnya?

Konon, tempat bercermin terbaik itu adalah mereka yang tak berkepentingan untuk menjilat. Sebab, kecenderungan menjilat tak pernah menghasilkan sesuatu yang jujur dan objektif. Yang akan dilakukan, acapkali adalah hanya menyampaikan hal-hal yang menyenangkan, sementara benar-tidaknya yang disampaikan dianggap bukanlah hal penting.

Sedikitnya, jika menyimak dari bagaimana ia terkecoh dengan "tim data" kepercayaannya saat quick count dan real count, menunjukkan kebenaran atas hal itu. Bahwa, secara bahasa kasar, tak sedikit penjilat yang berada di sekelilingnya.

Bagi orang-orang yang pernah memiliki hewan peliharaan semisal kucing atau bahkan anjing, jilatan hewan yang akrab dengan manusia itu akan terasakan sebagai isyarat kasih sayang. Kecenderungannya, hewan tersebut hanya akan melakukan itu kepada pemiliknya yang secara insting hewannya meyakini bahwa orang tersebut akan melindunginya.

Jilatan hewan semisal kucing atau anjing ini, bahkan mampu mengundang kantuk. Terlebih karena di sana akan terasa bagaimana hewan-hewan tersebut bermanja. Tapi masih ada baiknya, bahwa majikan yang dijilat kucing atau anjing tersebut, takkan meninggalkan tuannya. Terkadang, hingga si tuan terjaga dari tidurnya pun, hewan-hewan ini tidak menjauh.

Walaupun, layaknya orang bangun tidur, entah aroma mulut tak sedap untuk dicium atau bentuk wajah acak-acakan. Bagi hewan-hewan ini, pertimbangan untuk tetap bertahan tidak berdasarkan alasan menarik-tidaknya atau enak-tidaknya, melainkan keyakinan instingtif bahwa dari tuannya itulah ia bisa mendapatkan segalanya sebagai hewan.

Bagaimana ketika aksi "jilat-menjilat" itu dilakukan manusia?

Ya, manusia itu makhluk paling kejam. Jika katakanlah seekor anjing hanya bisa menggigit, atau terparah menularkan rabies, sedangkan manusia mampu menularkan hal yang lebih parah dari itu. Atau, bahasa lain, dengan akalnya, penjilat berwujud manusia akan mampu membunuh tuannya sendiri, bahkan dengan cara teramat halus.

Itulah yang berkelebat di pikiran saya ketika menyimak dari hari ke hari bagaimana ambisi Prabowo yang tak mengendur pasca-Pilpres hingga berujung sengketa yang terakhir dipercayakan ke Mahkamah Konstitusi.

Sepanjang proses itu, telanjang terlihat beberapa intelektual yang mengitari dirinya, menjilat dan membuai sang capres. Hanya sebagian kecil yang mampu objektif mengatakan, sesuatu harus dibatasi di mana dan mesti sampai ke mana saja.

Sayangnya, ada kecenderungan, Prabowo gandrung mendengar hal-hal yang menyenangkan dirinya. Benar atau tidak, faktual atau tidak, tidak menjadi landasan untuk mempertimbangkan sesuatu layak didengar atau tidak. Untuk ini, kasus quick count dan real count sangat tepat mewakili pemandangan tersebut.

Jika sudah begitu, maka yang terjadi sebenarnya hanyalah langkah-langkah politik bunuh diri. Diikuti dengan berbagai sikap-sikap kontras yang diibaratkan pepatah: menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.

Hal inilah yang seketika membuat saya mennyimak ulang setelah merekam kuat diskusi saya sendiri dengan istri di rumah. Pasalnya, ia sendiri adalah salah satu yang memilih Prabowo pada Pilpres, Juli lalu. Saya tanyakan, bagaimana ia sebagai perempuan dan sebagai pemilih, melihat keputusan politik dan berbagai pernyataan politik Prabowo?

Istri saya secara lugas menjawab, "Jadi malu setelah memilihnya."

Ya, mungkin dalam kacamata politik, malu atau tidak untuk mengambil sebuah keputusan, memang bukanlah sebuah hal yang harus menjadi persoalan. Tapi, pasti akan menjadi persoalan, jika dengan berpolitik justru melakukan hal-hal memalukan.

Yang saya maksudkan adalah, idealnya, sebagai seorang jenderal yang memang telah dididik dari A ke Z tentang negaranya, seharusnya Prabowo tidaklah melakukan langkah-langkah yang terlalu berlebihan.

Publik mungkin masih bisa menerima, ketika ia memutuskan menghadap MK untuk "mengadu nasib" setelah keputusan Komisi Pemilihan Umum, berdasar hasil rekapitulasi tidak berpihak kepadanya. Karena memang lembaga sekelas KPU--terlepas adanya kekurangan yang bukan disengaja--bekerja berdasarkan Undang Undang, berdasarkan peraturan yang telah digariskan negara.

Persoalannya, setelah ke MK pun, hanya satu-dua hari menjelang keputusan mahkamah yang menangani masalah Pemilu itu, ia sudah menyiapkan langkah ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung. Setelah jauh-jauh hari sempat mewacanakan membentuk Pansus Pilpres, yang merupakan wacana "Pansus terpolos" yang pernah ada di republik ini--karena sangat mudah terbaca ke mana arahnya.

Tak heran, jika salah satu saksi ahli yang sempat menunjukkan keberpihakan kepadanya sendiri terkaget-kaget dengan wacana Prabowo ke PTUN dan MA. Apanya yang mau dituntut? Di sinilah, sesuatu yang absurd kian mengental terlihat dari sosok yang purnawirawan letnan jenderal di institusi Tentara Nasional Indonesia ini.

Sehingga, muncul guyonan, mudah-mudahan Prabowo tidak sampai memilih membawa kegundahan atas kekalahannya ke Pengadilan Agama.

Tidak bermaksud untuk meremehkan, tapi, idealnya alangkah bijak jika sosok sekelas Prabowo yang bahkan memiliki wawasan internasional dan pemahaman ke-Indonesiaan yang tak diragukan lagi, bisa menempuh langkah-langkah yang lebih mencerminkan sosok berkelas.

Ya, bukankah orang-orang yang berkelas itu adalah mereka yang mampu menyelaraskan wawasan yang berkelas, dengan keputusan-keputusan dalam tindakan yang senada? Sosok Prabowo pasti tidak lupa, memaksa lari pagi dengan mengenakan sarung, tentu bukanlah pilihan tepat.

Semoga, beliau bersedia untuk mendengar suara-suara lain, sekalipun tak "semerdu" yang kerap ia dengar. Sebab, hanya dengan ini, ia akan lebih mampu menjaga langkahnya untuk tidak disesatkan oleh siapapun. Apalagi, pemimpin yang baik itu, seharusnya bersedia mendengar lebih banyak, buka mendengar suara yang lebih enak untuk didengar. Semoga (Twitter: @zoelfick)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun