Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Episode Hitam Skandal Dikti Belum Berhenti

11 September 2014   20:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:59 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu kunjungan staf Dikti ke luar negeri, yang dinilai tak membuahkan hasil (Gbr: PPI-Goettingen.de)

Pihak Dikti memang telah memberikan jawaban, kapan beasiswa yang menjadi hak karyasiswa--mahasiswa penerima--akan mereka diturunkan. Setelah inisiatif pressure lewat media muncul secara berkelanjutan. Nyatanya, kasus itu belum berhenti di situ, dan masih terdapat banyak catatan hitam lembaga tersebut. Salah seorang pengelola beasiswa Dikti di salah kampus ternama membeberkan permainan yang dilakukan institusi tersebut. Ia buka kartu apa sesungguhnya terjadi.

Awalnya saya sudah terpikir untuk berhenti membicarakan "Skandal Dikti"--di twitter saya menggunakan hashtag #SkandalDIKTI, karena merasa, dengan adanya kejelasan atas nasib ribuan penerima beasiswa Dikti (Karyasiswa), berarti pekerjaan saya selesai: berkontribusi membeberkan kasus itu hingga para Karyasiswa tak lagi terzalimi. Tapi, Kamis, (11/9), saya dihubungi salah seorang yang memegang tanggung jawab sebagai pengelola beasiswa Dikti dari satu kampus ternama dan berhubungan langsung dengan pihak Dikti.

Namun ia meminta agar institusi dan data pribadinya untuk disembunyikan karena alasan-alasan tertentu. Informan tersebut hanya menyebut secara gamblang identitasnya kepada saya saja.

"Sejak awal, saya bersama atasan saya, merasakan betul sulitnya berkomunikasi dengan Dikti untuk mengelola persoalan yang muncul dari beasiswa Dikti ini--keterlambatan turunnya dana," ia berujar kepada saya, membuka pembicaraan.

Ditambahkannya, ada dua persoalan yang sangat krusial di tengah kasus tersebut, pertama berkaitan dengan manajemen keuangan, dan yang kedua adalah persoalan administrasi.

Menurut informan yang meminta identitasnya dirahasiakan ini, pihaknya, saat menemukan persoalan keterlambatan sejak 2009, ia telah mendapat dukungan penuh dari Rektor untuk mendukung penuh dosen-dosen kampusnya yang mengalami keterlambatan beasiswa Dikti.

Maka, pihaknya melakukan bentuk intervensi dengan menyediakan dana talangan yang berasal dari anggaran universitas bagi Karyasiswa. "Jadi, semua Karyasiswa dalam koordinasi kami, menyediakan informasi penuh atas kebutuhan biaya, terutama SPP dan living cost, dan dianggarkan dalam bentuk talangan," ia membeberkan lebih jauh.

Proses koordinasi itu, ia menambahkan, berjalan mudah karena waktu itu semua dana bagi Karyasiswa kampusnya, oleh Dikti, dikirimkan ke rekening Rektorat. Sehingga, pihaknya dapat mengetahui keterlambatannya seberapa parah.

Tapi, dengan itu, tak lantas pihak kampusnya tak mengalami konsekuensi dari kebijakan tersebut. Lantaran mereka tentu saja harus mengalokasikan anggaran bagi talangan itu.

"Talangan itu cukup besar," ia menegaskan. "Apalagi keterlambatan beasiswa Dikti itu tidak tanggung-tanggung. Tahun 2009-2010 saja bisa sampai satu semester. Jadi biasa dibayangkan, plafon anggaran universitas yang harus dikuras. Belum lagi kalau keterlambatan super parah. hingga, direktorat keuangan kamus kami harus jungkir balik. Lantaran ketentuan Departemen Keuangan tidak ada konsep talangan."

Namun, menurutnya, pihaknya memilih memaklumi--karena perintah Rektor--atas semua keterlambatan tersebut, agar jangan sampai ada dosen dari kampusnya terlantar.

Tragisnya, lambat laun jumlah penerima beasiswa dari kampusnya itu kian banyak, sementara keterlambatan tidak pernah usai. Maka dengan dana yang terbatas, pihaknya harus memutar jatah dari kampus itu secara bergiliran.

Tapi persoalan itu muncul pada 2012, kian menggurita. Bertepatan dengan saat Dikti memutuskan semua dana dikirim langsung ke rekening Karyasiswa, bukan melalui kampusnya lagi, dijelaskan sumber tersebut. "Secara alamiah, itu akan mengurangi beban kampus kami, tapi kami sadar betul, keterlambatan Dikti masih berlanjut, dan yang akan menderita adalah Karyasiswa kampus kami,"sumber tersebut melanjutkan."Tapi sebagian Karyasiswa kami meminta kampus untuk tetap membantu. Rektor menyanggupi, tapi persoalan justru lebih kompleks."

Ya, dikatakan olehnya, karena dana beasiswa dikirim langsung ke rekening Karyasiswa, tidak lagi melalui kampus. Pihaknya kesulitan memantau keterlambatan dan juga pengembalian dana talangan.

Akhirnya disepakati, bantuan bersifat pinjaman tanpa bunga dikembalikan setelah Karyasiswa mendapatkan transferan. Tapi, karena pihaknya tak bisa memprediksi kapan dana Dikti dikirim, maka dana bantuan yang disediakan pihaknya sebagai talangan menjadi sangat terbatas. Apalagi itu sifatnya harus diputar, seperti diterangkan sumber ini.

"Maka itu kampus kami hanya bisa memberikan bantuan pinjaman hanya saat Karyasiswa yang lain mengembalikan yang telah mereka pinjam," ia menguraikan lebih lanjut. "Kami sudah mengkhawatirkan bahwa nanti keterlambatan akan massal, maka kami kesulitan. Benar saja, pada awal 2013, semua dana dari Dikti terlambat hampir satu semester. Akibatnya, banyak Karyasiswa kami minta keringanan. Karena alasan kemanusiaan, pimpinan menyetujui. Namun yang terjadi di pertengahan 2013, semua bentuk bantuan kami dianggap ilegal oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)."

Di situ, inisiatif kampus tersebut justru dijadikan temuan serius oleh pihak BPK. Pihak kampus itu menjadi serba salah dan bahkan merasa terjepit. Mereka merasa berada dalam posisi yang sulit. Padahal pihak kampus itu, dijelaskan olehnya, hanya berniat membantu Karyasiswa, namun dianggap ilegal oleh BPK. Eksesnya, pihak kampus pun terpaksa menghentikan strategi itu.

Walaupun, berdasar penjelasan sumber ini, pihaknya masih berusaha mencari upaya lain sampai saat ini. Apalagi dari data pihaknya, keterlambatan dana itu tak hanya berupa living cost, melainkan juga SPP.

Perihal Administrasi DIKTI

Awalnya, Karyasiswa kampus itu mengirimkan dokumen secara mandiri kepada Dikti, dilengkapi surat pengantar dari pihak kampus. Ironisnya, justru pihak Dikti kerap menyatakan "TIDAK PERNAH MENERIMA" dokumen apapun.

"Itu adalah pernyataan konyol yang yang sering terjadi dan dilakukan pihak Dikti," sumber ini mengungkapkan. "Maka, Dikti atau setidaknya staf mereka memiliki reputasi di mata kami sebagai 'pemakan' dokumen.'"

Alhasil, pihak kampusnya mengintenvensi kembali dengan mengirimkan dokumen secara kolektif. Lucunya, menurut dia, masih juga terjadi lagi kasus serupa. Bahwa pihak Dikti menyatakan tak pernah menerima dokumen dari kampusnya.

Iapun mengecam hal itu dengan nada menggugat, "Apakah kami harus menyalahkan TIKI, JNE, atau Fedex?"

Bahkan, lanjutnya, akhirnya pihak kampusnya memutuskan cara yang cenderung kuno di dunia administrasi, yaitu mengirimkan kurir khusus, mengutus beberapa orang untuk membawa seabrek dokumen milik Karyasiswa.

Nyatanya, cara itu juga tak juga berhasil.

"Saya sendiri, pernah mengirimkan dokumen--ke Dikti, tepatnya mengirimkan staf membawa dokumen itu, ditinggal di sana. Ditunggu tidak bulan tidak juga selesai. Saat kami menanyakannya ke Jakarta, mereka hanya menjawab; maaf dokumennya hilang."

Lebih jauh, ia juga membeberkan persoalan sistem online yang diterapkan pihak Dikti. Menurutnya, walaupun Karyasiswa sudah mengupload dokumen, tapi mereka masih juga diwajibkan mengirimkan hardcopy. Tak pelak, hal itu kian menyulitkan Karyasiswa dalam urusan dokumen.

Memang, menurut dia, pihak Dikti selama ini kerap mengirim staf mereka ke luar negeri dengan alasan evaluasi Karyasiswa sejak 2010. Tapi, sampai sekarang, pihaknya tak pernah melihat bahwa evaluasi dilakukan pihak Dikti mengimplementasikan hasil evaluasi tersebut.

Terakhir, ia menegaskan, pihaknya mendukung penuh upaya membongkar kekacauan beasiswa Dikti. Walaupun secara institusi, pihaknya tidak bisa melakukan upaya pembongkaran tersebut secara leluasa. (Twitter: @ZOELFICK)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun