Namun, menurutnya, pihaknya memilih memaklumi--karena perintah Rektor--atas semua keterlambatan tersebut, agar jangan sampai ada dosen dari kampusnya terlantar.
Tragisnya, lambat laun jumlah penerima beasiswa dari kampusnya itu kian banyak, sementara keterlambatan tidak pernah usai. Maka dengan dana yang terbatas, pihaknya harus memutar jatah dari kampus itu secara bergiliran.
Tapi persoalan itu muncul pada 2012, kian menggurita. Bertepatan dengan saat Dikti memutuskan semua dana dikirim langsung ke rekening Karyasiswa, bukan melalui kampusnya lagi, dijelaskan sumber tersebut. "Secara alamiah, itu akan mengurangi beban kampus kami, tapi kami sadar betul, keterlambatan Dikti masih berlanjut, dan yang akan menderita adalah Karyasiswa kampus kami,"sumber tersebut melanjutkan."Tapi sebagian Karyasiswa kami meminta kampus untuk tetap membantu. Rektor menyanggupi, tapi persoalan justru lebih kompleks."
Ya, dikatakan olehnya, karena dana beasiswa dikirim langsung ke rekening Karyasiswa, tidak lagi melalui kampus. Pihaknya kesulitan memantau keterlambatan dan juga pengembalian dana talangan.
Akhirnya disepakati, bantuan bersifat pinjaman tanpa bunga dikembalikan setelah Karyasiswa mendapatkan transferan. Tapi, karena pihaknya tak bisa memprediksi kapan dana Dikti dikirim, maka dana bantuan yang disediakan pihaknya sebagai talangan menjadi sangat terbatas. Apalagi itu sifatnya harus diputar, seperti diterangkan sumber ini.
"Maka itu kampus kami hanya bisa memberikan bantuan pinjaman hanya saat Karyasiswa yang lain mengembalikan yang telah mereka pinjam," ia menguraikan lebih lanjut. "Kami sudah mengkhawatirkan bahwa nanti keterlambatan akan massal, maka kami kesulitan. Benar saja, pada awal 2013, semua dana dari Dikti terlambat hampir satu semester. Akibatnya, banyak Karyasiswa kami minta keringanan. Karena alasan kemanusiaan, pimpinan menyetujui. Namun yang terjadi di pertengahan 2013, semua bentuk bantuan kami dianggap ilegal oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)."
Di situ, inisiatif kampus tersebut justru dijadikan temuan serius oleh pihak BPK. Pihak kampus itu menjadi serba salah dan bahkan merasa terjepit. Mereka merasa berada dalam posisi yang sulit. Padahal pihak kampus itu, dijelaskan olehnya, hanya berniat membantu Karyasiswa, namun dianggap ilegal oleh BPK. Eksesnya, pihak kampus pun terpaksa menghentikan strategi itu.
Walaupun, berdasar penjelasan sumber ini, pihaknya masih berusaha mencari upaya lain sampai saat ini. Apalagi dari data pihaknya, keterlambatan dana itu tak hanya berupa living cost, melainkan juga SPP.
Perihal Administrasi DIKTI
Awalnya, Karyasiswa kampus itu mengirimkan dokumen secara mandiri kepada Dikti, dilengkapi surat pengantar dari pihak kampus. Ironisnya, justru pihak Dikti kerap menyatakan "TIDAK PERNAH MENERIMA" dokumen apapun.
"Itu adalah pernyataan konyol yang yang sering terjadi dan dilakukan pihak Dikti," sumber ini mengungkapkan. "Maka, Dikti atau setidaknya staf mereka memiliki reputasi di mata kami sebagai 'pemakan' dokumen.'"