Mohon tunggu...
Achmad Soefandi
Achmad Soefandi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, Jurusan Sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa itu Humanisme?

13 Januari 2016   10:50 Diperbarui: 4 April 2017   16:13 3884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam sila kedua, pancasila berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Bunyi sila kedua ini memiliki kata kunci yaitu manusia dan kemanusiaan, kedua kata sudah menjelaskan apa itu humanisme. Definisi lengkap humanisme bisa kita temukan dalam banyak literatur, ada yang mendefinisikan humanisme itu sebagai suatu gerakan, ideologi ataupun bagian dari aliran filsafat tertentu. Semua definisi tersebut benar menurut penulis, karena tidak ada definisi tentang sesuatu yang bisa dikatakan sebagai kebenaran mutlak. Salah satu definisi humanisme yang penulis pahami ketika penulis membaca salah satu buku karya F. Budi Hardiman yang berjudul “Humanisme dan Sesudahnya”. Dalam buku tersebut definisi humanisme dijbarkan oleh penulisnya dengan bahasa yang mudah dipahami, tidak seperti buku-buku filsafat lainya yang menjelaskan suatu definisi dengan bahasa yang mengawang-ngawang yang terkadang membuat kepala kita pening untuk memahami penjelasanya. Menurut Budi Hardiman (2012: 7) humanisme adalah suatu paham yang menitikberatkan pada manusia, kemampuan kodratinya dan kehidupan duniawinya. Jadi paham humanisme ini menempatkan manusia sebagai mahluk yang unik dari makhluk lainya, karena manusia memiliki kesadaran daripada makhluk lainya.

Gerakan humanisme ini pertama kali lahir sekitar abad 14 atau dalam lingkungan akademik sering disebut sebagai periode rennaisans (Budi Hardiman, 2012: 9). Apa itu rennaisans? Rennasians adalah jaman ketika budaya-budaya Yunani dan Romawi kuno bangkit kembali. Sedikit penjelasan bahwa budaya pada era yunani dan romawi kuno ditandai dengan kebebasan manusia untuk menggunakan akal atau rasionya dan menggunakanya untuk mempertanyakan segala fenomena yang terjadi pada saat itu. Sekarang yang menjadi pertanyaan kenapa pada abad 14 atau rennaisans, budaya Yunani dan Romawi tersebut bangkit? Jika dikatakan bangkit maka sebelumnya budaya tersebut sempat mati. Memang benar pada masa sebelum abad 14, lebih tepatnya sekitar abad 9 atau biasa disebut abad pertengahan budaya Yunani dan Romawi kuno sempat “mati suri”. Hal ini karena pada masa itu dominasi dari institusi Gereja mengekang pemikiran kritis setiap pengikutnya dengan berbagai dogma-dogma yang diajarkanya. Setiap ada orang yang mempertanyakan atau menentang ajaran Gereja maka orang tersebut dianggap sebagai musuh Gereja. Salah satu contonhya adalah Giordano Bruno Filsuf yang lahir pada abad ke 15 di Italia ini, mati dibakar oleh pihak Gereja di tiang pancang karena menurutnya, ajaran Gereja bahwa bumi merupakan pusat dari tata surya adalah salah.

Kembali pada topik yang dibahas, gerakan ini lahir sebagai bentuk “emansipasi” terhadap manusia setelah sekian lama rasio atau akalnya dikurung oleh pihak Gereja. Humanisme memiliki keyakinan bahwa nilai-nilai universal tidak hanya sebatas dari wahyu dari langit saja tetapi mempercayai bahwa manusia adalah mahkluk yang diberi kelebihan dari makhluk lain yaitu akal budi. Jadi menurut humanisme ketika manusia hanya tunduk terhadap segala dogma-dogma agama tanpa memikirkan secara kritis apakah hal yang masuk di dalam kepalanya tersebut benar ataupun salah, maka menurut paham humanisme manusia sudah mengingkari kelebihan yang dimilikinya.

Ada pepatah yang mengatakan “tidak ada gading yang tak retak” begitupun humanisme. Selain banyak memiliki sisi positif, humanisme juga memiliki sisi negatif. Menurut Budi Hardiman (2012: 62) humanisme bisa menjadi suatu paham yang berbahaya ketika humanisme menjadi suatu paham yang ekslusif. Kata ekslusif bisa dipadankan dengan kata khusus atau tertentu. Humanisme ekslusif adalah humanisme yang mulai mengkotak-kotakan manusia, mengkategorikan manusia dalam dikotomi atau pemisahan-pemisahan (Budi Hardiman, 2012: 62). Dalam kajian humanisme manusia dianggap sebagai makhluk yang istimewa karena memiliki kesadaran lebih, tapi karena anggapan inilah justru manusia menganggap dirinya lebih hebat dari makhluk lainya. Kelebihan yang dimiliki manusia berupa akal, justru digunakan untuk menundukan alam (ekspoloitasi tambang batu akik, emas, penggundulan hutan dengan cara membakarnya) sampai membunuh sesama manusia. Contoh dari humanisme ekslusif ini bisa kita lihat dari kepemimpinan Adolf Hittler yang membedakan manusia berdasarkan dua ras yaitu ras tinggi (ras arya) dan ras “lainya”. Dikotomi ini berujung terhadap pemusnahan ras “lainya” dengan metode kamar gas yang menimbulkan banyak korban jiwa yang diterapkan Hittler pada saat itu. Contoh lain dari humanisme ekslusif adalah sikap fanatisme terhadap salah satu partai, agama dan lainya.

Dari penjabaran tersebut, manakah yang akan kita pilih, humanisme dengan manusia atau justru humanisme tanpa manusia? Itu terserah anda.

Sumber Bacaan

Budi Hardiman. F. 2012. Humanisme dan Sesudahnya. Jakarta: KPG.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun