Makan di restoran fastfood cukup menyenangkan, bahkan bisa menjadi suatu kebanggaan tersendiri, misalnya dengan memfoto makananya dan memasukan di social media. Saya sendiri jujur suka dengan produk makanan yang ditawarkan restoran fastfood sseperti ayam goreng, kentang goreng dan beberapa produk lainya. Produk makanan yang ditawarkan fastfood sangat menggoda baik itu bagi indra perasa kita (rasanya enak), penciuman kita (aromanya sedap) dan penglihatan kita (dekorasi restoran yang gemerlap dan tampilan makananya). Selain itu dari segi kualitas restoran fastfood sangat menjaga standard rasa yang pakem, maksudnya juka saya makan di restoran A di kawasan Surabaya barat, maka rasa yang ditawarkan sama dengan dengan restoran A yang ditawarkan di kawasan Surabaya timur. Selain itu yang membuat restoran fastfood ini menarik adalah tingkat efisien dalam hal pelayanan, karena banyak restoran fastfood menawarkan layanan drivethrought. Layanan ini memungkinkan pelanggan bisa memesan makanan tanpa harus turun dari kendaraan. Pelayanan yang cepatpun menjadi salah satu pertimbangan banyak orang menggandrungi restoran fastfood, hal ini terlihat sewaktu kita memesan satu menu makanan maka tidak begitu lama berselang makanan sudah bisa disantap, hal ini berbeda jika kita makan di tempat makan tradisional yang cenderung penyajian makananya cukup lama, karena harus dimasak dari awal terlebih dahulu.
Jadi seara garis besar pelayanan dalam restoran cepat saji menekankan kepada stadarisasi (homogenisasi produk), efisiensi (layanan drivethrough) dan lebih menekankan kuantitas.
Dan sekarang yang menjadi pertanyaan dari point point diatas adalah: apakah homogenisasi ini memiliki dampak ?, efisiensi ini ditujukan kepada siapa ?, bagaimanakah kualitas dari produk tersebut?.
Pertanyaan ini bisa kita lacak jawabanya dalam buku George Ritzer (2002) yang berjudul “Ketika Kapitalisme Berjingkrak”. Dalam msayarakat mcdonaldiasasi menurut pandangan Ritzer (2002) adalah masyarakat di era modern seperti saat ini yang lebih menekankan pada kuantitas, penggantian tekhnologi manusia menjadi non manusia, prediktabilitas dan rasionalitas (meskipun produk akhirnya irasionalitas). Dalam buku ini Ritzer melihat bahwa masyarakat era modern sudah menerapkan sistem kerja mcdonald dalam segala aspek kehidupanya dan dalam buku ini juga Ritzer secara gamblang juga menjelaskan awal berdirinya Mcdonald sampai bagaiman sistem kerja yang diterapkan dalam mcdonald. Dalam kajian buku ini kenapa Ritzer memilih mcdonald ?, karena macdonald menjadi pioner awal restoran fasfood yang mendulang suksess besar sampai saat ini dan sistem kerja mcdonald ini sudah mulai diterapkan dalam aspek kehidupan lainya seperti pendidikan, ekonomi dan politik.
Dalam tulisan ini akan sedikit membahas pandangan Ritzer tentang dibalik pengelolaan mcdonald, untuk menjawab tiga pertanyaan yang sudah saya sebutkan diatas. Pertama apakah homogenisasi (standar pakem) yang ditekankan restoran ini memiliki dampak ?, menurut Ritzer ya. Dampaknya adalah dari segi kesehatan yang mengkonsumsi dan pencemaran lingkungan. Dalam buku ini Ritzer mencantumkan beberapa hasil penelitian para ahli yang menyatakan kentang goreng (produk fastfood) mengandung berbagai bahan kimia, penggunaan bahan kimia ini dimaksudkan oleh pihak restoran fastfood agar kentang yang dihasilkan memiliki ukuran besar dan diharapkan pertumbuhan kentang tersebut bisa lebih cepat. Dampak buruk lainya terhadap lingkungan, menurut Ritzer (2002) pencemaran lingkungan ini terjdi akibat penggunaan bahan kimia pada kentang, yang dampaknya berpengaruh pada lingkungan sekitar khususnya di daereah Pasific Northwest. Standarisasi kentang yang sudah di tetapkan berdampak pada kentang yang sudah dipanen dan tidak memenuhi standar akan di gunakan sebagai pakan ternak, dan kentang yang sudah diberi bahan kimia tersebut meskipun sudah dimakan hewan ternak dan di keluarkan dalam bentuk kotoran,, kotoran tersebut masih mengandung bahan kimia berbahaya yang susah diuarai.
Pertanyaan kedua efisiensi ini ditujukan kepada siapa ?, jawabanya ya, tapi lebihditujukan oleh pihak restoran fastfood. Contohnya layanan drivethrough hal ini sejatinya lebih menguntungkan atau efisiensi yang didapatkan pihak fastfood lebih besar, karena pihak fastfood tidak perlu menyediakan kursi sewaktu pengunjung datang (karena pesan di luar restoran) dan pihak fastfood tidak perlu membersihkan meja (kerena pelanggan tidak makan di tempat). Hal ini berbeda dengan yang dialami consumen saya pernah mencoba layanan ini dan bukan efisiensi yang di dapat, karena pada saat itu antrian cukup panjang ditambah kita harus melihat dan memilih serangkaian menu yang disajikan dengan keadaan terburu buru, karena antrian belakang terus mengklakson dan sewaktu sampai di pihak penerima pesanan saya memesan menu yang saya inginkan dan si penerima pesanan menjawab menu tersebut sudah habis dan akhirnya saya antri lagi di bagian belakang karena gambar dan list menu berada di bagian belakang -,- .
Pertanyaan terakhir bagaimana dengan kualitas ? pertanyaan ini jawabanya sudah ada pada pertanyaan pertama dan sedikit tambahan bahwa kualitas yang ditawarkan sama tidak ada yang lebih ataupun kurang. Dengan begini produk fastfood tak ubahnya bagian dari budaya masa dalam pandangan filsuf Prancis Jean Baudrillard.
Daftar Pustaka
Ritzer, George. 2002. Ketika Kapitalisme Berjingkrak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H