Bagi penulis, untuk lingkup daerah sosok Dedi Mulyadi merupakan seorang yang memegang teguh tentang Nasionalisme. Beliau mengajarkan Nasionalisme tidak dengan kata-kata. Melainkan dengan sebuah karya nyata.
Ketika yang lain sibuk dengan Barat dan Timur menjadi acuan, Dedi Mulyadi berlari kebelakang untuk membawa sebuah tradisi warisan leluhur Nusantara agar bisa bersaing dengan Barat maupun timur.
Ketika barat maupun timur menjadi acuan, berarti nasionalisme kita bukan lagi Nasionalisme Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena kita melupakan dan meninggalkan produk asli Nusantara.
Apakah Nasionalisme dan Tradisi bertentangan dengan Nilai-nilai Agama?
Kalau tradisi kita bertentangan, tentu para wali saat menyebarkan syariat islam telah menghancurkannya, tapi ini kan tidak. Peninggalan tersebut di revisi agar sejalan dengan syariat.
Begitu juga Nasionalisme, Hasyim Asy'ari mengamini apa yang telah di dengungkan oleh Bung Karno tentang sebuah Nasionalisme.
Sekarang, kita yang hidup di jaman ini mengkafirkan tradisi dan mengharamkan Nasionalisme, apakah kita lebih mulia dari para wali dan kyai, memilukan?
Apa yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi membawa tradisi untuk sejajar dengan bangsa lain adalah kecintaan kepada bangsanya.
Sedangkan mereka yang meniru barat-timur dengan menyampingkan originalitas adalah bentuk kemunduran kecintaan kepada tanah-airnya.
Sejarah juga mencatat, bangsa ini pernah menggoresakan tinta emas sejarah dengan produk lokalnya. Maka, saya kira bangsa ini bisa kembali kembali besar apabila berjalan dengan identitasnya.
Sejarah telah mengingatkan, untuk senantiasa berjalan untuk mengingat yang telah terjadi, Soekarno mengingatkannya dengan lantang 'Jangan Melupakan Sejarah' karena kejadian sekarang telah terjadi dimasa sebelumnya. Hanya waktu dan tempat saja yang memisahkan.