Setiap hari manusia membutuhkan asupan makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Makanan merupakan kebutuhan dasar hidup manusia, tanpa makanan manusia tidak dapat bertahan hidup. Kebutuhan makanan setiap manusia memang berbeda, baik itu jenis, jumlah, maupun variasi makanannya. Makanan adalah faktor kehidupan terpenting karena tanpa makanan makhluk hidup mustahil bertahan. Akan tetapi, seberapa banyakkah yang dibutuhkan? Secara ukuran BPS kebutuhan manusia indonesia yaitu 2100 kalori per orang per hari yang setara Rp 7057,- per orang per hari. Padahal dalam hidup ini manusia tidak hanya butuh makan saja tetapi juga banyak hal. Sandang, papan, pendidikan, rekreasi(hiburan) dan masih banyak lagi tergantung tiap individunya. Jika menilik kebutuhan dasar manusia, manusia hanya membutuhkan hal-hal untuk melangsungkan kehidupannya. Secara primitiv bisa disebut sebagai kebutuhan nutrisi dan benda untuk melindungi tubuh (pakaian dan tempat tinggal). Seiring berkembangnya peradaban manusia berkembang pulalah kebutuhannya, misal komunikasi dan rekreasi (hiburan). Dan itu masih dibedakan lagi dengan tingkat kehidupan tiap manusianya, ada yang dalam kategori pokok, sekunder, dan mewah. Dari segi jumlah yang dikonsumsi juga tiap individu memiliki diferensiasi. Distribusi pangan di negara ini ekuivalen dengan distribusi kemampuan seseorang untuk memenuhi pangannya, keduanya sama-sama tidak merata. Geografis dan demografis bangsa ini selalu dijadikan alasan mengapa masih ada orang yang "kelaparan". Tengok saja kasus kelaparan di yahukimo papua, puluhan orang meninggal karena kelaparan. Dan banyak kasus pula mengenai balita yang meninggal diakibatkan gizi buruk. Bahwa adanya orang-orang tidak mampu atau bisa disebut orang miskin adalah tanggungjawab pemerintah yang menaunginya dan orang yang mempunyai kecukupan rejeki. Hal itu tidak serta merta menunjuk bahwa hanya pemerintah dan orang kaya lah yang harus membantu. Karena penderitaan sesama kita merupakan tanggungjawab bersama. Mustahil pula jika hanya mengandalkan pihak-pihak tertentu sebab adanya keterbatasan, baik itu segi informasi maupun pendanaannya. LANGIT ITU SATU MAKA HATI KITA PUN TERHUBUNG Kebanyakan dari kita lebih sering mengkotak-kotakan diri menjadi orang inilah orang itulah padahal kita sama yaitu makhluk Tuhan. Makhluk yang dibekali akal budi, yang bukan hanya mampu berfikir tetapi juga berperasaan. Tidak hanya itu kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Isu-isu mengenai SARA seharusnya tidak lagi menjadi tembok penghalang kepedulian. Hal-hal seperti persatuan adalah kemutlakan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan. Apakah perlu adanya peristiwa yang mengusik nurani terlebih dahulu lalu terbitlah empati sehingga kita lebih peduli? Tengok saja kasus balita Bilqis dengan "Koin Untuk Bilqis" yang mampu mengumpulkan ratusan juta rupiah kepedulian. Atau kasus prita mulyasari, yang mampu meraup dana kontan untuk kebebasannya. Itu semua berawal dari sikap kebersamaan lalu mengapa tidak dengan yang lain? Padahal masih banyak kasus-kasus serupa atau mungkin karena mereka tidak memiliki FACEBOOK maupun TWITTER untuk menggalang empati sehingga mendapatkan kepedulian. Cobalah biasakan melamun sejenak saja berharap dihinggapi rasa iba terhadap sesuatu. Hati kita seakan telah membatu dikarenakan pemberitaan mengenai penderitaan kemiskinan sudah jamak adanya. Korupsi lebih mendominasi headline pembicaraan masyarakat mulai dari televisi hingga warung kopi, mulai dari dewan perwakilan sampai pinggir jalanan. Fokus perhatian masyarakat terhadap korupsi lebih menimbulkan rasa kebencian yang berlebih. Apakah membenci korupsi itu salah? Tentu tidak, hanya saja terlalu terhipnotis lika-liku penanganan korupsi membuat kita lupa peran kita sendiri. Kita lebih sering menyalahkan, terutama pemerintah dan koruptor terhadap keadaan bangsa ini. Tetapi sudahkah kita introspeksi diri mengenai apa yang telah kita perbuat? Padahal terlalu sering menyalahkan orang lain dan melupakan introspeksi diri akan menjadikan kualitas diri kita menurun (kata para motivator). BELAJAR KENYANG Perut Manusia bukan seperti kardus ataupun kotak plastik yang kaku. Perut manusia bersifat fleksibel yang mampu menyesuaikan kondisi tergantung manusianya itu sendiri. Jadi jumlah makanan yang bisa ditampung pun bisa disesuaikan dengan kebiasaan makanan yang masuk. Rasa lapar bukan berasal dari perut yang tidak terisi penuh akan tetapi lebih kepada kerja enzim yang memberikan informasi ke otak bahwa seseorang butuh makan. Proses lapar terjadi karena banyak faktor, sewaktu makan kurang dalam mengunyahnya sehingga informasi bahwa adanya nutrisi yang masuk terlambat diterima otak, perasaan tertekan (stress), begadang dan masih banyak lagi (dari sebuah artikel kesehatan). Kesemuanya itu kebanyakan lebih berhubungan dengan psikis seseorang atau sugesti yang diberikan oleh otak. Nabi muhammad mengajarkan kita (umat muslim pada khususnya) untuk makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Serta untuk memberikan porsi tepat kepada perut kita, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air, dan sepertiganya lagi untuk udara. Dari pandangan medis hal itu sangat tepat karena kekenyangan dapat menimbulkan mudharat (keburukan) bagi tubuh. Jika dikorelasikan dengan rasa syukur, belajar untuk kenyang berarti belajar bersyukur. Kebutuhan manusia atau keinginan manusia begitu tak terbatas sampai manusianya itu sendiri yang membatasi. Karena media untuk memenuhi kebutuhan itu ketersediaannya terbatas sehingga kita harus pintar mengelolanya. Dan perlu diingat bahwa kita tidak sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan, ada banyak orang yang juga ingin memenuhi kebutuhannya. Andaikata yang berlaku hukum alam yang mampu bertahan yang menang dan seleksi alam pun terjadi maka habislah sudah kemanusiaan. Padahal manusia bukanlah binatang yang lebih mengedepankan nafsunya, manusia adalah makhluk berperadaban terbukti manusia mampu berkembang pesat sampai sekarang. Seumpama tiap-tiap orang mampu menahan diri dari menonjolkan ego, bukan mustahil kesejahteraan dan kedamaian dapat terwujud. Lagipula cukup dengan tidak lapar saja kebutuhan sudah tercukupi, tidak usah mencari kenyang itu berarti menghindari sikap berlebihan. Nantinya jatah dari kita menghindari kenyang itu bisa untuk membantu orang lain yang kekurangan. Ibarat tiap orang mampu menyisihkan setengah piring, berarti untuk seratus orang telah disihkan 50 piring (porsi). Atau dari segi variabel kualitas, mereka yang makan dengan kemewahan mampu bersikap sederhana maka alokasi dari kesederhanaannya dapat dibagi kepada mereka yang makan dengan kualitas gizi yang terbilang buruk. Jadi, buat apa takut berbagi, berbagi adalah Sifat dasar manusia. #sekianRenunganSaya [caption id="attachment_169108" align="alignnone" width="451" caption="pemecah batu"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H