Mohon tunggu...
George Soedarsono Esthu
George Soedarsono Esthu Mohon Tunggu... profesional -

Menembus Batas Keunggulan Pioneer, Problem Solver, Inspirator To Live, To Love, To Serve Mengolah Kata-Mengasah Nurani-Mencerdaskan Hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jogjakarta Menuju City of Excellent

5 Maret 2015   20:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:07 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_371530" align="aligncenter" width="300" caption="Koleksi pribadi"][/caption]

Subyek selalu berproses membentuk diri. Tahapan ini menurut Antropologi Filosofis Jacques Lacan, dibagai dalam tahap: Tatanan Imajiner, Tatanan Simbolik, dan Tatanan Riil. Nah bagaimana Jogjakarta menuju Subyek yang dikehendaki? Ternyata perjalanan panjang ini, tidak selalu sederhana.

TATANAN IMAJINER

Yogyakarta sebagai: dunia, penunjuk, dimensi imej-imej - yang sadar maupun tak sadar, dipahami maupun diimajinasikan, tergambar dalam tembang Pucung.

Bapak pucung

Pasar Mlathi Kidul Ndhenggung

Krécak lor Negara

Pasar Gedhé loring Loji

Ménggok ngétan

Kesasar nèng Nggondomanan.

Tembang di atas, menggambarkan tata ruang Jogja secara Imajiner dalam bentuk pupuh Pucung. Jogja sebagai pusat keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki sejarah yang cukup panjang, yaitu sejak Ki Gede Pemanahan, M. Ng. Senopati Ing Ngelaga (1575-1601, Panembahan Seda Krapyak (1601-1613), Sultan Agung (1613-1645), Sunan Amangkurat I (1645-1677), Sunan Pakubuwono I (1703-1719), Sunan Prabu Amangkurat IV n(1719-1727). Amangkurat IV memiliki 4 putra: KPH Hadiwidjoyo, Sunan PB II (1727-1749). KPH Mangkunegoro yang dalam pembuangan oleh Kompeni di Pulau Ceylond, hingga wafatnya, dan Sultan HB I (1755-1792). Disinilah Mataram mulai terbagi dua, sejak Pangeran Mangkubumi berhasil dibujuk Belanda untuk ditahtakan di Ngayogakarta Hadiningrat dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I. Kemudian, perpecahan semakin menarik Ketika KGPAA Mangkunegoro I bermusuhan dengan HB I yang tidak lain adalah mertuanya sendiri. Akan tetapi, sesungguhnya Mataram mulai berjaya sejak Senopati Ing Ngelaga memindahkan pusat pemerintahan ke Alas Mentaok, yang nantinya dikenal sebagai Kota Gede. Dhus tembang pucung diatas menggambarkan Tata Ruang Utama Mataram yang kemudian mempengaruhi pembangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang masih tegak berdiri hingga hari ini.



[caption id="attachment_371527" align="aligncenter" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"]

1425534692190525368
1425534692190525368
[/caption]

Jogjakarta terus membentuk diri menjadi subyek. Mencari jati diri sebagai Daerah Istimewa ternyata tidak mudah. Diperlukan perenungan yang luas dan mendalam guna menemukan kekayaan dimensi, baik yang mengambil bentuk imanen maupun yang transenden. Oleh karena itu kita perlu merenungkannya baik pada tatanan riil, tatanan simbolik, maupun tatanan imajiner, agar supaya subyek Jogja Istimewa menemukan landasan filosofisnya.

Dalam Tatanan Riil, Ngayogyokarto Hadiningrat terpatri sejak dahulu kala dalam bentuk tembang mocopat Pupuh Pocung.

Bapak pucung - Pasar Mlati kidul Ndenggung

Krécak lor Negoro - Pasar Gedhé loring Loji

Ménggok ngetan - Kesasar nèng Nggondomanan

Pada Tatanan Simbolik, terungkap dalam tembang berikut ini:

Witing klapa jawoto ing ngarcopodo

Sakluguné wong wanito - Dhasar nyoto

Tak réwangi njajah projo - Ing Ngayojo Surokarto.

Sekar mlati gondo arum èdi pèni

Dhasar ayu merak ati - Adhuh Gusti

Tak réwangi pati geni - Pitung dino pitung bengi.

Dan pada Tatanan Imajiner, tersurat dan tersirat dalam Pupuh Sinom yang sangat masyhur itu.

Nulodho laku utomo

Tumraping wong tanah Jawi

Wong agung ing Ngèksigondo

Panembahan Senopati

Kepati amarsudi

Sudaning hawa lan nepsu

Pinesu tapa brata

Tanapi ing siang ratri

Amemangun karyènak tyasing sesama.

Tatatan Riil

Inilah awal muawal Ngayogyokarto Hadiningrat membentuk diri sebagai subyek. Dalam tembang pocung diatas, tergambar dengan gamblang tata ruang fisik keistimewaan DIJ. Pasar Mlati, Ndenggung, Krécak, Negoro, Pasar Gedhé, Loji, dan Gondomanan adalah Tatanan Riil yang bisa dijadikan dasar keistimewaan Jogjakarta. Ketujuh tempat itu bisa dibranding dengan cara apapun sehingga bisa menjadi tujuan wisata belajar olah kelahiran maupun olah kebatinan.

Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal18 Maret1940 saat berusia 28 tahun dengan gelar "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga". Penobatan tersebut melewati sebuah negosiasi yang alot selama 4 bulan dengan diplomat senior BelandaDr.Lucien Adammengenai perlunya otonomi Yogyakarta.

Di masa Jepang, Sultan tidak mau mengirimkan tenaga romusha, beliau memilih mengadakan proyek saluran irigasi yang dinamakan Selokan Mataram. Sultan Hamengkubuwono IX bersama Paku Alam IX adalah sultan pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk memimpin pemerintahan Republik Indonesia dari Yogyakarta, setelah, Jakarta dikuasai Belanda dalamAgresi Militer Belanda I.

Barangkali, Keraton Ngayogyokartolah satu-satunya keraton yang memiliki Siti Hinggil, tempat para pangrèh projo dan rakyat biasa hadir untuk bersilaturahmi dengan rajanya. Pada saat Universitas Gajah Mada kekurangan ruang kuliah, beliau memberikan Siti Hinggil untuk tempat mahasiswa-mahasiswi Universitas Gajah Mada sebagi ruang kuliah. Tidak salah beliau bergelar Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Bagi beliau Siti Hinggil mengandung makna Tanah Yang Diluhurkan, dimana Tuhan menciptakan manusia Adam yang tugasnya mengeja nama-nama benda, ilmu pengetahuan. Jadi alasan menyerahkan siti hinggil untuk tempat kuliah, mengeja nama-nama benda, menuntut ilmu pengetahuan, bukan sesuatu yang tidak ada dasarnya.

Juga ketujuh tempat diatas merupakan representasi tujuh ayat dalam surat pertama Al-Qur’an.

1.Pasar Mlati adalah tempat mengawali segala kegiatan. Basmalah: menunjuk bahwa setiap ada nama mesti ada wujud. Wujud yang hakiki tidak mempunyai nama, yakni zat. Maka basmalah berarti “Sifat dan Zat senantiasa saling bergantung dan tak dapat dipisahkan. Pasar dan manusia juga tidak bisa dipisahkan.

2.Ndenggung adalah representasi Hamdalah: Berpaling dari pujian manusia menuju ke arah pujian Tuhan. Didalam hamdalah ada Robb yang maknawiyahnya Roob adalah: Rubbubiyah artinya pemeliharaan [kecintaan], Walaayah [kuasa menentukan], Wilayah [memiliki kekuasaan], Auliya [pembantu-pembantu], Mawla [penolong], Waalie [pelindung]. Walie [pemimpin].

3.Krécak merupakan simbol Rohman – rohiem:Kehendak bebas.

4.Negoro merepresentasikan Malikiyaumiddien:Kekuasaan bertindak.

5.Pasar Gedhé memiliki perspektif Iyyakana’bud:Kemerdekaan bertindak yang bebas dari pembatasan-pembatasan apapun. Di pasar, siapa saja bebas mau berdagang apa dan pembeli bebas menawar, bukan?

6.Loji menggambarkan Ihdinash-shiroth:Menegakkan kuasa kewibawaan.

7.Gondomanan merupakan gerak Shirothol-ladziena an’amta’alaihim:Kepemimpinan seseorang dibawah landasan Hukum Suci Tuhan. Maghdhub-dholl:Hukum putusan.

Tatatan Simbolik

Witing klapa jawoto ing ngarcopodo

Sakluguné wong wanito

Dhasar nyoto

Tak réwangi njajah projo

Ing Ngayojo Surokarto.

Sekar mlati gondo arum èdi pèni

Dhasar ayu merak ati

Adhuh Gusti

Tak réwangi pati geni

Pitung dino pitung bengi.

Dewi yang ada di dunia fana ini adalah perempuan. Mengapa perempuan disebut dewi? Karena ia adalah realitas illahi. Ke-empuan-nya adalah karena ia berani njajah projo, belajar ngèlmu kasampurnaning dumadi, baik di Ngajogjo maupun di Surokarto. Njajah projo itu harap dimaknai sebagai menjelajahi kitab-kitab weda yang ditulis oleh para pujangga keraton Surokarto dan Ngayogyokarto. Ngayogyokarto Hadiningrat secara simbolik adalah bunga melati. Meski kecil, tapi putih nan wangi. Small is beautiful, tetapi harus bisa menjadi Rumah TEMPA. Tinata Éndah Mangayubagyo Paringing Allah. Indah secara lahiriah tetapi juga indah secara batiniah. DIJ pada dasarnya sudah ayu dan merak ati, cantik dan membuat siapapun yang datang, hatinya akan terpaut terus. Entah dengan Malioboronya, Bringharjonya, bakpianya, sate klathaknya, batiknya, gudhegnya, bahkan mungkin sèngsunya. Adhuh Gusti, orang Jogja itu punya bagusing ati, sehingga tidak perjakanya tidak gadisnya disunting oleh suku lain se Nusantara. Di dalam mencari ngèlmu kasampurnaning dumadi dibela dengan tidak makan tidak minum selama tujuh hari tujuh malam, yang maksudnya dengan bersusah payah, menjadi aktif proaktif dalam laku manunggaling kawulo lan Gusti. Tidak mau hanya sebagai pelengkap penderita seperti patung Rara Jonggrang yang hanya melengkapi 999 patung yang sudah diciptakan Bandung Bondowoso dalam semalam.

Tatanan Imajiner

Pada Tatanan Imajiner, Ngayogyokarto Hadiningrat direpresentasikan dalam Pupuh Sinom.

Nulodho laku utomo

Tumraping wong tanah Jawi

Wong agung ing Ngèksigondo

Panembahan Senopati

Kepati amarsudi

Sudaning hawa lan nepsu

Pinesu tapa brata

Tanapi ing siang ratri

Amemangun karyènak tyasing sesama.

Kita harus mencontoh perilaku utama Panembahan Sénopati. Ini khusus untuk orang Jawi, yang maksudnya bukan orang Jawa, tetapi orang yang sudah out of body, arogo suksmo. Ngangsu banyu apikulan warih amèt geni adedamar. Mencari air harus berpikulan air, mencari api harus membawa senthir (dian), maknanya kalau mau mencari ilmu harus sudah memiliki dasar. Jangan sampai muluk sakdurungé melok, mencari ilmu yang tinggi, yang muluk-muluk, tetapi kehendaknya belum tertata, mau untuk apa.

Manusia agung di Ngèksigondo adalah personifikasi Panembahan Senopati yang senang berolah nafas, samadi menutup sembilan indra yang suka membawa pada kemudaratan. Beliau sungguh-sungguh mencari jalan untuk menundukkan hawa nafsunya dengan jalan laku tapa baik di siang hari maupun di malam hari. Dan dalam keseharian, perilakunya hanyalah untuk membuat enak dan nyaman hati sesamanya.

Jika DIY hendak bersungguh-sungguh membentuk diri menjadi “subyek” yang nantinya akan merepresentasikan keistimewaannya, perlu dilakukan pengkajian secara multidimensional untuk menemukan Inti Visi Jogja Istimewa sebagai software yang merupakan sumber inspirasi dan sumber motivasi. Inti visi ini nantinya sebagai dasar untuk mendirikan Rumah Tempa, Tinata Éndah Mangayubagyo Paringing Allah, baik lahir maupun batin.

Akhirnya sebagai panduan utama yang bisa dijadikan tagline Jogja Istimewa, dan ini yang harus diwujudkan bersama-sama adalah Menjadi Sekar Kedaton Tamansari Dunia. Dan ini biarlah yang memimpin sang calon Ratu Ngayogyokarto Hadiningrat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun