[caption id="attachment_159284" align="aligncenter" width="300" caption="Diah Kencana Blog"][/caption]
Setelah kami sarapan pagi, jam 08.30 kami meluncur ke rumah Dr. Ir. Pande Diah Ketut Kencana, MS. Gerbang besar yang masih tertutup itu dibuka oleh seorang laki-laki paruh baya. Ia adalah I Made Ari Pribadi suami Ibu Diah. Pasangan ini tidak dikaruniai anak. Maka hidupnya benar-benar didedikasikan untuk ilmu pengetahuan yang memiliki added value.
Kami diterima di ruang makan sekaligus dapur berupa bangunan joglo khas bali, Â kecil tanpa dinding. Pasangan ini sangat ramah seperti biasanya keluarga Bali. Kamipun mendengar cerita yang cukup panjang tentang perjalanan Bu Diah. Dulu ketika memulai melirik bambu sebagai tanaman yang hendak diteliti, Ibu Elizabeth, pembimbingnya di IPB dengan keras dan tegas mengatakan bahwa Bu Diah bermimpi yang tak ada gunanya. Tetapi setelah keberhasilan hari ini, tantangan keras tersebut merupakan cambuk untuk terus menggeluti bambu tabah, yang, di Bali sangat banyak jumlahnya dan mudah tumbuh.
Rupanya Bu Diah sudah membuat gulai rebung bambu tabah yang spesial untuk kami. Menjelang jam satu siang kamipun menyantap gulai tersebut tanpa nasi. Setengah mangkuk bakso cukup membuat kami kenyang.
Setelah perut dikenyangkan dengan gulai rebung, kamipun meluncur ke kebun bambu yang jaraknya sekitar 80 km dari kediaman Bu Diah. Sepanjang perjalanan kami diguyur hujan lebat sehingga tidak bisa mengendarai mobil dengan kecepatan yang wajar. Sampai di lokasipun hujan masih deras dan kami harus berpayung menaiki tebing yang tingginya sekitar 5 meter untuk bisa melihat tanaman bambu yang rebungnya sudah siap dipanen.
Lahan yang kami kunjungi cukup luas, tetapi kami tidak bisa mengitarinya karena kondisi hujan lebat. Kami sementara berteduh di saung sederhana tempat petani pemilik lahan sering berkumpul berdiskusi. Lahan ini jika ditambah 2 tempat yang masih jauh lagi ada sekitar 25-30 hektar. Semua hampir masa panen. Untuk tahun 2012 dan seterusnya akan dikembangkan menjadi 470 hektar lagi, dimana di kebun-kebun tersebut akan dibangun hidro power sebagai pembangkit listrik yang cukup menjanjikan. Kebun yang kami kunjungi semula adalah tanah gersang yang ditumbuhi ilalang. Sekarang dengan adanya tanaman bambu setinggi 7 – 8 meter, tanah menjadi gembur dan subur. Seluruh program agribisnis rebung bambu tabah ini adalah binaan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana dimana Bu Diah mendedikasikan hidupnya sebagai dosen dan peneliti.
Ibu Diah pernah ditawari dana milyaran rupiah untuk penelitian lanjutan, tetapi ia tolak karena seluruh hasil penelitian harus diserahkan kepada perusahaan tersebut. Akhirnya dengan menjual mobil dan menabung Bu Diah selesai melakukan penelitian hingga tingkat yang memuaskan yang kini sudah bisa dinikmati hasilnya.
Kini hasil panen rebung bambu tabah diolah menjadi 5 jenis. Dikemas vakum dengan plastik, kemasan steam steryform, vakum dalam kemasan botol, vakum dalam kemasan stand-up pouch, dan rebung kering kemas vakum. Produk ini hanya bisa ditemui di Lotte atau Carrefure dengan harga 3 kali lebih mahal dari harga kopi.
Kamipun berpisah di kebun bambu dalam rintik gerimis sore.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H