Langit pada pagi itu tak biasa, kabut hitam seakan memberi pertanda malam tak rela untuk berpisah. Jalanan tak seramai biasanya di ibukota, karena sebagian penduduknya lebih memilih tinggal di rumah atau pergi ke tempat- tempat wisata. Sebab kali ini, peringatan hari kemerdekaan bersamaan dengan bulan puasa. anak kecilpun tidak semua pergi ke sekolah, sebab berapa hari sebelumnya anak- anak berjatuhan di peringatan hari pramuka. Perayaan kali ini juga berbeda dengan peringatan di tahun sebelumnya, tidak ada perlombaan lompat galah, ataupun lomba paduan suara. Bendera kecil yang ramai ditangan anak- anak sekolah dasar pun kali ini tidak lagi berkibar, seperti biasa ketika walikota datang untuk meresmikan gedung sekolah. Para pejabat negara semua berkumpul di istana, bendera kecil itu tertinggal entah dimana, terbaring di rumah liar ukuran dua kali dua.
Shelomita, adalah nama bendera kecil yang tak melambai di pinggir jalan atau yang berkibar perkasa di mobil- mobil pejabat negara yang selalu dikawal di jalan raya. Shelomita anak buruh bangunan serabutan yang sedang menghitung hari- harinya. Tidak ada kata merdeka dikepalanya, bahkan teks proklamasi juga tidak pernah dilihatnya. Yang dia tau, semua rumah sakit telah menolaknya, bahkan surat nikah orangtuanya telah disita, setelah orangtuanya tidak lagi punya biaya pengobatan anaknya. Tak ada bekas senyum di wajahnya, tidak ada jejak bahagia di kelopak matanya. Hanya bekas air mata yang tergambar di pipi kurusnya, setelah sembilan belas bulan dia didekap sakit yang katanya tidak ada obatnya. Shelomita tertatih dalam tangisannya, meringis ditengah ketidakberdayaan kedua orangtuanya. Merdeka baginya kini tidak lebih dari bebas dari penyakitnya, atau pergi untuk selamanya. Shelomita adalah bendera kecil yang mewakli derita anak bangsa yang tengah memperingati hari kemerdekaannya. Bendera yang tak lagi jelas warnanya, sebab darahnya kini tidak lagi merah. Tak lagi berkibar, sebab tulang- tulangnya kini rapuh hanya bisa terbujur di tempat tidurnya.
Bendera kecil itu tak pernah dilihat oleh para petinggi negara, maupun pejabat yang lalu lalang di kotanya. Dia hanya terlihat oleh mahasiswa- mahasiswa muda yang air matanya bercucuran di malam gelap ketika mengingat ibunya. Malam yang tak berbintang, seketika itu di pinggir laut ketika lagu- lagu perjuangan dinyanyikan para seniornya dengan iringan gitar seadanya. Mereka memilih turun ke jalan, menghampiri persimpangan, berhamburan di lampu merah demi uang recehan. Mereka tergerak oleh rasa kasihan, hingga harus melawan rasa malu menyapa para pengguna jalan. Semua itu mereka lakukan, untuk bendera kecil yang ingin mereka lihat berkibar. Mereka tidak pernah peduli apa latar belakangnya, mereka tak mau tau apa agama orang tuanya. Cinta telah membuat mereka bergerak melintasi batas- batas yang sering kali diciptakan manusia 'beragama'. Cinta adalah solidaritas lintas batas, mengalir ke lautan lepas tanpa pernah bertanya tentang siapa yang akan mengingatnya. Mereka hanya dicatat oleh persimpangan jalan, oleh lampu merah yang tak selalu hidup di tiap senja yang dilaluinya.
Dua senja yang tak berwarna mereka hampiri, dua petang yang tak merona mereka singgahi. Berlari kesana kemari untuk uang recehan yang dikumpulkan bukan untuk diri mereka. Sungguh tak mudah bagi para mahasiswa itu melakukannya, sebab bagi sebagian besar dari mereka, ini pengalaman pertama kalinya mereka menjadi 'peminta- minta'. Namun bendera kecil yang tak berkibar itu membuat hati mereka berkobar. Api unggun di pinggir laut itu telah membakar hatinya. Menerangi batinnya sehingga mampu melihat di kejauhan, tajam dan dalam. Melebihi kemampuan mereka memahami arti cinta. Tidak ada bank, baik milik negara maupun swasta yang bersedia menukarkannya. Sebab uang recehan itu tak tersusun rapi. Aroma keringat mahasiswa muda itu bercampur di setiap lembarannya. Jejak air mata Shelomita tergambar di setiap kepingan uang logam yang dikumpulkannya. Tak ada wartawan yang meliput aksi mereka, bahkan tak sedikit pengguna jalan yang hanya mengangkat tangannya, seakan uang recehan tidak ada di saku celananya. Namun para mahasiswa muda itu tak menghiraukannya.
Di ujung senja kedua mereka pulang dengan ceria, mereka tersenyum riang gembira, tidak ada letih yang memancar dari wajahnya. Hanya bau keringat mereka lebih 'harum' dari biasanya. Debu jalanan dan asap kendaraan melekat di baju mereka. Melengkapi sepi yang menyapa mereka di persimpangan waktu sesaat sebelum malam tiba. Ketika malam berlari jauh, mereka telah selesai menghitung uang recehan yang tentu tak sama dengan koin untuk prita. Sebab hanya mereka, yang melakukannya di kota itu. tak ada facebook, atau jejaring sosial lainnya yang sengaja dibuat untuk bendera kecilnya. Kurang lebih enam belas juta rupiah, mereka tutup ikatan plastik tempat uang yang mereka kumpulkan. Di ujung senja ketiga, mereka akan mengantarkannya, ke rumah liar ukuran dua kali dua, tempat bendera kecil bangsanya yang tersembunyi jauh dan sepi.Shelomita: mereka melakukan yang mereka bisa, sesaat sebelum bulan puasa tiba.
Dituliskan di rumah papan berlantai dua, tepat ketika soekarno- hatta membacakan naskah proklamasi di pegangsaan timur lima puluh enam jakarta. Ketika di istana negara para prajurit berdiri gagah. Untuk sebuah negara yang katanya enam puluh lima tahun merdeka. Dipersembahkan untuk mahasiswa muda, anggota gerakan mahasiswa kristen indonesia yang ada di kota batam, yang memahami cinta sebagai solidaritas lintas batas. Semoga Tuhan berkenan akan cinta mereka.
Jakarta; selasa, 17 Agustus 2010
Pukul 10.00 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H