sepertinya aku sedang belajar berhitung, ketika puntung rokok di asbak itu kurapikan, ingin memastikan jumlahnya. walau tidak sebanyak bintang yang memenuhi langit, namun tiga bungkusnya yang terletak di bawah meja memberi pesan, bahwa aku telah menghabiskan tiga bungkus dalam enam jam, luar biasa. rekor pertama di malam yang sangat gerah, memaksaku ronda tak terjadwal malam itu. tiba- tiba kuingat di kantong celanaku masih ada uang tujuh ribu rupiah, otakku langsung bekerja, mengingat jalan yang seminggu ini sering kulalui, berharap penjual rokok di pinggir jalan masih ada yang buka. dibawah gapura, di seberang jalan kantor polisi, aku memilih berjalan ke arah kiri, aku lebih yakin di sana ada penjual rokok yang masih buka. memang tidak terlalu yakin, namun kakiku melangkah terus, paling tidak olahraga malam. seminggu di sini, aku selalu dimanja kendaraan buatan jepang, hingga beberapa teman bilang, “sepertinya ‘abang’ lebih gemuk sekarang ya”. tidak banyak lampu jalan yang hidup, begitu juga ruko- ruko yang berbaris sepanjang jalan sepertinya memenuhi anjuran pemerintah untuk ‘hemat’ listrik. untung saja bulan setengah masih saja tersenyum membagi cahaya, membuatku berani menembus malam, sekali lagi untuk setengah bungkus rokok yang bisa menemaniku menjemput fajar pagi.
di tikungan pertama batu tiga, satu lagi kulihat gapura, tulisannya bintan plaza, (kota ini sepertinya suka dengan gapura: gumamku). rombongan motor membentuk barisan, memboncengi gadis- gadis berpakaian seadanya, berlari meraung memecah kesunyian malam, ke kiri dan ke kanan. di sampingnya warung penjual rokok masih buka namun bapak penjual rokok tertidur ditonton televisi tujuh belas inchi dengan siaran ulang pertandingan sepakbola liga italia, juventus vs napoli. wajahnya sepertinya sedang marah, mungkin karena kisruh lembaga yang mengurusi sepakbola Indonesia. “pak: beli dji sam soe setengah”. kuulangi sampai lima kali, bapak itu seakan tak peduli, atau mungkin sedang mimpi bertemu miyabi. “kalau saja aku pencuri, sudah kuambil rokokmu tiga bungkus, pikirku”. namun mencuri rokok dari kios pinggir jalan rasanya memalukan, apalagi kalau diteriaki maling, bisa berurusan sama polisi. masih lebih baik mencuri uang negara, di berbagai media bisa konperensi pers: “saya tidak kenal ibu itu, itu fitnah”, atau mengaku punya penyakit lupa akut, jadi bisa plesiran ke negeri jiran.
belum lama berselang, ketika aku masih menunggu bapak penjual rokok terjaga, ada perempuan dengan warna parfum yang menusuk tulang datang menghampiriku. “mas, punya uang lima ribu ga? saya tidak punya ongkos pulang”. gadis muda berpakaian seadanya, meneriaki malam dengan jejak air mata, mengukir pipinya yang memerah. tak sempat lagi kuhitung rokok yang akan kubeli, ketika uang lima ribu rupiah milikku sudah berpindah ke tangan kanannya. “terimakasih ya mas!”, belum sempat kuanggukkan kepala, dia sudah berlalu bersama uang lima ribu milikku. tak ada yang tersisa dari gerak tubuhnya, bahkan bayangannya pun tak terekam mataku. amelia, begitu dia sebut namanya, hanya semenit sebelum uang lima ribu milikku berpindah tangan. aku masih menelusuri dua menit percakapan kami, bapak penjual rokok sudah bertanya: “beli apa bang? dji sam soe setengah, eh salah, dua batang bang”. “amelia memaksaku kehilangan tambahan rokok malam itu, membantuku agar bisa tidur lebih cepat pikirku”.
wajah penjual rokok tidak ramah, mungkin karena rokok yang kubeli hanya dua batang. “sepele dia, gumamku dalam hati, dia tidak tahu aku baru membantu amelia. seakan sedang menghitung perbuatan baikku, padahal di gereja selalu diajarkan, "bahwa tangan kirimu tidak perlu tau apa yang dilakukan tangan kananmu: pikirku”. bapak itu terkesan tidak sopan, rokok tanpa bungkus diberikan dengan tangan kirinya. aku yakin dia tidak pernah ikut sekolah minggu, sebab guru sekolah minggu pasti mengajarkan, kalau memberi dan menerima apapun dari orang lain harus dengan tangan manis. kulangkahkan kakiku, sambil melihat bintang yang mungkin merekam peristiwa di tikungan itu. di sana ada jejak air mata, tempat perempuan berpakaian seadanya lalu lalang. kota kecil ini ternyata menyuguhkan berbagai peristiwa, menggetarkan, mengharukan. kisah malam itu melengkapi jerit hamparan tanah yang terluka, bumi yang telanjang setelah bauksit dirampas tangan- tangan tajam, menghujam bumi begitu dalam. menghisap sari- sari alam tanpa perasaan. entah apa yang kelak terjadi pada pulau ini, jika perselingkuhan penguasa dan pengusaha terus dibiarkan. hamparan tanah telanjang akan menjadi gurun pasir, debu beterbangan menembus dada, hingga pola pergiliran musim pun akan berubah.
amelia telah menyentuh kesadaranku malam itu, air matanya mengusik nuraniku. membuatku mengingat tanah merah yang terluka, bukit yang sudah rata, yang menyapa mataku di ujung senja. semoga saja ada yang bersuara dari sudut- sudut kota ini, untuk menghentikan mesin- mesin penghisap bauksit. bila esok matahari tiba, kiranya anak- anak muda di kota ini keluar dari kepompongnya, melihat rumah bersama; pulau ini sebentar lagi tak akan ramah. hendaklah yang punya mata melihat, yang punya telinga mendengar, agar mereka menjadi bijak.
memungut aksara, merangkai kata, di base camp kader- kader muda, ketika sumur di depan rumah tak lagi menyisakan air. dituliskan sesaat sebelum ayam berkokok tiga kali, ketika dji sam soe yang kedua, telah terbakar hingga garis warna kuningnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H