Mohon tunggu...
Sutrisno Pangaribuan
Sutrisno Pangaribuan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Berani, Lurus dan Percaya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ajeng: Mencari Makna Merdeka di Bis Kota

12 Juni 2011   16:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kota itu masih menyimpan sisa- sisa warna dari perayaan hari kemerdekaan beberapa hari sebelumnya, sabtu siang , ketika kabut hitam menyentuh keangkuhan gedung- gedung tinggi yang tersebar  dari selatan ke utara. Kota tua yang telah banyak berubah, kini tak lagi jauh berbeda dari Jakarta, di tiap  akhir pekan kemacetan ada di mana- mana. Sepanjang jalan masih terlihat bendera dan spanduk bertuliskan ucapan selamat hari ulang tahun Indonesia yang ke enam puluh lima. Jumlahnya hanya sedikit lebih banyak dari anak- anak kecil yang berhamburan mencari tempat berteduh ketika hujan mulai menyapa senar gitar kecilnya. Bis damri tua jurusan dago- lewi panjang berlari perlahan bak anak kecil yang sedang berlatih berjalan. Sebab badan jalan hari itu tidak hanya milik para pengendara. Di ruas kiri dan kanan jalan, gerobak pedagang musiman berbaris menanti senja, menjajakan makanan bukaan.

Tiga bahkan empat group pengamen telah bergantian menyapa penumpang, dari lagu rhoma irama hingga lagu franky sahilatua pun sudah dinyanyikan. Namun lebih banyak penumpang yang memilih menutup mata, karena lelah atau mungkin karena dingin yang menusuk tulang. Padahal lagu- lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu yang sarat akan pesan kehidupan, mewakili kekinian dimana pohon dan hutan, tak lagi rindang, tak lagi mampu menahan hujan. Bencana ada dimana- mana, banjir pun menjadi peristiwa biasa, seakan itu pola pergiliran, atau sekedar memenuhi kehendak alam. Satu persatu pengamen berlalu, bersama kantong plastik bekas bungkus permen relaxa tempat rezeki hasil jual suara di bis kota. Hidup memang tidak selalu mudah bagi mereka, tak semudah membunuh rasa malu, tak sesederhana memetik senar gitar, tak segampang menarik suara yang terkadang tak sama dengan irama gitarnya. Namun mereka telah melakoninya, atau paling tidak mengamen telah memilih mereka dalam perjalanan memenuhi legenda hidupnya.

Belum lama berselang, pengamen keempat berlalu di perempatan ketiga, seorang anak kecil dengan gitar berwarna merah telah berdiri di dekat tempat duduk baris kedua. Sapaannya tak biasa, tak ada kata yang keluar dari mulut mungilnya, dia hanya membungkkan badanya, seperti putri jepang yang sedang menyambut tamunya. Dia hanya sendiri, ketika jari- jarinya mulai menari dengan rambut panjannya yang sesekali membelai senar gitarnya. Suaranya memecah keheningan bis kota, berlomba dengan mesin mobil tua menembus kebekuan kabut hitam yang menghalangi pandangan mata. Suaranya berwarna, petikan gitarnya memesona, hingga semua bola mata penumpang tertuju padanya. Bahkan seorang anak kecil yang duduk di pangkuan ibunya, berdiri agar bisa melihatnya, melengkapi haru ibunya yang matanya mulai berkaca- kaca. Aku tak tau persis judul lagu yang dinyanyikannya, yang kuingat dalam lagunya ada kata "asiteru", dengan reff yang sedikit masih terekam di kepala: 'walau raga kita terpisah jauh namun hati kita selalu dekat bila kau rindu pejamkan matamu dan rasakan a a a aku'. Yang kutau pasti itu bukan lagu anak- anak, sebab perempuan yang duduk di sebelahku, menggenggam jemari tangan teman laki- lakinya, mengikuti gerak bibir anak kecil itu setiap kali menyanyikan reff lagunya. Sungguh menakjubkan, dua lagu itu dinyanyikannya dengan sempurna. Di bait terakhir lagu keduanya, kuminta temanku menanyakan nama dan berapa umurnya, persis ketika dia sekali lagi mengulanginya;" takkan kusia- siakan kamu lagi".

Ketika plastik bekas bungkus permen relaxa menghampiri kami, temanku bertanya sembari mengisi uang kertas ke plastiknya. Dengan singkat dia sebut namanya: Ajeng, umur sembilan tahun. Belum sempat aku ikut bertanya, anak kecil yang suaranya bagus itu telah beralu, mataku hanya sempat menangkap warna gitar kecilnya, ketika dia berlari ke terminal angkutan kota. Aku tak tau nama tempat itu, tempat berlalunya anak kecil itu, namun di setiap kaca bagian depan angkutan kota berwarna hijau tua, yang sedang mangkal di sana tertulis: ST. HALL. Ajeng yang berlalu di keramaian kota telah membuat pikiranku melayang entah kemana, singgahi bendera, menghampiri  makna kata merdeka. Dia tidak semestinya di sini, di bis kota yang tidak selalu ramah, sekolah semestinya tempat bermain untuknya. Namun merdeka baginya adalah meneriaki Indonesia di siang yang gelap, mengumpulkan uang recehan dari penumpang bis kota. Dia terlihat tidak bahagia, sekalipun lagu- lagunya dinyanyikannya dengan sempurna.

Shelomita bendera kecil tak berwarna di rumah liar ukuran dua kali dua di kota batam, Ajeng bendera kecil yang menyapa awan hitam di jalanan kota bandung. Wajah keduanya tidaklah akrab di mata pejabat pemerintah, suaranya hanyalah teriakan yang menyentuh makna kata merdeka, di sini di Indonesia yang telah berubah, ketika tiga pejabat pemerintah ditukar dengan lima perompak ikan negara tetangga.

Ajeng terus berlari di pinggiran jalan ibukota, kelak aku ingin bernyanyi bersamanya di panggung yang sebenarnya. Ketika Indonesia memberi arti merdeka seutuhnya di setiap lembaran buku sejarahnya.

juanda 109 bandung, sesaat menjelang kembali ke jakarta, sebelum ibadah di hkbp pondok timur bekasi yang terluka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun