Sekitar tiga tahun yang lalu, saya ditawari oleh salah seorang mahasiswa asing (mahasiswa program pertukaran pelajar) asal London untuk menjadi koresponden dalam sebuah penelitian yang dimaksutkan untuk bahan tugas akhir mahasiswa bersangkutan. Tawarannya tentu berupa koresponden cuma-cuma, alias tak ada imbalan dalam bentuk apa pun.
Kenapa saya mau jadi koresponden, bahkan terkesan girang alang-kepalang?.
Saat itu. Andaikan saya ditanya demikian. Maka, saya akan menjawab bahwa; saya seorang mahasiswa Indonesia, tentu kebutuhan untuk menguasai bahasa asing memiliki porsi tersendiri bagi masa depan saya kelak. Dalam hal ini, berinteraksi langsung dengan natif speaker sudah barangtentu akan banyak membantu saya terkait masa depan itu. Secara kebetulan juga, diwaktu yang sama, isu cross culture understanding tampak marak dibicarakan di berbagai forum formal dan non-formal di lingkungan kampus.
Sejujurnya, tawaran koresponden yang berujung pada pertemanan itu, saya terima dikarenakan olehalasan yang jauh lebih bernuansa pribadi ketimbang soal-soal subtil (intelektual) yang saya sebutkan tadi. Tentu saja, alasan yang saya maksud ini, erat kaitannya dengan ego dan imega saya dimata teman-teman mahasiswa setanah air, “Berteman dengan bule, gitu loh...!”.
Pendek cerita. Setelah melalui serangkaian obrolan ringan dan beberapa jenis basa-basi pada tingkat tertentu. Saya pun menerima selebaran (semacam angket) dari teman bule saya ini.
Ketika angket telah berada ditangan. Kaget disertai perasaan rada tidak percaya tiba-tiba menderah saya. Kaget karena saya mendapat kepercayaan yang pada waktu itu saya umpamakan sebagai penghargaan yang tidak biasa (kepercayaan yang datangnya dari jenis manusia pemimpin peradaban moderen). Begitulah kiranya dan saya sering geleng kepala karenanya. Tapi pada saat yang sama pula, perasaan rada tidak percaya justru menguasai diri saya. Dan perasaan itu sama kuatnya dengan perasaan saya yang pertama. Tapi untuk yang satu ini, saya betul-betul tidak menemukan alasan spesifik untuk bergeleng kepala.
Bagaimana rupa saya waktu itu, saat diamuk oleh dua gejolak batin yang saling bertolak dan sama kuatnya? Saya sendiri pun tidak tahu dengan persis. Namun, saya dapat pastikan bahwa shock yang menimpa secara tiba-tiba dan tak terduga itu, tentunya disebabkan oleh sederetan pertanyaan yang tercantum dalam selembaran angket yang diajukan oleh teman bule saya. Alhasil, saya jadi banyak bertanya-tanya dan menjadi repot sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
“Pantaskah pertanyaan sepeleh dan kekanakan macam ini sebagai bahan tugas akhir seorang calon sarjana”. Begitulah kesimpulan final saya, sok menghakimi kala itu.
Bayangkan saja, anda sedang membaca angket ini dan anda jumpai pertanyaan semisal: (1). Warna apakah kulitmu? (2). Produk pemutih apa yang anda pakai? (3). Jika memakai apa alasannya. Dan jika tidak, apa alasan anda?. Dan beberapa deret lagi pertanyaan yang menyinggung soal-soal warnah putih (kulit putih).
Sambil siul-siul saya menjawab begini: (1). Putih, (2). Tidak ada, (3). Karena kulit saya sudah putih. Dan tak lupa saya tuliskan nama saya pada kolom identitas koresponden dalam ukuran yang barangkali besarnya amat tidak wajar.
Berselang beberapa minggu kemudian. Dalam sebuah acara kumpul-kumpul yang diselenggarakan untuk mempersatukan pelajar-pelajar asal Sulawesi Selatan yang merantau dan menimba ilmu di Malang Raya. Saya pun mendapat kesempatan untuk berdiskusi banyak dengan teman bule saya ini. Alur diskusinya kurang lebih seperti ini; Saya ngotot dan berkeras kepala jikalau warna kulit saya adalah putih. Argumen ini saya kutkan dengan kata-kata; “Orang-orang disekeliling saya berkata demikian pada saya”. Sedangkan Teman bule saya itu, dengan sabar mengutarakan pandangannya. Diskusi buntu -- Saya tetap pada pendirian saya dan teman saya ini tampak sedikit lebih melunak dalam artian tertentu.
Di penghujung diskusi, ia pun berkata “Saya sangat kagum dengan kulit anda, Bagaimana kalau kita bertukar kulit saja?”. Belum sempat saya berucap sesuatu, tentunya mata saya sibuk mengamati secara seksama “kulit putih” menurut pengertian teman bule saya ini.
“Barangkali dengan begitu, anda tetap bangga dengan kulit putih anda dan saya sendiri bangga dengan kulit Indonesia (kuning langsat) saya!”. Saya terdiam dan kepala saya yang membatu seperti menciut dengan sendirinya.
Di akhir acara, semua orang berebut untuk berpose di depan lensa kamera bersama teman saya ini, dan tidak terkejuali saya. “Ayo saudara kulit putih!” begitulah ia memanggil saya -- sapaan baru untuk saya sejak saat itu. Sementara, teman-teman setanah air melirikkan mata dalam artian tertentu kepada saya akibat sapaan itu.
Berselang beberapa menit kemudian, kilatan blitz kamera menyala -- Setelah melihat dan mengamati cetak digital momen yang terabadikan itu, saya jadi banyak merenung. Penghujung acarapun memisahkan kami, dan perpisahan itu berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama.
Kesempatan untuk berdiskusi panjang lebar kembali datang pada acara perpisahan yang diadakan khusus oleh teman bule saya ini bagi teman-teman Indonesia-nya. Perjumpaan itu adalah perjumpaan kami yang terakhir kalinya. Semua orang tampak riang gembira dan saling berebut untuk unjuk batang hidung didepan lensa kamera. Teman bule saya diperebutkan ibarat boneka antik. Saya sendiri rada menjauh karena kapok dengan pengalaman sebelumnya. Acara itu pun berlangsung meriah di sebuah warung bambu yang kebetulan saja bertepatan dengan lounching perdana warung tersebut.
Dipenghujung acara, saat semua tamu undangan berpamitan satu-persatu, akhirnya saya yang dipercayakan sebagai penanggungjawab acara kecil-kecilan itu, kembali mendapat privasi lebih untuk mengobrol banyak dengan teman bule saya itu. Soal “kulit putih” tentunya. Namun kali ini, obrolan selalu diselingi oleh topik-topik ringan tertentu bila ada indikasi obrolan bermuara pada kebuntuan.
Secara terang-terangan, teman saya ini mengutarakan kekaguman dan hasratnya untuk memiliki warna kulit layaknya warna kulit orang-orang nusantara. “Kulit kalian bersih, tidak pucat, dan tidak berbintik...!” Itu pujian yang berulang kali ia lontarkan. Dan kepala saya terus manggut-manggut karenanya.
Diujung perpisahan, sebuah pertanyaan ringan kembali menohok saya. Redaksinya kurang lebih begini; “Kenapa orang Indonesia tampak begitu bangga ber-foto dengan orang bule”
Untuk kesekian kalinya saya tertohok oleh pertanyaan-pertanyaan sepeleh yang sudah barang tentu diluar dari kebiasaan frame berfikir saya (Barat[1] memiliki derajat tertentu). Wajah saya tidak hanya memerah, tapi kini terasa panas seolah sedang terpanggang.
Tumbuhkan Mentalitas Tangguh
Betapa sepeleh dan sederhana cerita singkat ini jika dipandang dari sudut apa adanya (sesuai alur cerita). Tapi meremehkan persolan kecil lantaran dipandang tidak terlalu subtil, sesungguhnya adalah asal muasal dari ketidak beresan mental dan pola fikir itu sendiri.
Tengoklah iklan-iklan yang marak muncul di dilayar kaca dewasa ini. Setiap harinya pemirsa televisi disuguhi bujuk rayu yang seakan berkata: Pakai ini!, supaya kulitmu putih. Imbasnya adalah mereka yang tidak memiliki kesadaran budaya yang kuat berbondong-bondong membungkus diri dalam kepalsuan (putih palsu).
Ows...! Jangan-jangan keminderan itu sebab-musababnya terletak pada ketidak tahuan yang mendalam pada identitas (Diri, Budaya, dan Bangsa). Lantaran tidak paham siapa sesungguhnya kita, seperti apa khazanah kultur lokal yang ada. Lantas serta merta mendompleng budaya tertentu yang dipandang lebih tinggi dan mampu menyihir santreo dunia lewat keunggulan-keunggulan dan keberadaban mereka.
Barangkali tarikan kesimpulan ini memicu ketersinggungan tertentu bagi para pembaca kebanyakan. Tapi, saya sendiri pun (secara sepihak tentunya) memiliki pengandaian sendiri dalam hal ihwal ini: Bahwa ketersinggungan yang pembaca rasakan samalah kadarnya dengan ketersinggungan yang kini saya rasakan ketika orang-orang terdekat saya menganggap saya sebagai; Orang yang berkulit putih.
Sudah saatnya kita menyadarkan diri masing-masing bahwa; Setiap warna memiliki keunikan dan kecantikannya masing-masing. Indonesia memiliki segala ragam warna -- Dari Sabang hingga Merauke, semuanya ada. Itulah Indonesia. Dan, saya sangat bangga dengan keragaman yang teramat komplit itu.
Apa pun warna anda (Pribumi, Indo, atau campuran manapun), temukanlah lewat kejujuran yang ada pada diri masing-masing, tak ada gunanya berlindung dibalik citra putih yang palsu itu. Banggalah terhadap warna Indonesia anda.
Banggalah menjadi bangsa yang besar dan beragam...!
[1] Barat = Negara-negara maju di benua barat (Eropa, Amerika, dll)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H