“ ...di persimpangan langkahku terhenti ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera, orang duduk bersila, musisi jalanan mulai beraksi... “ (Yogyakarta-KLA Project) , juru parkir pun turut beraksi : “prittt... prittt... parkir... parkir ...”, teriaknya.
Kota Yogyakarta - Kota Yogyakarta merupakan bagian dari provinsi Yogyakarta. Kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pelajar ini semakin hari semakin memilukan saja kondisi perparkirannya. Mulai dari penggunaan trotoar sebagai lokasi parkir, pemungutan tarif retribusi parkir yang semena-mena oleh juru parkir, munculnya parkir illegal, dan segudang masalah lain. Parkir = lahan bisnis !!!
Pelaksanaan perparkiran di Kota Yogyakarta sebenarnya sudah memiliki landasan hukum yang kuat, di antaranya yaitu Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum. Sama halnya seperti produk hukum lain yang dalam pelaksanaannya sering ‘disimpangkan’, Perda tersebut juga demikian halnya.
Berbicara mengenai parkir illegal tentu tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai PAD (Pendapatan Asli Daerah). Retribusi parkir yang seyogyanya dapat menjadi pendongkrak PAD menjadi kurang maksimal peranannya karena penyetoran retribusi parkir dalam parkir illegal tersebut tak jelas muaranya. Dengan menganggap sebagai lahan bisnis baru yang menggiurkan, banyak oknum tak bertanggungjawab berlomba-lomba menjadi penyelamat para pemilik kendaraan bermotor agar ‘sedikit’ merasa aman ketika meninggalkan kendaraannya.
Sedikit berbagi pengalaman, saya masih betul suatu hari saya diminta teman saya untuk menemaninya membeli jilbab. Secara kebetulan uang kami sama-sama menipis sehingga kami memutuskan untuk mampir di sebuah ATM yang terletak di depan sebuah bank ternama di Indonesia. Sekitar lima menit kami memarkir motor, kami harus membayar retribusi parkir.
Kemudian kami bergegas melanjutkan perjalanan ke toko jilbab seperti tujuan awal. Kami terpaksa harus keluar masuk beberapa toko jilbab untuk sekadar bertanya apakah jilbab dengan model seperti yang kami inginkan tersedia atau tidak. Alhasil, meskipun beberapa toko sudah dimasuki jilbab dengan model seperti yang kami inginkan tidak tersedia. Buruknya lagi, kami harus mengeluarkan berkali-kali ongkos parkir padahal kami hanya memarkirkan kendaraan sebentar, bahkan jarak antara kami dengan kendaraan kami terbilang cukup dekat sekitar 3 meter. Seperti kata pepatah -sudah jatuh tertimpa tangga pula-, sudah jilbab tidak didapat, uang terbuang berkali-kali untuk membayar retribusi parkir.
Dari pengalaman di atas, sebenarnya saya masih menganggap wajar jika harus membayar retribusi parkir meskipun hanya memarkirkan kendaraan sebentar saja. Akan tetapi, yang paling membuat dongkol adalah tak ada satu karcis parkir pun yang kami terima dari sekian kali kami parkir. Lantas kemana retribusi parkir kami mengalir? Adakah jaminan bahwa uang yang kami bayarkan disetorkan ke pemerintah daerah dan masuk ke dalam PAD ? Padahal, seiring perkembangan jaman semakin hari pengguna kendaraan pun semakin bertambah. Semakin bertambahnya pengguna kendaraan otomatis kebutuhan parkir pun meningkat dan pendapatan retribusi parkir pun meningkat. Karena pendapatan retribusi parkir meningkat, PAD pun meningkat. PAD meningkat, pembangunan daerah pun semakin berkembang ke arah yang lebih baik. SEHARUSNYA. Entah bagaimana SENYATANYA.
Berkaca dari paparan di atas, pemerintah -dalam hal ini pemerintah daerah Kota Yogyakarta- harus segera membuat regulasi baru terkait dengan penyelenggaraan perparkiran untuk meminimalisir terjadi sejumlah penyimpangan. Tidak sekadar untuk menghindari kebocoran retribusi parkir, akan tetapi juga untuk Kota Yogyakarta yang lebih baik dan lepas dari ancaman kelumpuhan arus lalu lintas seperti yang sering terjadi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H