Akhir-akhirnya, perdebatan tentang Utang Pemerintah yang terus meningkat, indikator yang digunakan oleh menteri-menteri ekonomi pemerintahan Jokowi adalah Debt to GDP.
Menurut Edy Burmansyah perbandingan tersebut tidak tepat. Dalam tulisannya "Kekeliruan Debt to GDP Ratio" di indoprogress.com, membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju tidak-lah tepat, karena struktur ekonominya sangat jauh berbeda (tidak apple to apple). Pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari 50 persen ditopang oleh konsumsi (baik konsumsi pemerintah maupun rumah tangga), sementara negara-negara tersebut mengandalkan produksi (ekspor) sebagai sumber utama pertumbuhannya.Â
Menurut Edy Burmansyah, sudah sejak lama, debt to GDP ratio dikritik banyak kalangan ekonom, karena dinilai bukan sebuah perbandingan yang logis. Rasio hutang terhadap PDB tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dari kemampuan negara dalam membayar utang-utangnya, padahal keberadaan utang justru terletak pada kemampuan pemerintah melunasi kewajibannya.
Oleh karenanya, Edy Burmansyah menyatakan bahwa indikator yang realistis adalah dengan cara melihat kemampuan pemerintah melunasi utang-utangnya atau lebih tepat bila membandingkan utang pemerintah (plus bunga) dengan penerimaan negara (penerimaan pajak dan non pajak).
Sementara itu, pendapat serupa juga diungkapkan Gede Sandra. Menurut Gede Sandra, pendekatan yang lebih objektif untuk mengukur sustainabilitas keuangan suatu negara adalah Debt service ratio.
Berdasarkan definisi OECD, Debt Service Ratio adalah perbandingan (persentase) dari total pembayaran cicilan pokok utang beserta bunga utang yang dibayarkan suatu negara pada akhir tahun tertentu dibandingkan dengan total ekspor barang dan jasa negara tersebut selama tahun tersebut. Singkatnya melambangkan kemampuan bayar utang suatu negara berbasis pendapatan ekspornya.Â
Di SULNI, data yang sesuai dengan definisi OECD tersebut adalah data Debt to Export Ratio (annualized). Debt to Export Ratio (DER) Indonesia sejak tahun 2012 hingga 2017 ini mengalami kenaikan yang kontinyu cukup signifikan.
Pusat Data Kontan pada 16 Mei 2016 pernah merilis tentang bagaimana gambaran Debt Service Ratio ini.
Berdasarkan data tersebut, bisa kita lihat sejak tahun 2011, utang luar negeri yang terus menanjak dibarengi ekspor yang terus melorot. Maka tak heran kalau rasio utang luar negeri terhadap ekspor terus menanjak mencapai 176,19%. Sementara rasio yang normal ada 125%.
Kalau kondisi ini terus berlangsung, tak perlu heran kalau nilai rupiah makin melemah, disertai cadangan devisa yang makin terkuras.
Jadi, lebih objektif manakah antara perbandingan Debt To GDP Ratio dengan Debt To Export Ratio? Ini yang akan menjadi tantangan kita ke depan dalam mengelola utang. Akan terus menggunakan pendekatan yang realistis atau tidak, ini akan memiliki resiko tersendiri.Â