Sejak beberapa hari terakhir, pemberitaan di media diramaikan dengan rumor reshuffle kabinet yang kabarnya akan dilakukan paska lebaran nanti. Kabar tentang bakal dilakukannya reshuffle kabinet Jokowi ini memang sebelumnya telah banyak beredar di kalangan relawan Jokowi yang menganggap bahwa ada situasi kritis bagi presiden Jokowi di sisa masa jabatannya hingga 2019.
Tak dapat dipungkiri bahwa sejak dimulainya proses pilkada serentak tahun 2017 ini, khususnya yang berkaitan dengan pilkada DKI Jakarta, energi pemerintahan Jokowi lebih banyak dikonsentrasikan di Ibukota. Hampir selama 8 bulan, konsentrasi kerja sebagian besar jajaran kabinet Jokowi diabdikan untuk menanggulangi berbagai efek domino dari 'perjudian politik' cagub Ahok. Sebagai akibatnya, selama kurun waktu tersebut dan setelahnya, publik seolah menganggap bahwa visi Presiden Jokowi untuk mewujudkan visi Trisakti dan Nawacita hanya dikerjakan sendirian oleh Presiden Jokowi.
Kini, meskipun efek domino dari 'perjudian politik' dari kalangan dalam pemerintahan Jokowi terhadap Ahok sudah mulai menurun, tetapi di masa waktu 2 tahun menuju Pemilu 2019, menurut sebagian besar kekuatan relawan pendukung utama Presiden Jokowi, elektabilitasnya masih cukup mengkhawatirkan.
Kekawatiran sebagian besar kekuatan relawan pendukung utama Presiden Jokowi tersebut memang tidak dapat diabaikan. Jika kita melihat kembali Visi Trisakti dan Nawacita yang menjadi arah dan orientasi pemerintahan Jokowi pada Pemilu 2014 yang lalu, dalam 1 tahun terakhir (sejak reshuffle kabinet Juli 2016) terlihat mulai menghadapi berbagai hambatan.
Hambatan utama untuk mewujudkan visi atau jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian tersebut justru muncul dari berbagai kebijakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang masuk dalam kabinet Jokowi pada reshuffle 1 tahun yang lalu. Kebijakan Sri Mulyani yang mengandalkan pengetatan anggaran, pencabutan subsidi, 'pemalakan pajak' bagi UMKM; justru membuat kantong-kantong suara dominan pendukung Presiden Jokowi menjadi terpukul. Latar belakang Jokowi yang merupakan bagian dari pelaku usaha kecil di Indonesia ini tentu sangat bisa memahami apa yang dialami oleh pelaku industi kecil/UMKM dan pelaku usaha sektor informal lainnya yang menjadi korban kebijakan Sri Mulyani.
Optimisme Presiden Jokowi kandas ditangan Sri Mulyani
Kondisi ekonomi nasional dalam kurun waktu 1 tahun terakhir juga belum menunjukkan optimisme seperti yang diharapkan oleh Presiden Jokowi. Target presiden Jokowi agar pertumbuhan ekonomi tahun 2017 mencapai 5,3 persen, oleh Sri Mulyani pada Januari 2017 yang lalu justru hanya dipatok 5,1%. Tak berhenti disitu, target pertumbuhan ekonomi 2018 yang dikejar Presiden Jokowi diatas 6% juga masih dipotong oleh Sri Mulyani menjadi sekitar 5,2 % hingga 5,6 %.
Menurut penelitian Gede Sandra dari Lingkar Studi Perjuangan (LSP), penerimaan pajak tahun 2016 sebenarnya malah turun. Menurut Gede Sandra, apabila tidak mengikutkan tax amnesty, pendapatan pajak 2016 adalah sebesar Rp 998 triliun, atau sekitar 73,6% dari target APBN Perubahan 2016 sebesar Rp 1.355 triliun. Sementara setahun sebelumnya, 2015, total pendapatan pajak adalah sebesar Rp 1.060 triliun, atau sekitar 81,9% dari target APBN Perubahan 2015 sebesar Rp1.294 triliun.
Masih menurut Gede Sandra dari LSP, posisi utang luar negeri pemerintah Indonesia mengalami kenaikan cukup signifikan. "Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko, di tahun 2015 utang pemerintah adalah sebesar Rp 3.165 triliun. Kini (posisi Januari 2017), utang pemerintah sudah berada di posisi Rp 3.549 triliun, atau naik Rp 384 triliun", ungkap Gede Sandra
Gede Sandra juga mengungkapkan bahwa ekonomi nasional saat ini juga masih mengalami stagnasi. "Memang pertumbuhan PDB Indonesia kuartal I 2017 sebesar mengalami peningkatan 0,09% bila dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun 2016. Namun bila dibandingkan kuartal sebelumnya, terjadi penurunan sebesar -0,34%. Sehingga dapat dibilang telah terjadi stagnasi ekonomi", ungkap Gede Sandra dalam opininya di kedaipena.com pada 22 Mei 2017 yang lalu.
"Investor pun merespon stagnasi ekonomi ini dengan mengurangi investasi mereka di Indonesia.Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa pertumbuhan investasi asing langsung/foreign direct investment (FDI) sebesar 0,9% sepanjang kuartal pertama tahun 2017 adalah yang paling lambat dalam lima tahun terakhir", lanjut Gede Sandra.