[caption caption="Penyair WS Rendra membaca puisi saat protes pembredelan TEMPO, EDITOR dan DETIK di depan Deppen, Jakarta, 1994. Dok. TEMPO/Robin Ong"]
[/caption]
Dalam beberapa hari ini, saya mencoba menenangkan hati dan pikiran terlebih dahulu sebelum memulai tulisan ini. Sembari mengulik mesin pencari google, saya mencoba bertanya-tanya kepada beberapa kawan yang mungkin memiliki referensi tentang sejarah perjuangan jurnalis Indonesia pada masa Orde Baru.
Sampai suatu waktu, saya akhirnya mendapatkan beberapa buku pendukung yang dapat membawa saya untuk mengurai fragmen sejarah perjuangan jurnalis-jurnalis independen dalam melawan kediktatoran dan otoritarianisme Orde Baru.
Mengawali tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa apa yang saya sajikan dalam tulisan ini hanyalah satu sudut pandang dari generasi yang melihat sejarah sebagai pelajaran berharga (sisi positif dan negatifnya) untuk melangkah menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Ya, saya bersepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa sudah saatnya kita membaca sejarah bangsa ini secara kritis dan dialogis agar cara pandang dan pengetahuan kita semakin mendalam dan meluas (Hilmar Farid). Pengertian kritis disini adalah suatu sudut pandang yang tidak kaku dan monopilistik. Tetapi sesuatu yang disebut sebagai sejarah juga dapat didiskusikan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik.
22 Tahun yang lalu: Membela TEMPO, DETIK, dan EDITOR Dibredel ORDE BARU!
Saya mengalami kesulitan untuk memperoleh dokumentasi foto di internet yang mendukung pandangan dan sikap Rizal Ramli saat terjadi pemberedelan terhadap Tempo, Detik dan Editor pada 21 Juni 1994.
Dari penulusuran yang ada, saya hanya memperoleh informasi pendukung dari: Pertama, “Pembelaan Ahmad Taufik & Eko Maryadi” yang dibacakannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (29 Agustus 1995). Kedua, “Laporan Aksi Solidaritas terhadap pembredelan TEMPO, DETIK, EDITOR”.
Sebelumnya, saya memperoleh sebuah artikel dari facebook Menko Rizal Ramli yang berjudul “Industri Pers dan Demokratisasi” yang dimuat dalam buku Banning 1994/Bredel 1994, terbitan Aliansi Jurnalis Independen. Buku Bredel 1994 ini merupakan ontologi artikel-artikel yang ditolak oleh media. Demikian menurut kutipan dalam buku “Pers Terjebak” terbitan Institut Studi Arus Informasi, hal.183.
Saya belum berkesempatan untuk membaca seluruh tulisan yang ada dalam Bredel 1994. Selain tulisan Rizal Ramli, setelah saya melakukan pencarian di internet, masih penulis-penulis lain seperti Ayu Utami, Stanley/ Yosep Adi Prasetyo, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Julia I. Suryakusuma. Onghokham, Daniel Dhakidae, Ulil Abshar Abdalla, Mochtar Pabottingi dan Rachland Nashidik.