Dalam tulisan ini penulis akan mengulas mengapa gerakan sosial, misalnya gerakan buruh yang bahkan sudah diinsitusionalisasikan dalam agenda nasional yang mewujud pada hari buruh tidak mendorong Indonesia bergerak menuju ke era komunis. Sejatinya gerakan-gerakan sosial massal yang terjadi di Indonesia tidak hanya nampak pada aksi buruh yang menuntut keadilan, bahkan pada tahun 1998 kita bisa melihat bagaimana para mahasiswa yang merupakan representasi segmen intelektual dalam struktur masyarakat Indonesia beraksi untuk menggulingkan struktur politik yang hitam. Salah satu pendorong dari aksi para demonstran tersebut lekat dengan korupsi di tubuh pembangunan Indonesia yang dibalut oleh kekuatan kapitalisme. Menurut pemikiran Marx seharusnya aksi dialektik ini berujung pada masyarakat komunis, namun pada faktanya hingga tulisan ini dibuat penulis justru hidup di era kemajuan demokrasi dan demokrasi di Indonesia justru semakin matang sebagaimana yang pernah disinggung oleh Dr. Victor Silaen. Penulis juga akan memaparkan mengapa pembangunan kapitalistik justru merajalela padahal Marx menyebutkan bahwa moda produksi kapitalistik mengandung benih kehancuran bagi dirinya sendiri. Buah dari pembangunan kapitalistik ini tentu saja gaya hidup perkotaan yang mewah dan hal ini terkadang bersifat lintas kelas.
Apa yang nampak dalam konteks Indonesia masa kini justru mewujudkan apa yang dikemukakan oleh para pemikir pluralis yang menekankan pada kebebasan individu. Filsuf yang menanam benih pemikiran pluralis ini, misalnya Jean J. Rosseau. Paradigma pluralis (terutama perspektif sosiologi interaksionis) melihat bahwa masyarakat heterogen dan setiap individu punya ciri khas masing-masing. Tentu saja jikalau berpijak pada paradigma tersebut keberadaan para individu yang berbeda harus dijamin. Kebebasan individu sendiri sangat nampak pada konteks demokrasi Indonesia walaupun kebebasan ini sendiri tetap dibatasi oleh struktur. Dengan konteks seperti ini jelas hantu komunis sama sekali tidak menguasai republik ini. Ia hanya bergentayangan dan diresponi secara negatif oleh banyak pihak yang tak ingin komunis merasuk di Indonesia.
Kedigayaan Kapitalisme dan Perkabungan Komunisme
Pemikiran Marx mendapatkan kritik yang besar dalam ranah akademik. Komunisme yang digadang-gadang akan membawa pada era yang lebih humanis justru dipandang tidak memanusiakan manusia. Revolusi di Cina yang digerakkan oleh para petani sendiri secara kontekstual sudah menjadi anti tesis pemikiran mengenai revolusi proletar yang diusung dalam Manifesto Komunis, sebuah karya yang diinisiasi oleh Engels dan disempurnakan oleh Marx. Kemudian kehancuran negara komunis di salah satu belahan dunia ini dan merajalelanya ekonomi kapitalis juga menjadi anti tesis bagi pemikiran Marx. Berbagai literatur ilmiah pun lebih menonjolkan adanya prinsip kesejahteraan bagi para pekerja ketimbang mendorong para pembaca untuk mengamini masyarakat komunisme yang humanis versi Marx. Kesejahteraan pekerja yang terus diupayakan menunjukkan suatu penolakan terhadap eksploitasi buruh dalam Das Kapital milik Marx. Ini adalah wujud dari perkabungan komunisme di taraf internasional. Namun demikian, beberapa poin seperti prinsip kesejahteraan bagi para pekerja tidak hanya eksis pada tataran internasional karena hal ini juga nampak dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia.
Komunisme yang diusung oleh Marx sendiri jelas tidak sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia. Ketidaksesuaian ini bukan hanya bersifat politis, namun dari segi pembangunan pun tidak terdapat kecocokan. Ideologi developmentalism yang sangat kental pada era pembangunan Soeharto menenggelamkan komunisme. Dalam konteks Indonesia yang sedang membangun diri pada waktu itu tak pelak dibutuhkan suatu pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pasar kapitalis sehingga tak pelak kita bisa melihat bagaimana pihak asing menginjakkan kakinya begitu kokoh dan konsekuensinya adalah kerusakan lingkungan di negeri ini. Dampak buruk dari pembangunan kapitalis ini sendiri tetap tidak mendorong revolusi yang menuju pada Komunisme Indonesia. Kemudian para konglomerat Tionghoa juga mendapatkan posisi spesial dalam pembangunan Indonesia sehingga muncul stigma bahwa orang-orang etnis inilah yang memiliki kesejahteraan di negeri ini.
Beberapa wujud dari pembangunan Indonesia (khususnya Jakarta) menuju ke era modern dapat dilihat dari menjulangnya gedung-gedung bertingkat dan menjamurnya real estate yang memamerkan gaya hidup tertentu. Dua fenomena ini adalah pembangunan struktur kota yang dilandasi oleh ideologi kapitalistik. Selanjutnya merajalelanya perusahaan asing yang mengeruk SDA di berbagai wilayah atas dasar izin politik pembangunan Soeharto juga menjadi simbol akan kedigayaan kapitalisme di Indonesia. Semua hal ini tentu saja membawa dampak buruk. Fenomena pembangunan kota mendorong munculnya kecemburuan sosial lalu struktur kota pun semakin jelas karena daerah makmur dan daerah miskin kelas bawah terlihat mencolok. Pengerukan SDA juga berdampak buruk bagi komunitas lokal. Komunitas lokal yang berdiam di suatu lokasi atau lahan menjadikan lahan tersebut tidak hanya bernilai secara ekonomi, namun juga sarat dengan nilai-nilai tradisional. Semua ini ditendang oleh para pengeruk SDA yang merangsek masuk atas dasar agenda pembangunan yang legal. Kemudian penggunaan barang-barang produk pabrik pun telah merambah ke berbagai segmen masyarakat sehingga terkadang kita sulit membedakan kelas sosial orang-orang. Tidak ada cita-cita untuk menggulingkan praktik kehidupan kapitalis ini terlebih mewujudkan Indonesia yang komunis.
Ekonomi kapitalistik juga ditanamkan dalam institusi pendidikan dan pengaruhnya jelas berkali lipat dibanding komunisme bagi para peserta didik. Prinsip-prinsip ekonomi kapitalis, pembangunan modern, dan teknik-teknik administratif korporasi sangat kental dalam buku-buku pelajaran. Hal ini sendiri kongruen dengan pernyataan Michael Apple, “technical/administrative knowledge has been given the highest value.... This type of knowledge is the type deployed in running large corporations in a competitive global economy.”Di sini institusi pendidikan jelas menopang suatu kemajuan ekonomi kapitalis dan bahkan pasar kapitalis sendiri sudah bersarang dalam institusi pendidikan. Semua ini berujung pada satu hal, yakni kedigayaan kapitalisme yang berarti adalah perkabungan bagi komunisme.
Semua ilustrasi singkat di atas memberikan gambaran bagi kita bahwa prinsip kehidupan berbasis kapitalis tidak selamanya mendatangkan eksploitasi berlebihan pada masyarakat Indonesia yang bagi Marx adalah jembatan menuju kesadaran kelas (class for itself) untuk mengadakan revolusi. Bahkan jikalau kita melihat dari kaca mata Weberian kita akan mendapati bahwa nonowners pun bisa memiliki gaya hidup modern yang sejahtera, seperti tinggal di real estate. Mereka bukan pemilik alat produksi, namun sebagai white collars mereka berkesempatan untuk menikmati tetesan kemakmuran yang lahir dari moda produksi kapitalistik. Bahkan apabila kita mau menunjuk pada segmen yang lebih rendah mengacu para stratifikasi kelas Weberian, maka kita akan melihat bagaimana para pekerja blue collars pun bersentuhan dengan produk-produk industri yang baginya adalah media kehidupan yang nyaman dan bahagia. Selanjutnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Weber bahwa mereka yang punya kekuatan ekonomi dapat merangsek ke tangga atas politik dan memelihara kemapanan tersebut. Fakta ini bisa dilihat dari para pejabat kaya yang duduk di kursi perpolitikan Indonesia di mana mereka pun melegalkan moda produksi kapitalistik yang memberikan tetesan kenyamanan bagi mereka dan rakyat tertentu.
Kalau menyingung soal demo buruh yang marak di Indonesia, maka secara konseptual dapat dirumuskan bahwa hal itu tidak mengubah moda produksi dan distribusi resource di Indonesia. Itu artinya struktur vertikal tetap akan bertahan, sebab kunci strukturalisme dalam pemikiran Marx berangkat dari distribusi resource dan relasi antar kelas yang ditandai dengan kepemilikian resource oleh salah satu pihak akan membentuk struktur. Tidak ada pula demo buruh yang merebut alat-alat produksi lalu memusatkannya di tangah pemerintah sehingga datanglah era dictatorship proletariat seperti yang didengung-dengungkan oleh Marx. Mereka hanya menuntut keadilan dalam hal upah. Lalu upah ini untuk apa? Selain untuk memenuhi kebutuhan primer mereka juga menggunakan upahnya (jikalau tersisa) untuk menikmati produk-produk industri kapitalis yang memberi citra high lifestyle. Tidak mungkin mereka menghancurkan moda produksi yang menghasilkan komoditas yang diinginkan oleh mereka sendiri. Masyarakat (termasuk para demonstran) sendiri sudah tersihir oleh geliat industri kapitalis untuk memanipulasi apa yang tergolong sebagai kebutuhan hidup masyarakat seperti yang dijelaskan oleh Herbert Marcuse sehingga mereka butuh (menginginkan) komoditas bernilai tinggi.
Citra Gelap Komunisme : Buah Pembentukan Wacana
Kita juga tidak boleh lupa akan citra hitam komunis yang sangat kuat pada masa Soeharto. Komunisme yang dianggap busuk diharamkan dan berbagai pihak yang dituding terlibat dalam pangkuan komunis ditangkap. Berbagai tulisan sejarah dalam buku-buku pelajaran di sekolah formal pun menceritakan bagaimana hantu komunis adalah salah satu hantu paling buruk yang harus diusir dari Republik Indonesia yang demokratis. Bahkan sangat mungkin bahwa para buruh yang melakukan demonstrasi pun menolak komunisme sebagai akibat dari menelan berbagai wacana yang berbicara mengenai apa itu komunis.
Michel Foucault dalam analisis post-structuralist –nya menjelaskan bagaimana kehidupan ini dibentuk oleh wacana yang tersebar. Wacana ini bisa bersumber darimana pun dan sekarang tentu saja ia semakin dapat berkeliaran mengingat perkembangan tekonologi informasi berkembang pesat. Foucault menyatakan bahwa dalam wacana terdapat gagasan mengenai siapa dan/atau apa yang menjadi pesakitan dan hal ini akan membentuk struktur masyarakat. Citra buruk komunisme dapat kita lihat dalam buku-buku sejarah milik para peserta didik yang menceritakan mengenai noda hitam komunis yang membuatnya berusaha untuk disingkirkan dari Indonesia. Narasi sejarah juga membahas mengenai upaya penyingkiran pengaruh komunis lewat penangkapan orang-orang yang dituduh terikat dengan komunis. Bahkan etnis Tionghoa sempat dikhawatirkan akan menyebarkan ideologi komunis sehingga stigma negatif pun melekat pada mereka.
Citra buruk komunis pun kerap diumbar sebagai alat politik seperti yang nampak dalam fenomena pemilu beberapa waktu lalu. Wacana ini berkembang dengan sangat kuat dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi abad 21. Komunis yang lebih sering nampak dalam bentuk partai (PKI) dalam media mendapatkan status hitam sehingga orang-orang yang terikat dengannya harus dihindari dan terbentuklah struktur masyarakat yang memarjinalkan “antek-antek komunis” dalam kehidupan. Tak dapat diragukan bahwa hal-hal ini membuat masyarakat komunis impian Marx tidak kontekstual dengan kondisi politik Indonesia mengingat komunisme sendiri dihantam lewat ranah politik seperti yang nampak pada black campaign tersebut. Semua ini dapat terjadi karena wacana yang dibentuk oleh media dan ilmu pengetahuan di mana wacana ini melumpuhkan teori besar Marx yang menjadi tidak kontekstual dengan masyarakat Indonesia.
Wacana ini dapat menjadi kendaraan untuk mencapai kekuasaan, yakni memberikan kekuasaan pada pihak yang bersih dari komunis yang dianggap gelap itu dan di saat yang sama pihak yang dianggap pemeluk komunis itu dijauhkan dari tahta kekuasaan pemerintahan. Dengan kerangka wacana yang memojokan komunisme, maka masyarakat komunis akan semakin jauh dari kenyataan. Komunisme akan tetap dianggap sebagai hantu yang harus dijauhi, bahkan lebih dijauhi ketimbang eksploitasi cara kerja industri kapitalis mengingat hantu komunis merupakan ancaman demokrasi. Gerakan buruh yang menuntut nilai kemanusiaan pun tidak akan berujung pada pencabutan kepemilikan privat atas alat-alat produksi. Implikasi praktis dari fenomena ini tentu saja pengkelasan akan tetap bertahan.
Dengan kerangka wacana yang memojokan komunisme, maka masyarakat komunis akan semakin jauh dari kenyataan. Komunisme akan tetap dianggap sebagai hantu yang harus dijauhi, bahkan lebih dijauhi ketimbang eksploitasi cara kerja industri kapitalis mengingat hantu komunis merupakan ancaman demokrasi. Gerakan buruh yang menuntut nilai kemanusiaan pun tidak akan berujung pada pencabutan kepemilikan privat atas alat-alat produksi. Implikasi praktis dari fenomena ini tentu saja pengkelasan akan tetap bertahan.
Kesimpulan : Masyarakat Indonesia Demokratis yang Berkelas
Dengan pemarjinalan akan ideologi komunisme, maka masyarakat tanpa kelas tidak akan terwujud. Stratifikasi akan tetap hadir terutama dalam dimensi ekonomi. Hal ini diperkuat oleh kedigayaan ekonomi kapitalistik yang tetap bercokol di Indonesia dan memainkan perannya dalam pembangunan bangsa. Jikalau proses produksi kapitalis tidak bersifat adil, maka gerakan buruh akan muncul, namun hal ini tidak akan berujung pada peralihan kepemilikan alat produksi melainkan tuntutan akan sistem kapitalis yang lebih manusiawi dalam konteks masyarakat Indonesia. Selanjutnya karena komunisme tidak hadir, maka masyarakat Indonesia akan tetap berlandaskan demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H