Mohon tunggu...
Stephen Pratama
Stephen Pratama Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Student at department of Sociology - Faculty of Social and Political Sciences University of Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan dan Semangat Kapitalisme: Sebuah Penghancuran terhadap Integrasi Bangsa

22 November 2013   22:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:47 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Belum lama ini penulis melihat ada facebooker yang menuliskan status yang intinya adalah penolakan atas sejumlah mata pelajaran tertentu karena baginya tidak semua mata pelajaran bersifat penting alias menunjang karirnya di masa depan. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang hanya sebagian mata pelajaran saja yang kelak masih bisa digunakan tatkala kita telah memasuki dunia kerja. Meski demikian hal yang mengejutkan penulis adalah masuknya mata pelajaran PKn dan Sejarah sebagai bagian dari pelajaran yang dianggap tidak penting. Cukup mengerikan memang apabila dua pelajaran yang disebut-sebut sebagai bibit solidaritas justru dikesampingkan. Oleh karena itu, kita lantas bertanya apakah institusi pendidikan sungguh-sungguh berfungsi menjaga solidaritas sosial? Apakah sekolah sungguh-sungguh mentransmisikan prinsip-prinsip kebangsaan atau justru menjadi sumber lahirnya disintegrasi?

Pendidikan Untuk Integrasi Sosial Atau Disintegrasi Sosial?

Seorang sosiolog Prancis, Emile Durkheim mencetuskan pentingnya pendidikan bagi solidaritas. Baginya sekolah mentransfer nilai dan norma masyarakat pada para peserta didik sehingga mereka memiliki prinsip universal dan tercapailah derajat homogenitas tertentu yang membuat masyarakat di masa depan bisa survive. Mata pelajaran Sejarah dan PKn memiliki signifikansi yang besar bagi terjaganya solidaritas di masyarakat (penulis pernah membahas hal ini dalam tulisan yang berjudul PENDIDIKAN YANG MENGINTEGRASIKAN MASYARAKAT SECARA NORMATIF DEMI BANGKITNYA GOLONGAN IDEALIS PASCA KEMERDEKAAN). Dengan adanya prinsip akan kehidupan berbangsa yang benar, maka setiap peserta didik akan merasa bahwa setiap penyimpangan yang dilakukannya akan mengganggu ketentraman dalam masyarakat.

Meski demikian jikalau berkaca dari posting-an facebooker tersebut masihkah kita memiliki keyakinan bahwa pendidikan dapat menjadi motor dari integrasi sosial? Memang hanya satu facebooker yang penulis lihat, namun tak bisa dipungkiri bahwa di luar sana ada begitu banyak orang yang menyatakan hal yang sama. Lantas siapa yang harus dituding sebagai biang masalah? Keluarga bisa dijadikan sumber masalah di samping sekolah itu sendiri. Durkheim memang menyebutkan bahwa keluarga tidak mampu memainkan peran yang dilakukan oleh sekolah sebagai transmitter nilai dan norma masyarakat, akan tetapi keluarga merupakan tempat di mana seorang anak pertama kali mendapatkan sosialisasi sehingga seharusnya keluargalah membentuk seorang anak pertama kali agar memiliki kesadaran akan kehidupan berbangsa yang benar dan memandang pentingnya pendidikan yang menumbuhkan kesadaran berbangsa. Masalahnya semangat kapitalis telah menjajah benak banyak orang tua sehingga anak-anak mereka hanya didorong untuk mencetak prestasi setinggi mungkin agar kelak dapat menduduki jabatan penting dalam sebuah birokrasi, sebab sebagaimana yang disebutkan oleh Weber bahwa setiap strata dalam hirarki memiliki pendapatan yang berbeda dan tentu saja semakin tinggi kedudukan seseorang, maka pendapatannya juga akan berbanding lurus.

Sekolah juga bisa kita tuding sebagai sumber masalah. Tidak perlu mengubur kenyataan bahwa sekolah yang menggenggam semangat kapitalistik telah menjamur di negara ini. Apakah sekolah-sekolah itu sungguh-sungguh ingin menghasilkan lulusan yang punya semangat kebangsaan sehingga mampu berkontribusi bagi kemajuan bangsa ataukah misi semacam itu hanya sebuah pernyataan normatif belaka. Menarik untuk dikaji apa saja yang terjadi di setiap ruang kelas selama proses belajar mengajar berlangsung. Tidaklah mustahil apabila para guru kemudian menekankan bahwa hanya mata pelajaran tertentu saja yang memiliki signifikansi besar bagi para peserta didik setelah mereka berkiprah dalam dunia kerja. Secara praktis mata pelajaran PKn dan Sejarah tidak memiliki peranan yang terlalu signifikan ketika kita sudah memasuki dunia kerja (kecuali berposisi sebagai guru mata pelajaran tersebut). Dalam hal ini penulis menunjuk pada nilai-nilai yang terkandung dalam kedua pelajaran tersebut, sebab inti dari kedua pelajaran itu tidak semata-mata pada data dan fakta historis, namun nilai-nilai kebangsaan yang justru menjadi kunci. Suatu kecelakaan terjadi ketika orang-orang di generasi mendatang tidak mewarisi semangat kebangsaan para pendiri dan pejuang bangsa, sebab disaat seperti inilah derajat integrasi mencapai titik terendah. Oleh karena itu, sumber disintegrasi justru dapat bermula dari proses pendidikan yang salah.

Education And The Spirit Of Capitalism

Bukanlah suatu kemustahilan jikalau para guru mendorong para peserta didiknya untuk mengejar pencapaian setinggi mungkin demi menduduki jabatan penting yang ujung-ujungnya adalah memberi kesejahteraan bagi diri sendiri. Selain itu para guru juga mendorong para peserta didik untuk menekuni bidang yang bisa mendukungnya untuk berkiprah di lingkungan yang kompetitif (ulasan mengenai hal ini bisa dilihat dalam tulisan penulis yang berjudul SEBUAH PENOLAKAN YANG RASIONAL : FENOMENA PENOLAKAN RASIONAL PESERTA DIDIK TERHADAP MATA PELAJARAN TERTENTU SEBAGAI EKSPRESI DARI SEMANGAT KAPITALISME). Semangat kapitalisme itu menjajal pikiran para peserta didik dimulai dari proses belajar mengajar di dalam kelas. Dalam disertasinya, Dr. Indera Ratna Irawati dari Universitas Indonesia pun memaparkan bahwa para peserta didik disiapkan untuk menduduki jabatan dominan melalui sosialisasi akan nilai-nilai elit. Apakah nilai-nilai elit bersumber dari semangat kebangsaan yang terkandung dalam mata pelajaran PKn dan Sejarah? Patut diketahui bahwa nilai-nilai elit berakar dari semangat untuk meraup keuntungan yang didukung dengan metode yang paling menunjang (termasuk dengan jalan eksploitasi) untuk mengejar keuntungan tersebut.

Tentu saja untuk menggapai mimpi tersebut pelajaran PKn dan Sejarah bukanlah kunci utama. Yang ditekankan seringkali adalah bagaimana kelak kita dapat memproduksi kebutuhan masyarakat secara maksimal demi kucuran profit. Jikalau para peserta didik hanya dibentuk untuk menjadi manusia-manusia yang profit oriented, maka kesadaran untuk hidup sebagai warga negara yang berguna bagi sesama dan bangsa akan mencapai derajat terendah. Justru yang ada hanyalah bagaimana keuntungan bisa terus mengalir termasuk dengan cara mengeksploitasi para bawahan. Patut dicamkan bahwa eksploitasi pun sudah menjadi sumber disintegrasi. Eksploitasi sendiri menjadi simbol akan kesenjangan, sebab eksploitasi sudah pasti dilakukan oleh upper class terhadap kelas di bawahnya. Dengan demikian pendidikan secara tidak langsung mengajarkan para generasi muda untuk mengejar keuntungan secara maksimal tanpa memperdulikan nasib lower class yang adalah saudara sebangsanya sendiri.

Penulis harap pembaca bisa menyikapi ini dengan kritis. Struktur masyarakat kita adalah vertikal. Merupakan sebuah kebohongan apabila data statistik seolah-olah menyatakan bahwa pendapatan per kapita masyarakat Indonesia adalah normal. Silakan pembaca menggunakan metode ukuran penyebaran dalam statistika untuk melihat apakah pendapatan per kapita sungguh-sungguh representatif. Terdongkraknya pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia tidak lepas dari sumbangsih besarnya angka pendapatan segelintir kelas atas. Sosiolog Universitas Indonesia, Prof. Gumilar Rusliwa menegaskan bahwa hanya kesejahteraan saja yang dapat menjamin kesatuan bangsa. Masalahnya kesejahteraan hanya dimiliki oleh sedikit orang. Banyak orang mengalami eksploitasi yang berlebihan dari pihak-pihak di atasnya. Hal inilah yang sebenarnya sedang dilanggengkan oleh proses pendidikan. Proses belajar mengajar di sekolah-sekolah tertentu hanya mencetak generasi yang mengejar keuntungan tanpa memperdulikan kesatuan bangsa. Tanpa kesadaran akan pentingnya menghargai orang lain yang berbeda (baik secara horizontal maupun vertikal) mustahil solidaritas dapat dipertahankan.

Media dan Hiperealita : Standar Sekolah Yang Bagus

Seorang Post Marxist, Jean Baudrillard menciptakan ide mengenai hiperealita dan bagaimana media memproduksi hiperealita. Media menampilkan sesuatu yang melampaui realita dan pesan tersebut disedot ke dalam benak para penikmat media. Promosi sekolah-sekolah tentu saja memanfaatkan kecanggihan media. Media menampilkan bahwa seolah-olah sekolah yang bagus memiliki standar seperti yang ditampilkan (sekolah kapitalis yang memproduksi kelas atas). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah betul itu merupakan standar dari sebuah sekolah yang ideal? Pada kenyataannya proses belajar dalam sekolah semacam itu hanya berujung pada potensi disintegrasi dan kepuasan kaum elit semata.

Masyarakat mungkin tidak menyadari hal itu karena gambaran tentang sekolah yang ideal (hiperealita) telah merasuk ke dalam kehidupan mereka dan tidak dapat dibedakan lagi antara yang nyata dan yang tidak nyata. Sekolah-sekolah kapitalis telah menjadikan media untuk mempertahankan posisi mereka dalam mencetak generasi upper class yang profit oriented. Inilah potret akan kecelakaan besar yang melanda masyarakat kita. Tanpa disadari mungkin pembaca telah menjadi korban media yang merupakan alat dari sekolah-sekolah kapitalis itu. Para korban dari tampilan media tentu saja mendukung sekolah-sekolah yang menyelenggarakan proses pembelajaran semacam itu.

Melalui tulisan ini penulis berharap agar para pembaca boleh memahami realita yang ada di dalam dunia pendidikan kita mengenai bagaimana sekolah-sekolah tertentu justru menjadi sumber dari disintegrasi bangsa. Sekolah-sekolah tertentu hanya mencetak generasi yang mementingkan profit beserta dengan mekanisme dalam mengejar keuntungan tersebut tanpa memberi kesadaran bahwa hal itu hanya akan mendatangkan malapetaka bagi bangsa ini. Penulis juga berharap agar kesadaran berbangsa boleh ditekankan dalam setiap proses pendidikan, sebab hal inilah yang dapat menjamin terjaganya solidaritas sosial. Membubarkan institusi pendidikan bukanlah suatu tujuan yang solutif, sebab seorang evolusionis, Herbert Spencer menyatakan bahwa institusi memainkan peranan yang fundamental dalam kehidupan. Oleh karena itu, membenahi proses belajar mengajar yang buruk disertai dengan komitmen merupakan jalan terbaik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun