Mohon tunggu...
Stephen Pratama
Stephen Pratama Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Student at department of Sociology - Faculty of Social and Political Sciences University of Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

FILOSOFI MENGENAI KEMATIAN : ELIT DAN TIDAK ELIT

17 Juli 2014   08:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:06 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bahwa manusia pasti mati merupakan sebuah premis yang tidak dapat diragukan kebenarannya. Memang kita sebagai manusia harus mengakui bahwa pada akhirnya nanti kita hanya akan menyisakan sejarah kehidupan yang pernah kita ukirkan. Meski demikian penting untuk menilik lebih jauh cara mati manusia yang sangat beragam. Penulis mengajukan dua karakteristik dari kematian manusia, yakni tipe elit dan non-elit. Atas dasar apa penulis melakukan penggolongan ini? Penggolongan ini didasari oleh pemikiran bahwa kematian manusia mengundang respon dari orang-orang di sekitarnya bahkan masyarakat secara keseluruhan. Kematian yang elit dilatarbelakangi oleh fenomena yang mengundang respon positif, sedangkan kematian yang tidak elit akan menuai kritik atau bahkan cemoohan. Reaksi negatif dapat ditujukan kepada orang yang meninggal maupun masyarakat tempat di mana orang tersebut berada.

Bagi penulis kematian yang paling elit adalah mengorbankan diri untuk pihak di sekitar. Emile Durkheim dalam karyanya Le Suicide menyebutkan empat tipe bunuh diri dan tipe altruistik adalah gambaran mengenai kematian yang elit khususnya jenis acute altruistic suicide. Pembaca mungkin sering melihat bagaimana orang-orang di dalam sejarah rela mengorbankan nyawanya untuk mengusir penjajah. Penulis yakin mereka menyadari bahwa apa yang mereka lakukan (menyerang kaum penjajah) mengancam nyawa mereka, namun mereka tetap melakukannya karena ada rasa keterikatan dengan kaum yang mereka bela. Oleh karena itulah penulis mengkategorikan mereka melakukan bunuh diri karena mereka sadar akan resiko yang diambil dan tetap melakukannya demi menciptakan kehidupan yang lebih baik khususnya bagi kaumnya. Bukti dari respon positif yang ditujukan bagi mereka adalah gelar pahlawan yang dianugerahkan bagi mereka.

Selanjutnya kematian lain yang masih dapat dikategorikan sebagai kematian elit adalah mati karena sakit di usia tua. Orang yang meninggal di usia tua karena “penyakit tua” umumnya menuai simpati apalagi jikalau dirinya meninggal di usia yang jauh di atas rata-rata usia kematian yang ada di negaranya. Setidaknya orang tersebut akan mendapatkan predikat sebagai sosok yang mampu menjaga kehidupan hingga awet tua. Penyakit memang sesuatu yang lekat dengan sifat negatif, tetapi jikalau penderitanya adalah orang yang telah lanjut usia tentu respon orang-orang di sekitar akan berbeda. Orang-orang di sekitar akan memaklumi kematian tersebut dan statement yang kerap kali muncul biasanya “memang sudah waktunya”.

Kematian yang tidak elit tentu saja berbanding terbalik dari kematian yang elit. Menyebutkan kematian-kematian yang tidak elit sudah pasti jauh lebih mudah. Bagi penulis kematian yang sangat tidak elit adalah bunuh diri karena masalah personal (percintaan, kegagalan, dsb). Di sini seseorang jatuh ke dalam individualitas dan tipe bunuh diri yang diajukan oleh Durkheim terkait hal ini adalah bunuh diri egoistik. Kita dapat menuding buruknya kondisi integrasi sosial di masyarakat tempat orang yang bersangkutan hidup sebagai salah satu penyebab bunuh diri ini. Apabila seseorang being attached ke dalam suatu kelompok apalagi masyarakat pastilah tidak akan terjadi kematian karena bunuh diri yang didorong oleh problematika personal. Selain itu orang yang bersangkutan pun dapat menuai kritikan dan cemoohan terlebih jikalau dirinya menggunakan cara-cara yang dianggap aneh di masyarakat, misalnya menenggak racun tikus atau baygon.

Kematian lain yang tidak elit adalah mati di usia muda (terutama di bawah rata-rata usia kematian di negaranya) karena penyakit-penyakit yang sebenarnya dapat dihindari dengan pola hidup sehat. Salah satu bukti bahwa kematian orang tersebut mengundang reaksi negatif adalah pola hidup tidak sehatnya dijadikan percontohan sehingga orang lain tidak mengulangi gaya hidup buruknya. Tidak dapat dipungkiri bahwa gaya hidup yang tidak sehat (berdasarkan kaca mata medis) telah dianut oleh banyak anggota masyarakat sehingga tak mengherankan jikalau kita menemui kasus anak usia muda yang sudah mengindap penyakit-penyakit tertentu sebagai buah dari buruknya gaya hidup. Data statistik memperlihatkan kenyataan ini dan fenomena ini pun mulai menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Salah satu prinsip dalam teori pilihan rasional (rational choice theory) yang berangkat dari sudut pandang ekonomi neoklasik adalah informasi-informasi yang dimiliki oleh seseorang akan menentukan pilihannya. Anak muda yang menjalani hidup yang tidak sehat, misalnya mengkonsumsi makanan yang diberi label tidak sehat oleh institusi kesehatan belum tentu tidak paham akan dampak negatif dari makanan-makanan tersebut bagi kesehatan. Oleh karena itu, mereka yang mempunyai informasi kesehatan, tetapi tidak hidup sejalan dengan informasi tersebut disebut sebagai orang yang tidak rasional. Dengan demikian orang yang bersangkutan pun menuai kritik atas irasionalitas yang berujung pada pola hidup yang mendatangkan kematian yang tidak elit.

Selanjutnya adapula kematian karena wabah penyakit infeksi tertentu yang seringkali mendapatkan respon negatif. Kematian karena hal semacam itu biasanya mendapatkan respon negatif karena orang-orang beranggapan bahwa seharusnya penyakit tersebut dapat disembuhkan dengan prosedur medis tertentu. Reaksi negatif akan semakin membesar jikalau korbannya adalah rakyat miskin yang tidak mendapatkan bantuan medis. Secara sosiologis rakyat miskin berada di strata bawah dalam stratifikasi sosial, sedangkan salah satu semangat (kultur) yang ada di dalam masyarakat adalah keselamatan jiwa. Hambatan struktural semacam ini yang menyebabkan tidak terwujudnya semangat itu ke dalam kehidupan nyata dan bagi Robert Merton adanya disjuncture antara struktur sosial dan kultur merupakan penyebab anomie. Hal ini kelak akan memunculkan cemoohan terhadap distribusi pelayanan medis yang dinilai tidak menyeluruh atau bahkan dianggap hanya terbuka bagi golongan strata atas yang mampu mengakses pelayanan kesehatan lebih cepat.

Setelah itu kasus pembunuhan pun sering memicu respon negatif dari berbagai pihak. Maraknya pembunuhan dapat mengundang sindiran dari berbagai pihak yang menuding bahwa derajat moralitas masyarakat lemah sehingga perilaku semacam itu tinggi jumlahnya. Institusi pendidikan dan institusi agama dapat dituding gagal dalam menanamkan moralitas sehingga banyak anggota masyarakat yang tega melakukan pembunuhan terhadap sesamanya. Hal ini kemudian akan memberikan tekanan bagi institusi pendidikan dan insititusi agama agar lebih gencar dalam menanamkan ajaran moralitas untuk menekan perilaku pembunuhan.

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa manusia pasti mati. Akan tetapi, manusia dapat memilih seperti apa sifat kematiannya dan berbagai aktor dalam masyarakat dapat turut menentukan karakteristik kematian dari anggota masyarakat. Kematian yang tidak elit tentu akan mengundang reaksi buruk, sedangkan kematian yang elit akan berujung pada apresiasi. Langkah yang Anda ambil saat ini turut menentukan sikap masyarakat terhadap kematian Anda.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun