Mohon tunggu...
Sobih Adnan
Sobih Adnan Mohon Tunggu... -

Hidup di Cirebon, namun belajar tanpa batas | Penulis Buku Kumpulan Puisi : Nyanyian Gagang Telepon.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ayazh

1 April 2012   22:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:09 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kepangkuan; sesosok peri yang  sudah lebih dari 40 malam, telah terbang ke sebuah negeri bunga-bunga, dengan wewangian yang bersumber dari tubuhnya sendiri.

________________________________________________________________________________


Ayazh,  aku menyapanya, dia meng-iya-kan, manis sekali.

Tiba-tiba saja teringat, dulu, aku menemukanmu dalam sebuah kado Maret sesederhana ini, warnanya tak begitu megah, tapi dengan makna-makna istimewa, serupa [putih abu-abu] yang kau kenakan waktu itu. Sebuah siang 2004, selepas bel sekolah.

Semenjak itu, kau mampu mengajariku banyak hal, tentang proses hujan yang kelak menjadi  ice creamkesukaan kita, tentang pohon-pohon yang kelak menjadi surat dan puisi berbalas para pengidap demam asmara, atau tentang sekedar tegur sapa, yang kelak katamu; bisa saja menjadi sebuah tanggung jawab untuk membangun istana-istana harapan, bersama-sama.

Terus seperti itu, kita gemar sekali menyambut kehadiran senja, jingga, yang kutebak itu adalah warna kesukaanmu, meski belakangan baru kupahami, kau tidak mencintai sembarang jingga, hanya yang berkibar di langit, saat kita bersama, katamu.

Dia sangat baik, di suatu malam, dia pernah menceritakan secara dalam tentang makna dari sebuah perpisahan, sebuah babak yang sering kali diperankan manusia dengan tanpa ketulusan. Menurutnya, perpisahan hanyalah kematian kecil, setelah itu nama kita akan abadi di hati masing-masing, saling tukar, terpenjara, dan kau akan dengan bebas menziarahinya kapan saja. Itulah kenangan, satu-satunya pulau yang mampu memberimu kemerdekaan untuk berteriak, tanpa seorangpun tega merekamnya, terlebih; mencemoohmu.

Luar biasa, yang kutahu, kau tak pernah tertakuti apapun, apalagi hanya sebabak perpisahan. Senyum adalah pendampingmu yang setia, bahkan, siapa saja yang merasa sedang memilikimu, akan cemburu karena itu.

Aku yakin, kau akan turut tersenyum saat membaca tulisan kaku ini bersama kawan-kawanku. Sebab, hanya kau yang pernah berkata: “Teruslah berpuisi, pada masanya, kau akan tersadar, betapa kecil sebuah puisi mampu berbicara tentang orang-orang yang kau cintai, karena cinta bukan sebuah bentuk yang mudah untuk kau bedah, tapi cinta adalah sebuah alur dan proses, kau harus mengikutinya dengan sabar, ada cemburu, juga gemuruh”.

Benar sekali sayang, aku masih sangat merasakannya saat ini, bahkan dengan sosok yang ku duga tercipta dari satu warna denganmu, saat ini dia sedang marah, karena cemburu, tapi tenang, tidak kepadamu, aku sudah menceritakan apa-apa tentangmu, dia sepertiku; mengagumimu.

Ayazh, saat ini aku sedang sangat menyesali “sekilas” Oktober yang kau impikan waktu itu, aku tak sempat memenuhinya, mengulangi episode-episode jingga, meski tak harus saat senja, pintamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun