Mahasiswa yang tergolong medioker sering kali merasa nyaman berada di zona aman mereka, menghindari tantangan yang bisa memperbaiki kemampuan dan prestasi mereka. Mahasiswa medioker yang anti kritik sebenarnya sedang menutupi ketidakmampuan mereka dengan selimut keangkuhan. Mereka lebih memilih nyaman dalam kebodohan daripada menghadapi kenyataan bahwa kritik adalah jalan menuju pencerahan. Bukankah menerima kritik seharusnya dianggap sebagai keberanian intelektual? Tetapi para medioker ini malah menjadikan kritik sebagai musuh, bukannya cermin untuk melihat keburukan diri. Ironisnya, mereka mengklaim diri sebagai pencari kebenaran, namun menolak alat yang paling ampuh untuk menemukannya: kritik.
Mengapa sikap anti kritik ini merugikan? Sebab, tanpa kritik, tidak ada kemajuan. Mahasiswa yang menutup diri dari kritik ibarat katak dalam tempurung, merasa dunia selebar tempurung itu saja. Padahal, kritik adalah jendela untuk melihat luasnya dunia pengetahuan. Dengan menolak kritik, mereka mengerdilkan diri dalam kebodohan. Kritik adalah ujian yang menguji ketangguhan intelektual seseorang. Menolaknya sama dengan menolak kesempatan untuk menjadi lebih baik, lebih tajam, lebih kritis.
Mahasiswa medioker anti kritik juga menciptakan lingkungan akademis yang mandul. Dalam dunia akademis, dialog dan debat adalah nadi yang menghidupkan pemikiran. Tanpa kritik, yang ada hanya monolog, sebuah komunikasi satu arah yang mati. Mahasiswa yang tidak bisa menerima kritik menghambat dinamika intelektual. Mereka menularkan budaya bisu, di mana pendapat berbeda dianggap ancaman, bukan peluang untuk belajar. Lingkungan akademis yang sehat adalah tempat di mana kritik diterima dengan kepala dingin dan hati terbuka.
Tidak hanya itu, sikap anti kritik juga bisa berdampak negatif pada dinamika kelompok. Dalam lingkungan akademik, kerja sama tim adalah hal yang umum. Mahasiswa yang tidak bisa menerima kritik dengan baik akan kesulitan bekerja dalam tim, karena mereka cenderung defensif dan kurang terbuka terhadap pendapat orang lain. Ini bisa menciptakan ketegangan dan menghambat produktivitas kelompok. Padahal, dalam tim, saling memberikan dan menerima kritik konstruktif adalah kunci untuk mencapai hasil yang optimal.
Untuk mengatasi fenomena ini, mahasiswa harus diajak keluar dari keterpurukan intelektual mereka. Pendidikan harus menekankan pentingnya kritik sebagai bagian dari proses belajar. Mahasiswa perlu dilatih untuk melihat kritik bukan sebagai serangan, tetapi sebagai bentuk perhatian dan kepedulian. Mereka perlu diajarkan bahwa menerima kritik adalah tanda kedewasaan intelektual. Dan tentu saja, perguruan tinggi harus membangun budaya akademis yang merayakan kritik, di mana setiap orang bebas berpendapat dan siap menerima kritik demi kemajuan bersama. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya pintar di atas kertas, tetapi juga tangguh dalam menghadapi kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H