Sebagai generasi yang hidup di zaman serba modern, seringkali kecepatan adalah sebuah obsesi yang diidamkan oleh orang-orang. Semakin cepat menyelesaikan sesuatu maka akan dibilang semakin baik. Tidak sedikit para orang tua menyekolahkan anaknya lebih muda ketimbang menunggu umur yang pada umumnya sudah pantas untuk disekolahkan.Â
Tak jarang juga di kalangan mahasiswa berfikiran bahwa semakin cepat lulus kuliah maka akan semakin cepat mendapatkan pekerjaan serta meminimalisir pengeluaran biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal).
Peradaban yang serba cepat juga seringkali tidak selalu ramah bagi sebagian orang. Banyak overthinking dan rasa takut yang ditimbulkan hingga menghantui mereka. Rasa takut akan ketertinggalan memaksa mereka untuk berlari lebih cepat. Akibatnya, kesibukannya telah merenggut waktu, tenaga, pikiran, kesempatan, dan segala yang dimilikinya.
Kita telah diberi waktu 24 jam dalam sehari untuk menjalankan kegiatan sehari-hari, namun seringkali sebagian orang merasa kurang akan waktu akibat kesibukan yang mereka jalani. Dari hal tersebut, Chomsky mendefinisikan kemiskinan baru tersebut dengan sebutan "time poverty", yang artinya perasaan kehabisan waktu atau tidak memiliki waktu.Â
Namun, Benjamin Franklin sudah terlanjur melahirkan slogan, "Time is money", sehingga merubah perspektif banyak orang dalam hal memandang waktu serta dalam urusan produktivitas dan hitung-hitungan untung rugi.
SIBUK DAN PRODUKTIF
Apabila diartikan secara bebas, sibuk berarti mengerjakan banyak hal sehingga menghabiskan banyak waktu namun belum tentu cukup untuk menyelesaikannya. Sedangkan menjadi produktif berarti menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan tidak menghabiskan banyak waktu karena dalam proses pengerjannya terdapat pemetaan yang jelas. Dengan kata lain, kita sangat bisa tetap produktif tanpa harus menjadi sibuk.Â
Bahkan Stephen R. Covey (Penulis buku 7 Habits of Highly Effective People) pernah bercerita tentang orang yang sangat produktif mampu menebang kayu dengan sangat cepat dalam waktu singkat, namun sialnya ia menebang di hutan yang salah. Dari hal tersebut bisa kita simpulkan bahwa konsekuensi ketika mengejar produktivitas yang tidak tepat dapat menghasilkan sesuatu yang tidak bermanfaat/bernilai.
Seringkali kita dibutakan dengan segala cara untuk mengejar pencapaian, karir, materi, atau bahkan status sosial. Tanpa disadari, kita dipaksa untuk terus berlari sehingga melewatkan yang penting dan yang dibutuhkan. Bukankah kehidupan seperti ini cukup melelahkan?Â
Nyatanya mengejar sesuatu yang menjadi standar orang lain semakin menjauhkan kita dari rasa bahagia. Untuk menanggapi hal tersebut, gaya hidup slow living adalah salah satu alternatif yang cukup ampuh untuk mengembalikan rasa tenang, bahagia, dan terbebas dari overthinking.