Kompas edisi 10 Februari 2023 menurunkan laporan investigasi tentang perjokian karya ilmiah di perguruan tinggi. Ada calon Guru Besar (GB) yang diduga mendaku karya tulis anak didiknya dalam mendapatkan cum-point yang dapat digunakan untuk meraih gelar profesor.
Sebagai salah satu warga akademisi, saya tidak terlalu kaget dengan berita tersebut. Belasan tahun yang lalu kami menjuluki profesor yang mendapatkan gelar dengan memanfaatkan karya mahasiswanya dengan istilah "profesor hasil menyobek dan mengganti cover skripsi", haha.Â
Kalau kini Kompas menurunkannya menjadi berita utama, saya berterima kasih, karena kami sebetulnya juga risih dengan praktek kecurangan yang dilakukan sejawat.
Sebetulnya perjokian pembuatan karya ilmiah juga bukan hal baru bagi Kompas. Saya ingat Kompas pernah menulis laporan serupa beberapa tahun lalu.Â
Saya menelusuri dan akhirnya menemukan laporannya, 7 Oktober 2017. Bedanya laporan tahun 2017 itu menyangkut para mahasiswa yang menggunakan jasa pembuatan kaya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi), dan pihak universitas (termasuk dosen) ada di pihak yang memerangi kecurangan-kecurangan; sedangkan laporan tahun 2023, pihak yang (masih) diharapkan memerangi kecurangan (baca: dosen, universitas) justru luntur integritasnya, dan menjadi pemain utama yang berbuat curang.
Tridharma dan Akreditasi PT
Dosen di Indonesia memiliki tiga tugas yang dijabarkan dalam Tridharma Perguruan Tinggi (Tridharma PT), yaitu: pendidikan (mengajar), penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.Â
Kenaikan pangkat akademis atau jabatan fungsional dosen (asisten ahli, lektor, lektor kepala dan profesor) didasarkan pada capaian (cum-point) dari tiga ranah tersebut, meskipun dengan bobot yang berbeda-beda.
Di sisi lain, kelihatannya tak semua warga akademisi memiliki kemampuan mumpuni dalam ketiga ranah Tridharma PT. Dalam konteks perjokian karya ilmiah, tidak semua dosen memiliki kemampuan, tenaga, dan waktu yang memadai untuk meneliti, dan menulis hasil penelitian mereka. Belum lagi bidang ilmu berbeda juga memberi nuansa kesulitan penelitian yang juga berbeda.
Akademisi yang berada di bidang Sains, yang terbiasa bekerja di laboratorium, sering dianggap lebih mudah memunculkan ide penelitian dibanding akademisi bidang Sosial (catatan: saya mengerti ini tidak selalu benar).Â