Mohon tunggu...
Herry Setyawan
Herry Setyawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

..life is live your dream and wear your passion..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya Kasihan pada Pak Jokowi

22 Oktober 2012   03:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:33 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya kasihan pada pak Jokowi bukan karena kemacetan Jakarta yang akan membuat dahinya berkerut. Saya kasihan pada Pak Jokowi bukan karena banjir yang siap bertandang di musim hujan sebentar lagi. Saya kasihan pada Pak Jokowi bukan karena kebakaran, kumuhnya pemukiman, dan kriminalitas ala Jakarta yang harus ia benahi. Bahkan saya kasihan pada Pak Jokowi bukan karena lawan-lawan politiknya yang siap-siap menjerat langkahnya saat ia berjalan memimpin kota metropolitan Jakarta ini.

Saya kasihan pada Pak Jokowi bukan karena pedasnya mulut-mulut penduduk Jakarta yang  mungkin saja kelak tertumpah juga kepadanya, sama seperti dulu ketika mereka senantiasa mencaci maki gubernur-gubernur yang telah lalu, disaat banjir datang, ketika macet tak kunjung terurai, ketika kebakaran membabi buta. Padahal masyarakat juga bagian dari terjadinya semua itu.

Saya kasihan kepada Pak Jokowi bukan karena tubuhnya yang kurus kerempeng namun harus menanggung beban obesitasnya permasalahan Jakarta.

Namun satu hal yang membuat saya prihatin dan kasihan kepada pak Jokowi adalah betapa tak kunjung usainya puja-puji masyarakat  kepadanya.

Teringat pesan Rasulullah kepada para sahabat, "Ingatlah, Jangan kalian saling melontarkan pujian! Jika kalian melihat ada orang yang memberikan pujian, maka taburkanlah pasir kewajah mereka!" (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzi, dari Al Miqdad Ibnul Aswad).

Apa yang disampaikan Rasulullah itu merupakan bentuk keprihatinan dan rasa kasihan terhadap orang yang dipuji. Rasulullah khawatir pujian justru akan menjadi satu hal mudharat dalam kehidupan orang yang dipuji. Ada beberapa kisah juga yang menceritakan betapa rasulullah dan Sahabat begitu teramat berhati-hati dengan pujian, bahkan mengibaratkan pujian yang berlebihan dengan kalimat; membinasakan, mematahkan punggung atau menyembelih.

Banyak cerita keseharian yang membeberkan betapa ‘puja-puji’ telah menelan tuannya sendiri. Tengoklah kehidupan politik kita sekarang ini, ada seorang politikus muda yang cerdas, shaleh dan bersahaja, menjadi tumpuan harapan masa depan bangsa, ditaburi puja-puji dan harapan, namun akhirnya?

Mengapa? ..... Satu hal yang bisa menjadi alasan, pujian bisa membawa seseorang merasa dirinya paling benar, merasa dirinya didukung oleh banyak orang sehingga apapun yang ia lakukan pastilah akan mendapatkan dukungan banyak orang. Celakanya, memang begitu juga kenyataannya, kita sering menjumpai simpatisan seorang tokoh mati-matian membela figur yang diidolakannya itu meski tokoh itu nyata-nyata  bersalah. Bahkan tengok saja ke diri kita sendiri, kita seringkali merasa tak percaya jika figur yang kita idolakan melakukan kesalahan, bahkan saking tak percayanya, kita seringkali menuduh ada konspirasi yang sengaja ingin menjatuhkan orang yang kita idolakan itu.

Hal kecil tentang Pak Jokowi, sering kita mendengar kalimat ideal dari masyarakat,”kalau ingin maju mencalonkan diri menduduki jabatan A, tanggalkan dulu jabatan yang sekarang sedang di sandang.” Kalimat itu selalu digadang-gadang dan terdengar santer, tetapi tidak berlaku untuk kita yang mendukung Jokowi pada kampanye kemarin. Entah kalau nanti kita melihat orang lain dalam situasi yang sama. Tanpa sadar kita sudah tidak obyektif, bukan?

Menjelang pilkada kemarin, pembantu saya bilang,” Pak Jokowi itu bagus, ya, Den! Pokoknya nanti saya pilih dia.” Agak terkejut juga dengan pernyataan si 'bibi', karena setau saya kerjaan si Bibi itu tak pernah lepas dari dapur, tak pernah saya lihat dia baca Koran atau melihat berita di TV, radiopun tak pernah saya dengar bersuara dari kamarnya. Dari mana ia tahu sepak terjang Pak Jokowi selama ini?

Lalu saya sambung statementnya itu dengan pertanyaan,”Kok, Bibi tau Pak Jokowi itu bagus, alasan bagusnya dari mana, Bi?”. Sambil tersipu malu si Bibi gelagapan menjawab,”eh itu Den, saya cuma dengar-dengar aja dari saudara, katanya bagus.” Kemudian saya sambung lagi dengan pertanyaan singkat,”Apa karena Pak Jokowi orang Jawa, sama dengan kita?”.

Tidak salah juga kan jika sekelompok orang menginginkan orang dari kelompoknya maju menjadi pemimpin. Orang kulit hitam AS ibaratnya, sambil merem-pun ia akan pilih Obama. Jokowi-pun sudah pasti banyak menuai dukungan di wilayah-wilayah warga keturunan karena keberadaan Pak Basuki. Entah jika Pak Basuki berpasangan dengan selain Jokowi, mungkin akan beda ceritanya. Bahkan bang Rhoma Iramapun tersandung masalah ketika ia berstatement seolah-olah tak mendukung pasangan Jokowi dan Ahok yang memiliki perbedaan kepercayaan dengannya. Apa yang dikatakan pendukung ‘Jokowi –Ahok ‘ saat itu menanggapi statement Bang Rhoma? Tentunya masalah kualitas pribadi sang calon dalam memimpin, bukan masalah darimana ia berasal, bukan masalah agama apa yang dipeluknya.

Semoga kesadaran inipun tertular kepada diri kita saat ini, bukan karena ia Jokowi yang sama-sama kita idolakan, bukan karena ia Jokowi yang orang Jawa, bukan karena ada Pak Basuki yang keturunan China, sehingga serta merta kita menutup mata akan kekhilafan-kekhilafan yang mungkin saja akan ia lakukan nanti.

Sudah saatnya mungkin kita nge-rem atau lebih bijak dalam melontarkan puja-puji kepada Pak Jokowi, agar Pak Jokowi bisa berpikir dengan jernih dan bekerja dengan objektif. Mungkin hysteria kekaguman kita bisa kita lampiaskan ke cara-cara lain yang bisa membantu beliau mewujudkan program-programnya, misalnya; efisiensi dalam bertransportasi, peduli lingkungan, peduli social, dan sebagainya.

Bagaimanapun juga Pak Jokowi  dengan segala kelebihan yang ia miliki, tetaplah ia bukan dewa yang mampu mengubah Jakarta dengan tangannya sendiri.  Butuh dukungan nyata dari kita semua.

Bagaimanapun juga Pak Jokowi  dengan segala kelebihan yang ia miliki, tetaplah ia bukan malaikat, ia hanya manusia biasa yang bisa saja ‘terpleset’ sebagaimana banyak kita lihat sosok-sosok ideal yang akhirnya terjatuh karena demam kekuasaan dan puja-puji.

Sudah selayaknya kita menjaga beliau dan mengiringi gerak langkah beliau dengan cara yang objektif.

Terakhir, ditengah keprihatinan saya atas samudera puja-puji yang menerpanya, saya titip sekelumit bacaan doa untuk Pak Jokowi, doa  yang selalu di ucapkan Abu Bakar ketika ia mendengar orang memuji dirinya.

”Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.”

Semoga Pak Jokowi diberikan kekuatan lahir dan batin dalam menjalankan tugasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun