Mohon tunggu...
Humaniora

Penurunan Anggaran BOPTN Tepat atau Tidak?

19 Mei 2016   17:22 Diperbarui: 19 Mei 2016   17:34 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dunia pendidikan di Indonesia ini tidak lepas dari yang namanya biaya pendidikan yang masih dianggap tidak adil oleh warganya. Dalam dunia kampus pun, masalah biaya masih tetap jadi bahan pembicaraan utama di kalangan mahasiswa-mahasiswinya. Terutama mengenai BOPTN. Akhir-akhir ini dalam berita dibicarakan mengenai anggaran BOPTN yang diturunkan. Turunnya anggaran BOPTN sangat mempengaruhi banyak hal yang terkait, dimulai dari biaya UKT yang dapat menjadi mahal, bahkan tergolong terlalu mahal, hingga beasiswa yang berkurang.

BOPTN adalah singkatan dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri, yaitu semacam bantuan dana untuk perguruan tinggi negeri yang sistemnya hampir sama dengan Bantuan Operasional Sekolah atau disingkat BOS di tingkat SD sampai SMA yang memiliki tujuan salah satunya adalah untuk meringankan bahkan membebaskan pungutan apapun terhadap biaya operasional sekolah.

Pada pertengahan Juli 2012 lalu, Permendikbud No. 58 tentang Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) disahkan oleh Muhammad Nuh. Dengan disahkannya peraturan ini, BOPTN akan sangat membantu mahasiswa baru kelak untuk meringankan biaya kuliah.

Pada tahun 2015, berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kemenristekdikti mendapatkan anggaran sebesar Rp 42,7 Triliun. Sedangkan pada tahun 2016 ini, anggaran yang didapatkan hanya sebesar Rp 40,63 Triliun. Untuk BOPTN itu sendiri pada tahun 2015 dianggarkan sebesar Rp 4.5 Triliun, sedangkan tahun ini hanya akan mendapat anggaran sebesar Rp 3,7 Triliun. Pengurangan anggaran ini dapat menimbulkan berbagai masalah, yaitu salah satunya adalah uang UKT menjadi naik.

Mengapa pemerintah memilih kebijakan untuk menurunkan anggaran BOPTN? Padahal dengan tingginya anggaran BOPTN, pendidikan akan semakin mudah diraih oleh masyarakat luas yang kurang mampu, karena dapat meringankan pengeluaran untuk pendidikan.

Kedua, jika anggaran BOPTN dinaikkan, selain dapat menurunkan biaya UKT, anggaran tersebut juga bisa digunakan untuk meningkatkan pelayanan perguruan tinggi dalam menunjang kegiatan belajar mengajar, seperti pelaksanaan penelitian dan pengabdian masyarakat, biaya pemeliharaan pengadaan, penambahan bahan pratikum/kuliah, bahan pustaka, penjaminan mutu, pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan, pelaksanaan kegiatan penunjang, honor dosen dan tenaga kependidikan non-PNS dan kegiatan lain yang merupakan prioritas dalam Renstra (Rencana Strategi) tiap PTN.

Alasan di atas sudah cukup untuk mempertahankan anggaran BOPTN untuk tidak turun, tapi kebijakan yang diambil adalah untuk menurunkan anggaran BOPTN. Dapat dikatakan hal ini adalah tindakan gegabah yang dilakukan oleh pemerintah, di mana dengan dilaksanakannya kebijakan ini, pihak kampus dapat dengan sebebasnya menentukan biaya UKT untuk menutupi dana yang kurang sehingga dapat menyebabkan masyarakat, khususnya kalangan tidak mampu, tidak dapat mengenyam pendidikan di tingkat perguruan tinggi.

Pertumbuhan ekonomi yang melemah mungkin dijadikan alasan untuk pemerintah dalam menghemat anggaran yang dikeluarkan. Tapi dengan cara mengurangi anggaran BOPTN, dapat dirasakan sebagai kebijakan yang tidak tepat. Masih banyak perguruan tinggi negeri yang di mana fasilitas sarana dan prasarananya masih kurang, tapi menetapkan biaya UKT yang tinggi. Jika anggaran BOPTN diturunkan pada tahun ini, akan semakin mencekik mahasiswa yang kurang mampu dan dapat menyebabkan meningkatnya angka mahasiswa yang putus kuliah. Tapi jika pemerintah tetap memutuskan untuk menurunkan BOPTN, seharusnya dapat memberikan timbal balik yang adil untuk mahasiswa, seperti sarana dan prasarana yang memadai untuk berbagai kegiatan mahasiswa, baik yang bersifat akademik maupun yang tidak bersifat akademik, karena tanpa memadai kedua hal tersebut, universitas pun tidak dapat melahirkan lulusan-lulusan berkompeten, dikarenakan terlalu banyak terjadi hambatan dan kekurangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun