Hukum Islam (Dinamika Seputar Hukum Keluarga)Â
Aulia Muthiah, S.HI, M.H.
Sri Nur Hamdana (222121099 : HKI 4C)
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia
Pendahuluan
Hukum Islam, atau syariah, bukan sekadar seperangkat aturan, melainkan suatu pandangan holistik terhadap kehidupan yang mencakup berbagai aspek, termasuk yang berkaitan dengan keluarga. Hukum Keluarga Islam membahas ikatan pernikahan, hubungan suami istri, hak-hak dan kewajiban anak, serta pembagian harta warisan. Prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan rasa tanggung jawab memainkan peran kunci dalam membentuk landasan hukum ini. Dalam pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Al-Quran dan Hadis, muncul suatu sistem hukum yang mengarah pada terbentuknya keluarga yang harmonis dan adil. Meski implementasinya dapat bervariasi di berbagai konteks budaya dan sosial, pemahaman terhadap nilai-nilai fundamental ini penting untuk menciptakan landasan yang kokoh dalam memahami dan mengaplikasikan Hukum Keluarga Islam.
Pembahasan
Hukum Islam sebagai fiqh yang kemudian menjadi salah satu disiplin ilmu. Hukum Islam dalam makna yang luas sebagai seluruh Kalamullah dan sabda Rasullculah SAW mencakup perintah dan larangan, sejak masa Nabi SAW sampai sekarang terus menerus berkembang, karena ajaran Islam ini berlaku hingga akhir zaman. Adanya perintah dan larangan tertentu menunjukkan adanya tata tertib di dalam alam cipataannya, hal ini berfungsi untuk mengurus tata tertib di alam sehingga hukum Islam ini mempunyai cakupan kajian yang sangat luas karena tidak hanya berhubungan dengan tata tertib manusia tetapi juga berhubungan dengan tata tertib alam semesta.
Berdasarkan kebiasaan orang Arab yang menyukai perjalanan dan perdagangan dengan dua kebiasaan orang-orang Arab, maka hal inilah yang menyebabkan terjadinya islamisasi wilah yang menyebabkan terjadinya Islamisasi yang Arab, maka hal sia. Kegiatan Islamisu ini dilakukan dengan perkawinan yndone orang saudagar Arab Muslim yang menikahi wanita pribum, sebu pernikahan dilaksankan wanita tersebut diislamkan terlebih dahulu. Dengan perkawinan ini maka terbentuklah keluarga-keluarga mus lim yang melaksanakan setiap kaidah-kaidah hukum Islam tera mus kaidah-kaidah hukum keluarga seperti hukum Perkawinan secara Islam, dan hukum Kewarisan Islam.
Pembentukan keluarga-keluarga muslim yang kemudian berkem- bang menjadi masyarakat muslim yang baru dan memerlukan pem- belajaran tentang kaidah-kaidah hukum Islam baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Proses-proses pembelajaran ini mengakibat kan Islam berkembang menjadi lebih luas lagi di Indonesia. Peran para saudagar kemudian dibantu oleh para ulama dalam penyebaran ajaran Islam. Sehingga pertumbuhan hukum Islam yang ada di Indonesia sangat berhubungan dengan para ulama, sebagai contoh di kota Banjarmasin seorang yang bernama Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari seorang Mufti (ahli hukum Islam) membuat sebuah buku tentang hukum Islam yang bernama kitab Sabilal Muhtadin. Kitab ini dijadikan sebagai pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar
Kajian Teoretis Hukum IslamÂ
Dalam pembahasan kajian teoretis hukum islam dibuku ini membahas beberapa poin seperti pengertian hukum islam, kerangka dasar agama islam, sumber hukum islam, dan tujuan hukum islam.
Hukum Islam mempunyai pengertian yang sangat luas berdasarkan dalil-dalil yang terkandung dalam Al-Quran. Hukum Islam mengatur apa yang terjadi di dalam masyarakat dan apa yang terjadi di luar masyarakat. Dalam ajaran Islam hal ini dikenal dengan Sunnatullah, hukum alam, ketetapan atau hukum Allah yang berlaku pada alam semesta. Sunnatullah yang mengatur alam semesta dan menjamin keteraturan hubungan antar obyek alam semesta ini. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan adanya Sunnatullah dan penerapannya terhadap alam semesta, termasuk manusia yang ada di dalamnya.
Kerangka dasar agama islam yang sering dibahas ada 3 yaitu akidah, yang dimana akidah selalu disangkut pautkan dengan ketaqwaan dan keimanan umat islam dan tidak jauh dari rukun islam. Dan syariah dimaksud dengan jalannya seperangkat norma illahi yang selalu mengatur jalannya manusia dengan benda alam sekitarnya sedangkan Akhlak selalu dan disangkutpautkan dengan perilaku manusia yang baik dan buruk yang sudah tertulis jelas di Al-Qur,an yang mana dilarang dan yang mana diperbolehkan.
Adapun sumber-sumber hukum islam bagi umat manusia yang utama yaitu Al-Qur'an menjadi pusat awalan sebagai umat islam untuk mengayomi kehidupan semasa didunia. Di Al-qur'an juga sering disebut dengan adanya petunjuk yang menyerupai sejarah manusia dan berisi seuatu yang sulit dijelaskan serta memberi pengetahuan tentang struktur kenyataan alam yang bersangkut paut dengan manusia Disusul dengan As-sunnah dan Ijtihad, disini as-sunnah dimaksud dengan perilaku-perilaku nabi Muhammad SAW selama hidupnya yang menjadikan pedoman perilaku dan kehidupan bagi umat muslim dan Ijtihad adalah kemampuan para ulama dalam menyampaikan pemikiran mereka.
KHI Sebagai Hukum Positif DiIndonesia
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan melibatkan berbagai tahapan serta perubahan dari waktu ke waktu. Pada dasarnya, KHI merupakan upaya negara untuk merumuskan dan mengintegrasikan norma-norma hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional. Berikut adalah gambaran singkat sejarah terbentuknya KHI di Indonesia.
Pada tahun 1965, pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres No. 144 tahun 1965 tentang Penyelenggaraan Hukum Islam. Keppres tersebut menjadi landasan hukum bagi pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Namun, proses pengumpulan dan penyusunan KHI secara resmi dimulai pada tahun 1974 dengan pembentukan Panitia Penyusunan Kompilasi Hukum Islam.
Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama, dan akhirnya, pada tahun 1991, pemerintah Indonesia meluncurkan Kompilasi Hukum Islam secara resmi. KHI mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti pernikahan, perceraian, waris, wakaf, dan keuangan syariah. Kompilasi ini bertujuan untuk menyederhanakan dan mengintegrasikan hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional, sehingga dapat diaplikasikan secara konsisten di seluruh wilayah Indonesia.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah sebuah perangkat hukum positif yang menyusun dan mengintegrasikan berbagai ketentuan hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional. Dokumen ini mencakup berbagai bidang, termasuk pernikahan, perceraian, waris, wakaf, dan keuangan syariah. KHI juga telah melalui proses konsultasi publik dan penerapan di lapangan untuk memastikan relevansinya dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Hukum Perkawinan
Perkawinan sudah merupakan sunatullahyang berlaku secara umum dan perilaku makhluk ciptaan Tuhan, agar dengan perkawinan kehidupan di alam dunia ini bisa berkembang untuk meramaikan alam yang luas ini dari generasi ke generasi berikutnya. Perkawinan adalah tuntutan naluri yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Oleh karena manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan merupakan salah satu budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan memperoleh ketenangan hidupnya, yang beraturan dan mengikuti perkembangan budaya manusia. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya adalah dalam bentuk yang sederhana, sempit dan bahkan tertutup, sedangkan dalam masyarakat modern budaya perkawinannya maju, luas serta terbuka.
Hukum Islam memberikan pengertian perkawinan yang dalam bahasa Islam disebut pernikahan dengan dua pandangan yaitu yang secara luas maupun yang secara sempit. Pernikahan secara luas sebagai alat pemenuhan kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar guna memperoleh keturunan yang sah dan sebagai fungsi sosial. Sedangkan pernikahan secara sempit seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam Pasal 2 bahwa pernikahan merupakan suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan adalah bagian dari hukum perdata, yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan antara orang dengan orang. Dengan adanya perkawinan maka akan timbul keluarga, yaitu suami, isteri, anak dan harta kekayaan mereka.
Disini Khitbah adalah janji untuk melakukan perkawinan namun Khitbah bukan akad nikah sehingga Khitbah belum memunculkan akibat yuridis dalam perkawinan. Adapun khitbah janji melaksanakan perkawinan yang menyinggung tentang wanita yang boleh dikhitbah. Menurut peraturan KHI Pada pasal 12 yaitu :
- Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.
- Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj'iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
- Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
- Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-di- am pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Perceraian dan Akibatnya Dalam Hukum Perkawinan
Setiap pasangan suami isteri pada hakikatnya ingin ikatan perkawinan mereka berjalan sepanjang masa, namun ada beberapa hal yang menyebabkan putusnya ikatan perkawinan, meskipun mereka telah berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka. Putusnya perkawinan ini mempunyai akibat hukum yang berbeda sesuai dengan kategori sebab putusnya perkawinan. Berdasarkan pasal 113 KHI yaitu kematian, perceraian, atas putusan pengadilan.
Kematian disini dimaksud dengan hilangnya nyawa seseorang dimana ketika salah satu dari pasangan tersebut mengalami kematian dimana menyebabkan suatu pernikahan putus atas dasar kehilangan satu pasangan dari masing-masing pernikahan. Perceraian disebut putusan nya suatu hubungan antara suami dan istri itu putus dengan cara yaitu talak, disini talak dibagi beberapa jenis yaitu, Talak wajib yaitu talak yang dijatuhkan oleh pihak hakam (penen- gah) karena perpecahan antara suami isteri yang sudah sangat berat, dan perceraian menjadi jalan satunya untuk menyelesai- kan konflik yang berkepanjangan, Talak haram yaitu talak tanpa alasan. Diharamkan karena mer- ugikan bagi suami dan isteri, dan tidak adanya kemaslahatan yang mau dicapai dengan perbuatan talaknya itu. Talak sunnah, yaitu dikarenakan isteri mengabaikan kewajiban- nya kepada Allah, seperti shalat dan sebagainya, sedangkan suami tidak mampu memaksanya agar isteri menjalankan kewajibannya tanpa adanya rasa malu.
      Adapun macam-macam talak tergantung dengan berat ringannya akibat talak yaiyu, talak raj'I yang dijatuhkan suami kepada istri yang telah dikumpuli, Talak Ba'in yang tidak dapat dirujuk oleh suami, Talak Khulu' dipersamakan dengan talak tebus (iwadh) yang artinya talak diucapkan suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami.
      Dalam hal siapa yang berhak menjatuhkan talak, para ulama sepakat bahwa suami yang berakal, baligh dan merdeka yang boleh menjatuhkan talak, dan talaknya dapat dinyatakan sah. Sedangkan laki-laki mentalak isterinya dalam keadaan terpaksa, mabuk, lalai atau dalam keadaan lupa dalam hal ini perbedaan pendapat ulama, adanya yang menyatakan sah ada pula yang menyatakan talaknya adalah sia-sia, sehingga dalam pengucapan talak diperlukan kesempurnaan kemampuan karena dikhawatirkan kalimat talak ini hanya dipermainkan oleh para laki-laki yaitu, talak karena adanya paksaan, talak karena mabuk, talak ketika sedang marah, talak main-main dan keliru dan talak ketika tidak sadarkan diri.
      Dalam perceraian fasakh juga termasuk dengan arti rusaknya sebuah pernikahan dengan mencabut atau menghapus yang maksudnya adalah perceraian yang timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau istri oleh keduanya, sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami istri dalam mencapai tujuan rumah tangga. Li'an juga termasuk dalam perceraian yang dimana suami menuduh berzina tetapi istri tidak mau mengakuinya dan suami tidak mau pula mencabut tuduhannya itu maka Allah mengharuskan mereka mengadakan lian.
Harta Kekayaan Dalam Hukum Perkawinan Islam
Secara yuridis formal harta kekayaan dalam perkawinan di atur pada undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan juga diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam pada Buku I, aturan ini dibuat untuk memperjelas status harta dalam perkawinan, kedua peraturan ini menyatakan bahwa harta dalam perkawinan dibagi menjadi dua macam yaitu harta bawaan dan harta bersama. Kedua harta ini mempunyai akibat hukum yang berbeda jika terjadi putusnya perkawinan baik karena perceraian atau karena salah satu pasangan meninggal dunia.
Harta asal ini dapat diperoleh seseorang di luar (sebelum) atau di dalam suatu perkawinan melalui lembaga pengasingan (pengali- han hak) seperti jual beli, tukar menukar, waris, hibah, dan lain-lain. Dalam hal jika seseorang tidak terikat dalam suatu perkawinan maka semua penghasilannya merupakan bagian dari harta pribadinya. Namun dalam hal seseorang terikat dalam suatu perkawinan, maka kedudukan penghasilan dari harta asal menjadi bergeser seiring dengan muculnya kewajiban bagi orang tersebut di dalam perkawinannya.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) harta asal disebut den- gan harta bawaan pembahasan ini dapat dilihat pada pasal 87 ayat 1. Jadi yang dimaksud dengan harta asal atau harta bawaan pada pasal ini adalah: "Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing. Sepanjang para pihak tidak me- nentukan lain dalam perjanjian perkawinan."Sedangkan menurut undang-undang perkawinan nomor 1 Ta- hun 1974 pada pasal 35 ayat 2 menyatakan bahwa: "harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain".
Dijelaskan juga mengenai harta besama yang mana Di Indonesia, harta bersama dalam perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan. Bab VII pada Pasal 35, 36, dan 37. Pada Pasal 35 (1) dijelaskan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 36 mengatur status harta yang yang diperoleh masing-masing suami is teri. Pada pasal 37, dijelaskan apabila perkawinan putus karena per- ceraian atau kematian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Selain beberapa pasal di atas dijelaskan pula dalam KUH Per- data Pasal 119 mengenai pengertian harta bersama yaitu sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak di- adakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perkawinan.
Hukum Waris
Figh mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa arab figh dan mawaris. Menurut Prof. T.M. Hasby As-Shiddiqi dalam bukunya hukum waris, figh mawaris adalah ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak dapat mewarisi, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pengambilannya. Istilah lain yang digunakan dalam disiplin ilmu ini adalah dengan menggunakan istilah ilmu faraidh yang bermakna secara bahasa adalah kewajiban atau bagian tertentu. Seorang ilmuan fiqh bernama Ibnu Rusyd mendefinisikan ilmu faraidh adalah ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang berkah menerimanya.
Dalam literatur hukum Indonesia digunakan pula beberapa nama yang keseluruhannya mengambil dari bahasa Arab, yaitu waris, warisan, pusaka dan hukum kewarisan, yang menggunakan nama hukum waris, memandang kepada orang yang berhak menerima harta wari- san, yaitu yang menjadi subjek dari hukum ini. Adapun yang menggunakan nama warisan memandang kepada harta warisan yang menjadi objek dari hukum ini.
Dalam hukum waris ada beberapa asas yaitu asas ijbari, bilateral, individual, keadlian berimbang dan semata akibat kematian. Asas ijbari yang dimaksud dibuku ini mengandung arti pengalihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah tanpa digantungkan dengan kehendak pewaris atau ahli warisnya. Asas ijbari dapat dilihat dari segi yaitu: dari pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dari Al-Quran Surah An-Nisa ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi laki-laki dan perempuan ada bagian waris dari harta peninggalan ibu, ayah dan keluarga dekatnya, dari kata nasyibun (bagian) itu dapat diketahui dalam jumlah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, terdapat bagian ahli waris. Asas Bilateral dalam hukum waris Islam mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada ahli warisNya melalui dua arah (dua belah pihak). Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak warisdari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Pada prinsipnya asas ini menegaskan bahwa jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewaris atau diwarisi.
Asas Individual dalam hukum waris Islam berarti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Asas keadilan berimbang dalam hukum waris Islam dapat diartikan dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Asas ini mengandung arti harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Misalnya laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipilkulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Asas semata akibat kematian Hukum Islam telah menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewar san hanya berlau setelah yang mempunyai harta telah meninggal dunia. Asas ini menggambarkan bahwa hukum waris Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu kewarisan sebagai akibat dari adanya kematian dan tidak mengenal atas dasar wasiat yang dibuat saat pewaris masih hidup.
Sebelum dilakukan pembagian waris ada beberapa hal yang har- us dilakukan oleh ahli waris terhadap harta peninggalan si pewaris, adapun kewaiban-kewajiban itu adalah:
- Mengurus Jenazah Pewaris
Pengurusan atau Penyelenggaraan jenazah menurut Sulaiman Rasjid dalam bukunya Fiqih Islam" adalah Biaya untuk mengurus mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Setelah hak pertama ditunaikan sisanya barulah digunakan untuk mengurus mayat. Sedangkan Sayid Sabiq menyebutkan penyelenggaraan jenazah dengan istilah tajhiz yaitu, segala yang diperlukan oleh seseorang yang meninggal dunia mulai dari wafatnya sampai kepada penguburannya. Di antara kebutuhan tersebut adalah biaya memandikan, mengafankan, menguburkan dan segala yang diperlukan sampai diletakkannya di tempat yang terakhir. Bagi keluarga yang menyelenggarakan jenazah hendaklah jangan berlebihan meskipun semua biaya diambil dari harta si mayit, karena dikhawatirkan kalau ahli waris yang ditinggalkan memerlukan harta peninggalan itu untuk membiayai anak-anak yatim yang tertinggal.
- Membayar Hutang Pewaris
Hutang adalah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari prestasi yang pernah diterima oleh seseorang. Kalau si mayat mempunyai meninggalkan hutang, hutang itu hendaklah dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagi kepada seluruh ahli waris. Hutang si mati harus dilunasi dari harta peninggalan si mati setelah dikeluarkan untuk membiayai perawatannya. Melunasi hutang adalah termasuk kewajiban utama, demi untuk membebaskan  pertanggung jawabannya dengan seseorang di akhirat nanti dan untuk menyikap tabir yang mem batasi dia dengan surga. Menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 175 tentang pembayaran hutang pewaris adalah: "Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai dari harta peninggalannya"
- Melaksanakan Wasiat Pewaris
Wasiat adalah pesan seseorang untuk memberikan se suatu kepada orang lain setelah ia meninggal dunia Berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 180 yaitu:
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatan- gan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. Jika sebelum meninggal dunia seseorang telah berwasiat, maka dipenuhilah wasiat itu dari harta peninggalannya dengan tidak boleh lebih dari sepertiga harta bila dia mempunyai harta waris dan jika dia akan berwasiat lebih dari sepertiga harus mendapat- kan persetujuan ahli warisnya."
Sedangkan pendapat Sulaiman Rasjid, yang menambahkan bahwa ahli waris juga mempunyai kewajiban untuk membayar zakat dari harta peninggalan pewaris. Sesudah dibayar semua hak-hak tersebut di atas barulah harta peninggalan si mayat itu dibagi kepada seluruh ahli waris, menurut pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur'an
yaitu: "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatan gan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Bentasrat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa jika sebelum meninggal dunia seseorang telah berwasiat, maka dipenuhilah wasiat itu dari harta peninggalannya dengan tidak boleh lebih dari sepertiga harta bila dia mempunyai harta waris dan jika dia akan berwasiat lebih dari sepertiga harus mendapat kan persetujuan ahli warisnya."
Sedangkan pendapat Sulaiman Rasjid, yang menambahkan bahwa ahli waris juga mempunyai kewajiban untuk membayar zakat dari harta peninggalan pewaris. Sesudah dibayar semua hak-hak tersebut di atas barulah harta peninggalan si mayat itu dibagi kepada seluruh ahli waris, menurut pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur'an.
Penyelesaian Berbagai Kasus Hukum Waris Islam DiIndonesia
      Salah satu kasus dalam hukum waris biasanya adalah perihal anak adopsi dan anak tiri, Menurut hukum Nasional yang tercantum dalam ketentuan pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa: Anak angkat adalah anak yang hak-haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesar- kan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua ang- katnya berdasarkan putusan dan penetapan pengadilan"
Pasal ini juga mengatur bahwa anak angkat masuk kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambilnya sebagai anggota rumah tangganya (gezinslid), dan yang beralih dari orang tua kandungnya, kedua orang tua angkatnya hanya berhak atas hubungan keperdataan saja, seperti peralihan tanggung jawab dalam hal perawatan, kasih sayang, pendidikan, membesarkannya dan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan si anak. Sedangkan hak keturunannya dihubungkan kepada orang tua kandungnya sehingga anak angkat tidak dapat berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya.
Sebelum Islam datang, pengangkatan anak telah banyak ditemui di kalangan Bangsa Arab, pengangkatan anak ini diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain dengan status anak kandung. Di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah, pengangkatan anak dipakai istilah tabbani yaitu menjadikan anak orang lain sebagai anak kandung dari orang tua yang mengangkatnya. Kebiasaan Arab Jahiliyah tersebut berlaku sampai zaman Rasulullah Saw, sehingga Rasulullah Saw mengangkat seorang anak bernama Zaid bin Haritsah dalam konteks seperti pengangkatan anak masayarakat Jahiliyah tersebut. Oleh sebab itu para sahabat pada waktu itu memanggil Zaid dengan nama Zaid bin Muhammad, yaitu menisbatkan Zaid kepada Rasulullah dengan menafikan keberadaan Haritsah sebagai ayah kandung Zaid. Perilaku ini akhirnya mendapat teguran dari Allah Swt yaitu dengan turunnya ayat 4 dan 5 Surah Al-Ahzab.
Pada saat pembagian hak waris kepada anak adopsi atau anak tiri dinamakan Wasiat Wajibah. Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap harus dilaksanakan baik diucapkan atau tidak diucapkan, baik dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh yang meninggal dunia. Jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan, ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.
Kewarisan Kasus Mafqud
Kata "mafqud" berasal dari kata kerja fagoda, yafqidu, dan mashdarnya fiqdanan, fuqdanan, fuqudan, yang berarti ghoba anhu wa 'adamuhu telah hilang atau tiada. Mafqud (orang yang hilang) adalah seorang yang pergi dan terputusnya kabar berit- anya, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah dia masih hidup atau sudah meninggal, sedangkan Hakim telah menetapkan kematiannya.
Orang yang hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama dan tidak diketahui lagi keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Contohnya adalah seorang pengusaha yang pergi berbisnis ke suatu daerah yang tengah dilanda perang, para relasinya yang dihubungi tidak mengetahui keberadaannya, karena, menurut mereka, pengusaha tersebut telah pulang ke negerinya, sedangkan keluarganya di rumah menyatakan bahwa ia telah lama tidak pulang. Contoh lainnya adalah seorang nelayan yang berlayar untuk mencari ikan. Reken-rekennya tidak mengetahui lagi keberadaannya, karena dia menghilang telah cukup lama. Atau seseorang yang merantau ke negara lain, baik dalam rangka melakukan studi atau kegiatan lainnya dalam waktu yang cukup lama tidak diketahui secara pasti keberadaannya.
Pertama jika mafqud sebagai pewaris orang yang diwarisi, apabila waktu menunggu yang telah ditentukan habis dan keadaannya belum diketahui, maka dia dihukumi telah meninggal, lalu harta pribadinya dibagikan, begitu pula dengan harta miliknya yang dihasilkan dari warisan orang lain terhadapnya, seluruhnya dibagikan kepada ahli warisnya yang ada ketika dia dihukumi meninggal, dan tidak diberikan kepada mereka yang telah meninggal pada masa penantian.
Kedua jika mafqud menjadi salah seorang yang mendapat waris atau ahli waris dan tidak ada orang lain padanya, maka harta tersebut untuk sementara dibiarkan sampai ada kejelasan tentangnya, atau habis masa penantiannya, jika ada ada ahli war- is lain bersamanya dan mereka menuntut agar harta tersebut dibagikan, hendaklah seluruhnya diperlakukan dengan menda- pat bagian terkecil, sementara sisanya dibiarkan sampai ada kejelasan tentangnya, jika hidup maka dia akan mengambil bagiannya dan jika meninggal maka harta yang ada dibagikan kepada mereka yang berhak.
Kewarisan Anak Luar Nikah
      Selain anak sah dan anak adopsi/angkat, dalam hukum keluarga juga dikenal Anak Luar Kawin (ALK). ALK dibagi menjadi 2 (dua) pengertian, yakni ALK menurut pengertian sempit dan ALK menurut pengertian luas. ALK dalam pengertian sempit adalah anak yang la hir dari hubungan laki-laki dan wanita yang sebetulnya boleh kawin tetapi tidak kawin, anak-anak ini sering juga disebut dengan "anak alami". Sedangkan ALK dalam pengertian luas adalah:
- Anak yang lahir dari hubungan laki-laki dan wanita yang sebetulnya boleh kawin tetapi tidak kawin ditambah dengan;
- Anak yang lahir dari hubungan laki-laki dan wanita yang menurut peraturan perundang-undangan dilarang untuk kawin, contoh: anak-anak yang lahir dari hubungan perzinahan (anak yang dilahirkan disebut dengan "anak zinah") dan anak-anak yang lahir dari hubungan sedarah/inces (anak yang dilahirkan disebut dengan "anak sumbang").
Pemeliharaan terhadap keturunan adalah pemeliharaan dan perlindungan bagi setiap anak dengan status yang jelas, harus diper- lakukan sebagai bagian dari masyarakat yang harus tumbuh dan berkembang disekitar orang tuannya, baik sisi jasmaninya maupun ruhaninya. Untuk menjamin terpeliharaanya keturunan ini dalam hukum Islam diharamkan melakukan hubungan suami istri diluar ikatan perkawinan, dan terbentuknya lembaga perkawinan yang disyari'atkan. Adapun Waris Pengganti pada kajian kompilasi KHI yaitu kedudukan cucu sebagai ahli waris, Penetapan ahli waris pengganti pada pembagian harta warisan.
Pelaksanaan Wasiat Pada Hukum Waris Islam
Wasiat dari segi etimologi berasal dari Bahasa Arab, yaitu washiyyah yang artinya pelepasan, yakni pelepasan terhadap harta peninggalan yang dilakukan seseorang sewaktu masih hidup, untuk dilaksanakan setelah meninggal dunia. Pengertian wasiat dari segi terminologi ialah pernyataan atau perkataan seseorang kepada orang lain untuk memberikan hartanya, membebaskan hutang atau memberikan manfaat suatu barang miliknya setelah meninggal dunia. Berdasarkan pendapat para ahli penulis juga berpendapat bahwa wasiat adalah pemberian berupa harta yang akan diberikan kepada seseorang bukan ahli waris, dan pemberian wasiat ini berlaku setelah meninggalnya si pemberi wasiat.
Sehingga dengan adanya pemberian wasiat ini bertujuan agar seseorang yang mempunyai harta lebih untuk menyisihkan sebagian hartanyayang akan dimasukkan ke dalam jumlah harta peninggalan yang akan diberikan kepada si penerima wasiat, di mana proses pelaksanaan wasiat dilaksanakan sebelum pembagian harta warisan. Akan tetapi si pemberi wasiat harus mempertimbangkan terlebih dahulu keperluan para ahli waris, karena tentu saja pemberian wasiat akan mengurangi kadar dari harta warisan yaitu sebagian harta tersebut akan diberikan pada pihak lain yang masih membutuhkan, seperti kaum kerabat yang miskin sedangkan penerima wasiat ini bukan tergolong ahli waris yang mendapatkan warisan. Sehingga wasiat berfungsi sebagai amal kebajikan yang bersifat tolong menolong bertujuan untuk membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan, atau untuk kepentingan umum dan dapat membersihkan diri dari beban dosa, agar mendapatkan keridhoan dari Allah SWT.
Dan syarat Sah nya wasiat adanya pewasiat, penerima wasiat, barang yang diwasiatkan, adanya sighat/ikrar. Adapun peyebab pembatalan wasiat seperti pewasiat menderita sakit gila hingga dia meninggal dunia, penerima wasiat meninggal terlebih dahulu daripada wasiat, benda yang akan diwasiatkan rusak atau musnah dsb. Sedangkan menurut pasal 197 KHI menyatakan bahwa batalnya wasiat sebagai berikut:
- Calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat
- Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengad uan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
- Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat
- Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau me- malsukan surat wasiat dari pewasiat.
- Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk meneri- ma wasiat itu:
- Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai dia menin- ggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat
- Mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi dia menolak untuk menerimanya
- Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyata- kan menerima atau menolak sampai dia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat
- Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
Menurut Sayyid Sabiq 27 mengatakan bahwa wasiat termasuk ke dalam perjanjian yang diperbolehkan oleh hukum, tetapi di dalam perjanjian itu pewasiat boleh saja mengubah wasiatnya atau menarik kembali apa yang dikehendaki dari wasiatnya, atau menarik kembali apa yang diwasiatkan itu baik secara lisan maupun secara perbuatan. Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang pencabutan wasiat yang diatur pada pasal 199 yaitu:
- Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wa- siat belum menyatakan persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.
- Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disak- sikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris bila wasiat terda- hulu dibuat secara lisan.
- Bia wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut den- gan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris
- Bila wasiat dibuat berdasarkan akta notaris maka hanya dapat dicabut berdasarkan akta notaris.
Selain masalah pembatalan wasiat Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang wasiat yang tidak berlaku, tentang aturan ini ter- dapat pada pasal 207 yaitu:
"wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberikan tun- tunan kerohaniaan sewaktu ia menderia sakit hingga meninggalnya kecuali ditentukan dengan jelas untuk membalas jasa"
Selain dua orang ini yaitu perawat dan penuntun kerohanian pada pasal lain juga terdapat orang lain yang dikarenakan profesinya sehingga jika wasiat itu ditujukan kepadanya maka wasiat ini juga tidak berlaku tentang aturan ini terdapat pada pasal 208 Kompilasi Hukum Islam yaitu:
"wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akta terse- but"
Ketentuan tersebut juga belaku bagi para pejabat lain dengan kewenagan yang sama, seperti halnya notaris, dalam pembuatan wa- siat darurat, yaitu nakhoda kapal, mualim kapal, maupun komandan perang. Yang dimaksud dengan notaris dan para saksi atau pejabat lain yang berwenang membuat wasiat dalam keadaan darurat adalah notaris dan pejabat yang membuat Akta Wasiat tersebut. Hal ini untuk mencegah adanya benturan kepentingan antara si pejabat dan para saksi yang mendengarkan wasiat terakhir si pembuat wasiat.
Hibah Dan Hubungannya Dengan Hukum Waris Islam
      Dalam pembahasan harta warisan salah satu yang biasa disebut adalah masalah hibah. Akan tetapi jika ditinjau dari pengertiannya, tidak ada hubungan atau keterikatan secara langsung antara hibah dan waris dalam Islam. Sebab hibah adalah aqad yang ditujukan untuk pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu masih hidup tanpa adanya imbalan. Sedangkan waris adalah segala apa dan bagaimana berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. Tetapi melihat fenomena praktek masyarakat Indonesia sebagaimana yang terjadi di atas, dapat dilihat adanya hubungan atau keterkaitan antara hibah dan waris. Misalnya penerimaan hibah memiliki akibat sendiri dalam memperhitungkan harta warisan, maksudnya apabila terjadi pembagian harta warisan penerimaan hibah harus memperhitungkan segala hibah yang telah diterimanya selama pewaris masih hidup, hubungan antara penerimaan hibah maupun proses pembagian harta warisan sangat bervariasi. Hukum menetapkan demikian, untuk menjamin hak-hak para ahli waris dan pihak lain secara keseluruhan dan ruang lingkup kewarisan. Proses pemasukan dan perhitungan seperti ini diatur secara rinci di dalam secara imbreng, yaitu hibah wajib diperhitungkan.
Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut, oleh karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris, satu pihak berpendapat bahwa hibah yang sudah diberikan berbeda dengan warisan, sedangkan pihak lain (ahli waris yang tidak menerima hibah) menyatakan hibah yang sudah diterima merupakan harta warisan yang sudah dibagi. Oleh karenanya ahli waris yang sudah menerima hibah tidak akan mendapat harta warisan lagi.
Penarikan kembali atas suatu pemberian atau hibah adalah merupakan perbuatan yang diharamkan, meskipun hibah tersebut terjadi antara dua orang yang bersaudara. Akan tetapi bagaimana dengan hibah antara orang tua dengan anaknya, seperti yang sudah kita ketahui seorang anak adalah ahli waris dari orang tuanya yang tidak akan terhalang. Apakah anak tersebut boleh menerima hibah disertai dengan harta warisan, apakah boleh harta yang sudah dihibahkan ditarik kembali jika ternyata oleh orang tua tidak berkenan untuk memberikan harta tersebut.
Adapun dasar hukum Hibah Di dalam Al-Qur'an maupun Hadist, dapat ditemui ayat sabda Nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dari Hadist di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama, melakukan infaq, sedekah dan pemberian pemberian lain termasuk hibah. Seperti pada surah Al-Maidah ayat 2 yaitu:
"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya."
Dalam suatu hadis juga dianjurkan untuk melaksanakan hibah yaitu pada hadis yang imam Bukhari, Nasa'i dan Baihaqi yaitu: Nabi Muhammad Saw bersabda: Saling memberi hadiahlah kemudian saling mengasihi.
Berdasarkan ayat dan hadis di atas maka hukum hibah adalah mubah, karena ayat di atas hanya menganjurkan untuk saling memberi. Menurut Abdul Azis Muhammad Azam dia menyatakan bahwa hukum hibah adalah mandub (dianjurkan) sesuai dengan hadis tersebut yang ada pemabahasan dasar hukum. Hadis ini menyarankan kepada umat Islam untuk saling memberi hadiah.
Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis mau- pun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis. Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan.
Kesimpulan
Hukum Islam dan dinamika seputar Hukum Keluarga, khususnya dalam konteks harta waris, dapat disimpulkan bahwa hukum ini memberikan fondasi yang kokoh untuk memandu kehidupan keluarga umat Muslim. Pengaturan harta warisan, sebagai salah satu aspek krusial dalam hukum keluarga Islam, menekankan prinsip keadilan dan ketidakdiskriminan antara ahli waris. Hal ini menciptakan landasan yang adil dalam pembagian warisan, memastikan bahwa hak-hak waris sesuai dengan ketentuan syariah.
Penting untuk diingat bahwa hukum keluarga Islam tidak hanya berfokus pada aspek material, tetapi juga pada keberlangsungan nilai-nilai spiritual dan moral dalam keluarga. Pembagian harta warisan yang diatur oleh hukum Islam bertujuan untuk menjaga keharmonisan keluarga dan mencegah konflik di antara anggota keluarga terkait harta warisan.
Dengan demikian, kesimpulan ini menggarisbawahi peran integral hukum Islam dalam membentuk struktur keluarga yang seimbang dan berkeadilan, dengan pengaturan harta warisan menjadi salah satu pilar utama dalam mencapai tujuan tersebut. Sebagai pedoman hidup, hukum Islam memberikan arahan yang jelas dan holistik untuk membentuk keluarga yang berlandaskan nilai-nilai agama dan etika, sekaligus menciptakan fondasi yang solid untuk keberlanjutan harmoni dan ketentraman dalam masyarakat Muslim.[1]
Â
Bibliography
Â
Aulia Muthiah, S.HI, M.H. Hukum Islam (Dinamika Seputar Hukum Keluarga). 1st ed. PUSTAKA BARU PRESS, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H