Berawal dari Rasa Geli
Bagaimana tidak geli melihat tayangan tv kita sekarang ini. Khususnya dalam pembawaan ceramah agama Islam. Ada banyak hal yang demi ‘rating’ atau apalah alasannya sering memaksakan sesuatu yang DILEBIH-LEBIHKAN. Beberapa hal yang dulu tak pernah ada kini bahkan menjadi ‘bahasa’ baru. Dari mode pakaian, idiom-idiom khas, hingga atraksi nyentrik di panggung dengan aksi maaf, seperti membadut. (bahkan ada pula yang bergaya feminin). Masing-masing tebar pesona. Para jamaah pun ‘koor’ menjawab ‘pesan slogan’ yang dilontarkan ustadnya . Tivi-tivi lokal hingga nasional berebut tempat, seakan tak ingin ketinggalan rezeki.
Secara tak sengaja saya sering mendengar ibu-ibu membicarakan ustad-ustad berwajah ganteng di televisi, beberapa dari ibu-ibu bahkan berceloteh begini, “saya juga mau jadi istrinya. bla, bla, bla, bla.....”. Saya cuma tersenyum geli. Ternyata masih banyak umat yang ‘terhipnotis’ oleh penampilan fisik saja. Tak banyak dari mereka yang merenungi isi ceramah para ustad tersebut.
Dan lucunya, acara mereka semakin hari justru diminati. Tapi, sampai kapan?
Ini sama sekali tidak menyalahkan mereka para ustad. Ini negara demokratis kok. Mereka bebas berekspresi. Saya cuma merasa geli, kok begini ya wajah ustad kita di depan publik? Makin hari kok makin banyak saja yang terlihat menggelikan. Apakah umat sudah tidak lagi mempan dengan metode dakwah yang biasa-biasa?
Jujur, saya cuma merasa geli. Saya justru jadi tidak tertarik untuk menyimak kontennya.
Ah, mungkinkah ada yang salah dengan metode dakwah selama ini? Atau adakah metode dakwah lain yang tidak bikin geli?
Meski begitu banyak juga kok ustad kita yang cukup santun membawakan ceramahnya di televisi. Namun, saat harus memilih channel A atau B. Penonton televisi yang bijaksana tentu dapat memilih. Karena sesungguhnya khalayak penonton itu heterogen.
Terkadang saya pun ingin mengikuti kata bijak ini, “undzur maa qoola wala tandzur man qoola.” (Lihatlah apa yang dibicarakan dan jangan lihat siapa yang bicara.) Tapi secara manusiawi, saya tetap tidak nyaman melihat penampilan para ustad yang nyentrik itu. Padahal mereka justru lebih berwibawa jika membawakan pesan dakwahnya dengan cara-cara yang lebih santun dan elegan. Tak perlulah melebih-lebihkan gaya. Karena Islam itu indah dan tak perlu “dibumbui” dengan aksi-aksi narsis yang bikin sakit perut.
Wallahu ‘alam bishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H