Seberapa sering kamu menjumpai iklan startup pendidikan di televisi nasional?  Atau melihat  beragam poster startup pendidikan yang menampilkan artis/influencer kegemaranmu di sosial media? Tak hanya di Indonesia, startup pendidikan atau yang biasa dikenal dengan istilah startup EdTech, nyatanya marak muncul di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, market size dari startup EdTech per 2019 diyakini mencapai 112 miliar USD atau setara Rp1,5 triliun serta diprediksi tumbuh sebesar 24,9% per tahun [1]. Situasi pandemi meningkatkan permintaan akan sektor EdTech, dibuktikan dengan naiknya jumlah pengguna sebesar 200% dari keadaan sebelum pandemi [2]. Â
Kemunculan berbagai  startup pendidikan menimbulkan pertanyaan penting, apakah startup EdTech akan menjadi sektor startup potensial yang diincar karena tren semata atau justru dapat berkontribusi  bagi pembangunan pendidikan Indonesia? Apakah ada gap yang  dapat diperbaiki dan diantisipasi dari perkembangan startup pendidikan ini?
Apa itu Startup EdTech?
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang startup EdTech, rasanya kita perlu menelisik lebih dalam apa itu startup EdTech dan apa saja contohnya di Indonesia. Startup EdTech atau EdTech merupakan platform pendidikan berbasis teknologi, yang mencakup pelatihan hard skill maupun soft skill. Jenis EdTech beragam, yakni e-learning, Learning Management System (LMS), Software as a Services (SaaS), dan Massive Open Online Courses (MOOC). EdTech di Indonesia juga merambah ke berbagai sektor, mulai dari anak-anak hingga upaya peningkatan keterampilan para pencari kerja. Namun, artikel kali ini hanya akan berfokus pada startup EdTech dengan sektor jasa yang berhubungan langsung dengan anak-anak sekolah/K-12 (SD-SMP-SMA), seperti Zenius, Ruangguru, Mejakita, dan lainnya.
    Startup di Indonesia sendiri sedang hype dan digandrungi berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga tokoh-tokoh senior. Dilansir dari Kominfo (Komunikasi dan Informasi), startup Indonesia masih mendominasi startup di Asia Tenggara dan peringkat ke-5 dunia, setelah AS, India, Inggris, dan Kanada [3].
Tersedianya market yang potensial, dengan ditandai oleh meningkatnya jumlah pelajar indonesia sebagaimana ditunjukkan dalam tabel diatas, membuat startup sektor EdTech ini terkesan atraktif  bagi para perintis startup, khususnya dengan minat dalam bidang pendidikan. Keberadaan startup EdTech juga diyakini bertumbuh seiring adanya faktor pandemi yang memaksa pelajar Indonesia untuk belajar secara mandiri di rumah masing-masing. Situasi ini menandakan adanya  inovasi baru dalam pengembangan pendidikan Indonesia. Banyaknya pesaing seharusnya berkorelasi positif dengan meningkatnya kualitas tiap startup Edtech tersebut.  Namun, satu hal yang menarik perhatian, seiring dengan peningkatan jumlah startup EdTech di Indonesia, apakah startup yang ada benar-benar bermanfaat bagi peningkatan kualitas pendidikan Indonesia atau justru hanya tren semata?
Permasalahan Startup EdTech
Tahun 2015/2016 dapat dikatakan sebagai masa-masa jayanya startup EdTech yang ditandai dengan popularitas beberapa startup EdTech dikalangan pelajar. Meningkatnya popularitas beberapa startup EdTech yang ada pada masa itu, ditambah  perasaan Fear Of Missing Out (FOMO) dari pelajar Indonesia menjelang Ujian Nasional, meningkatkan rasa penasaran saya untuk akhirnya mencoba berlangganan di beberapa startup. Tidak jarang juga dapat ditemui teman-teman saya yang mengikuti bimbel konvensional ditambah dengan berlangganan startup EdTech. Tanpa disadari, pola ini memperlihatkan kembali adanya ketimpangan dalam pendidikan, dimana pelajar dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah tidak mendapat  privillege seperti pelajar dari kalangan mampu yang dapat  memilih bimbel konvensional dan berlanggan startup EdTech sekaligus.
Terkait harga, kebanyakan  startup EdTech memang mematok harga bimbel yang relatif lebih rendah daripada bimbel-bimbel konvensional. Bahkan, seiring berjalannya waktu, terdapat  startup EdTech gratis . Sekilas, hal ini rasanya memberikan secercah harapan, khususnya bagi para pelajar yang tidak memiliki kondisi finansial yang cukup untuk membayar bimbingan belajar konvensional. Namun, jika kita melihat secara mendalam, terdapat permasalahan lain yang luput dari pembicaraan. Inovasi-inovasi yang diberikan rasanya kurang cukup jika tak diimbangi dengan akses pelajar pada internet dan gadget yang memadai [4]. Meskipun, baru-baru ini, pemerintah dengan programnya berupa subsidi kuota telah berupaya menyukseskan pembelajaran digital. Namun, beberapa kritik bermunculan akan adanya inefisiensi dan ketidakmerataan pemberian subsidi kuota [5].
Selain itu, tingginya pesaing dalam sektor startup EdTech justru dapat membuat beberapa startup terkesan mengedepankan kuantitas dibandingkan dengan kualitas. Semakin banyak soal, semakin banyak video-video pembelajarannya dengan modul yang beragam, padahal materi yang ada hanya sebagai salinan dari textbook atau pertanyaan-pertanyaan yang dapat dicari pada kolom pencarian semata. Kesejahteraan guru atau pembuat soal juga dipertanyakan karena adanya faktor risiko dari pekerjaan freelancer, terutama bagi perusahaan yang belum memiliki kontrak jelas dengan pegawainya. Beberapa bulan yang lalu, sempat ramai di media terkait protes upah yang rendah dari suatu startup ternama [6]. Pada akhirnya, kualitas pun tampaknya kurang menjadi fokus utama bagi beberapa startup EdTech akibat berlomba-lomba dalam bersaing di pasar pelajar ini, terutama pada fase-fase "ramai" menjelang Ujian Sekolah maupun Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK). Masing-masing startup ini, berlomba-lomba mengadakan try out dengan pembahasan yang sebanyak-banyaknya. Poster-poster try out mulai bersebaran dengan masing-masing startup yang mempromosikan "keunggulannya".