Mohon tunggu...
SNF FEBUI
SNF FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Badan Semi Otonom di FEB UI

Founded in 1979, Sekolah Non Formal FEB UI (SNF FEB UI) is a non-profit organization contributing towards children's education, based in Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia. One of our main activities is giving additional lessons for 5th-grade students, from various elementary schools located near Universitas Indonesia. _________________________________________________________ LINE: @snf.febui _________________________________________________________ Instagram: @snf.febui ____________________________________________________ Twitter: @snf_febui _______________________________________________________ Facebook: SNF FEB UI ____________________________________________________ Youtube: Sekolah Non Formal FEB UI ______________________________________________________ Website: snf-febui.com ______________________________________________________ SNF FEB UI 2020-2021 | Learning, Humanism, Family, Enthusiasm | #SNFWeCare

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak dalam Jerat Kemiskinan: Tekanan Sosial hingga Prostitusi Online

25 April 2021   16:55 Diperbarui: 25 April 2021   17:31 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafik 1. Tingkat Kemiskinan di Indonesia / Sumber: bps.go.id

Apa yang ada di benakmu ketika melihat anak-anak yang berjualan di pinggir jalan? Memikirkan makanan apa yang akan dimakan untuk hari itu. Deka (8 tahun) dipaksa oleh ibunya untuk mengemis dan dilarang pergi ke sekolah. Tidak hanya itu, baru-baru ini seorang ibu ditangkap karena menjual anaknya kepada pria hidung belang guna melunasi utangnya [1].

Grafik 1. Tingkat Kemiskinan di Indonesia / Sumber: bps.go.id
Grafik 1. Tingkat Kemiskinan di Indonesia / Sumber: bps.go.id
Pandemi yang melanda seluruh dunia, terutama Indonesia, tentunya membawa efek kejut tertentu. Salah satunya dengan semakin meningkatnya angka kemiskinan rumah tangga menjadi 26,42 juta orang pada bulan Maret 2020. 

Menurut data Kementerian Keuangan, jumlah pengangguran yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19 telah mencapai jumlah total 9,77 juta orang per November 2020 [2]. 

Lebih lanjutnya, Athia Yumna, Deputy Director of Research and Outreach SMERU, memaparkan dampak pandemi terhadap rumah tangga per Oktober-November 2020 yang diyakini dapat berakibat semakin parah, dengan penurunan pendapatan sebanyak tiga dari empat rumah tangga, dan 14% pencari nafkah yang harus mengubah nasibnya dan beralih ke sektor pertanian dan konstruksi [3].

Dalam banyaknya pemberitaan yang berfokus pada lemahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran tersebut, kita seringkali dilupakan akan nasib anak-anak kecil yang sudah diharuskan untuk terlahir dalam lingkungan yang kumuh dan kurang dari cukup. Seberapa jauh kemiskinan berdampak pada anak-anak? Apakah pemerintah turut turun tangan dalam menangani permasalahan ini?

Kemiskinan Anak dan Permasalahannya

Menurut BPS, suatu penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran  perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan di Indonesia pada bulan maret 2020 mencapai Rp454.652/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan (GKM) sebesar Rp335.793 (73,86%) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) sebesar Rp118.859 (26,14%) [4].

Komposisi penduduk miskin ini pun tidak hanya terpaku pada orang dewasa, namun juga melanda anak-anak sebagai bagian dari demografi Indonesia. Bahkan, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh UNICEF, sebanyak 1 dari 4 anak Indonesia rentan mengalami kemiskinan dengan data pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 7% anak dikategorikan "miskin ekstrem" (pengeluaran kurang dari US$1,90) dan 26% dikategorikan "miskin sedang" (pengeluaran antara US$1,90 - US$3,1) [5]. 

Melihat data-data yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan kemiskinan anak di Indonesia masih banyak. Namun, jika kita melihat lebih dalam, kemiskinan anak ini lebih dari sekedar menahan rasa lapar dan hidup serba kekurangan. Kemiskinan anak, nyatanya banyak membawa permasalahan yang mengakar dan diyakini menjadi domino effect bagi permasalahan-permasalahan lainnya.

Apa saja permasalahan tersebut? Mengapa Isu kemiskinan anak menjadi isu yang penting untuk diatasi?

Hidup dan terlahir dalam kondisi kekurangan tentu tidak menjadi impian atau sesuatu yang diinginkan oleh anak. Ibarat roda kehidupan yang terus berjalan, kemiskinan bagi anak menjadi suatu "takdir" yang mau tidak mau harus diterimanya sejak ia lahir. 

Permasalahan ekonomi yang mengekang membuat anak cenderung mendapatkan asupan gizi yang tidak seimbang pada usianya. Terlebih, pandemi COVID-19 memperburuk kondisi lebih dari dua juta anak dengan gizi buruk dan tujuh juta anak anak usia dibawah 5 tahun yang mengalami permasalahan stunting. 

Bahkan, UNICEF memperkirakan bahwa akibat COVID-19, permasalahan wasting anak usia dibawah 5 tahun, secara global, dapat mengalami peningkatan sebesar 15 persen [6]. Tidak terbatas pada permasalahan kekurangan gizi, kemiskinan juga banyak dirasakan dengan kurangnya akses pada hygiene dan sanitasi dari lingkungan sekitarnya, baik itu akses pada air yang bersih hingga kebersihan udara.

Selain itu, melihat dari faktor keluarga sebagai lingkungan yang penting bagi pengembangan anak, anak-anak ternyata tidak sepenuhnya aman. Keluarga yang diyakini menjadi "tempat berteduh" justru seolah-olah menjadi hal yang sebaliknya. 

Kurangnya akses orangtua pada pendidikan parenting dan tekanan ekonomi yang dialami orangtua, tidak jarang menjadikan anak sebagai "pelampiasan" dari semua rasa lelah yang dialaminya. 

Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) melaporkan terjadinya peningkatan kasus kekerasan pada anak di masa pandemi hingga mencapai tingkat 2.700 kasus, dengan dominasi 52% kasus merupakan kekerasan seksual pada anak [7]. Andriyanto, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, meyakini bahwa peningkatan tersebut, terutama dalam hal wilayah Jawa Timur sebagai wilayah dengan tingkat kekerasan anak tertinggi, dipengaruhi oleh faktor stress akibat tekanan ekonomi di masa pandemi.

Rendahnya hubungan dengan orangtua serta desakan ekonomi yang ada, mendorong anak untuk kemudian terjun dalam dunia prostitusi. Selain itu, faktor lingkungan juga berpengaruh penting dalam motivasi anak dibawah umur untuk bergabung dalam dunia tersebut. 

Menurut psikolog anak Ghianina Yasira Armand, di Indonesia, tingkat pelacuran dan perdagangan anak telah mencapai jumlah 150.000 anak. Ia memaparkan bahwa faktor lingkungan berpengaruh pada preferensi anak dalam dunia prostitusi dengan adanya "figur" tertentu yang dekat dengan lingkungannya. 

Bisa jadi dari orangtua, teman, maupun orang-orang lain di sekitarnya yang berpengalaman dalam dunia prostitusi [8]. Bahkan, hal ini diperparah di Kamboja, dimana orangtua secara sengaja menjual anaknya yang berusia 15 tahun kepada seorang pedofil demi memenuhi kebutuhan ekonominya sebagaimana didokumentasikan dalam film dokumenter "My Mother Sold Me. Cambodia, where virginity is a commodity". 

Andil Pemerintah dalam Pengentasan Isu Kemiskinan Anak

Pemerintah memang tidak tinggal diam dalam proses penanggulangan isu ini. Berbagai upaya telah dilakukan, seperti halnya bantuan-bantuan dalam Program Keluarga Harapan (PKH) yang ditargetkan untuk 10 juta keluarga dengan alokasi anggaran Rp37,4 triliun, diikuti bantuan sosial dalam bentuk beras 15 kilogram, serta Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp500.000 kepada penerima kartu sembako dan pekerja dengan penghasilan dibawah Rp5 juta per bulan [9]. Dalam hal pendidikan, pemerintah juga telah menerapkan Program Indonesia Pintar (PIP) melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebagai pengembangan dari Bantuan Siswa Miskin (BSM)  untuk anak usia sekolah (6-21 tahun). 

Dengan pergantian dari BSM ke KIP ini, jangkauan yang berusaha diraih oleh pemerintah juga menjadi lebih luas, dengan menargetkan pada anak miskin dan rentan miskin, serta diberikan juga kepada keluarga anak-anak yang putus sekolah untuk dapat memberdayakan diri melalui pelatihan formal (sekolah) maupun nonformal [10]. 

Tidak hanya itu, kesehatan juga menjadi prioritas yang penting dengan adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan. Hadirnya BPJS Kesehatan ini, sekiranya menjadi secercah harapan bagi masyarakat miskin maupun rentan miskin untuk memperoleh kemudahan akses pada kesehatan dengan keringanan pembayaran iuran bagi masyarakat penerima Penerima Bantuan Iuran (PBI). 

Terlepas dari segala upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, permasalahan kemiskinan anak nyatanya masih ada. Jika ditelusuri dari segi implementasi, kita dapat melihat bagaimana pelaksanannya masih banyak memperoleh kontra dan keluhan masyarakat. Hal ini sebagaimana dalam BPJS Kesehatan, dengan pelayanannya yang tergolong rumit dan sifatnya yang terbatas. 

Program KIP juga masih mengalami hambatan dalam hal pendistribusiannya yang tidak merata dan kurangnya keterlibatan publik dalam pengawasannya. Dalam pelaksanannya juga, KIP masih belum mencapai kesesuaian dengan targetnya guna menekan angka putus sekolah. Totok Amin, penggiat pendidikan dari Universitas Paramadina, menyebutkan kesulitan yang dialami pemerintah dalam menekan angka putus sekolah juga berasal dari faktor internal , yakni banyaknya anak usia sekolah yang terlanjur tidak mau bersekolah dan memilih bekerja [11].

Dapatkah Isu Kemiskinan Anak Menemukan Titik Akhir?

Kemiskinan anak, sama halnya dengan isu ketimpangan sosial, merupakan permasalahan yang hampir selalu ada pada setiap negara dan tidak pernah berujung. Bahkan, dalam laporan yang dikeluarkan UNICEF, terdapat 8 negara maju yang memiliki tingkat kemiskinan anak terbesar, diantaranya Portugal, Italia, Kanada, Amerika Serikat, Bulgaria, Israel, dan Romania sebagai negara maju dengan tingkat kemiskinan anak terbesar pertama [12]. 

Hal ini menyadarkan kita bahwa perjuangan dalam memberantas kemiskinan anak ini, nyatanya bukan hanya perjuangan Indonesia semata. Hal ini selayaknya menjadi tantangan dan motivasi bagi bangsa Indonesia untuk terus bergandengan tangan dan bangkit. Dalam rentang waktu antara tahun 2000-2015, Indonesia pernah menunjukkan keberhasilannya dalam menurunkan tingkat kemiskinan hingga 2,1% dan menempati peringkat 11 dalam kategori negara yang mampu memerangi kemiskinan ekstrem [13].

Melihat keberhasilan tersebut, harusnya menjadikan kita lebih optimis dan percaya akan potensi yang dimiliki Indonesia. Dalam hal kemiskinan anak, peran orangtua juga menjadi sumber penting bagi pengembangan diri anak. 

Kemiskinan tidak sepenuhnya menjamin bahwa anak akan menjadi orang yang tidak sukses dan berujung mengerjakan perbuatan kriminal. Kemiskinan yang dialami anak juga tidak menjamin bahwa ia tidak bisa keluar. 

Betapa banyak orang-orang sukses dan inspiratif, yang berawal dari kalangan ekonomi yang kurang mampu. Dahlan Iskan, sosok yang pernah menjabat sebagai Menteri BUMN itu, ternyata memiliki keterbatasan ekonomi di masa kecil hingga tidak mempunyai sepatu untuk sekolah. 

Begitu juga dengan Ciputra, sosok pengusaha properti yang sukses, sempat mengalami pahitnya kehidupan dengan membanting tulang pada usianya yang berusia 12 tahun. 

Tidak hanya dari internal, faktor eksternal juga menjadi faktor yang penting. Dr.Lee, seorang dokter Indonesia yang berinisiatif membuat konsep "rumah sakit apung" dalam usahanya yang bernama "Doctor Share" guna membantu masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah 3T dalam mengakses pelayanan kesehatan yang baik.

Pada akhirnya, isu kemiskinan anak ini membutuhkan fokus dan perhatian yang lebih. Anak-anak, sebagai penentu dan pewaris kemajuan bangsa, sudah selayaknya diprioritaskan dalam rencana pembangunan negara. Isu ini pun dapat dicegah dan dimulai dari orangtua, sebagai sumber pengetahuan pertama anak, diikuti oleh lingkungan sekitar. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nelson Mandela, selama kemiskinan, ketidakadilan, dan ketimpangan masih ada di dunia, tidak ada dari kita yang dapat benar-benar beristirahat.

Referensi

[1] Media, K. (2021). Ibu yang Tega "Jual" Anak Kandung ke Pria Hidung Belang: Anak Saya 7, Utang Banyak... Halaman all - Kompas.com. Retrieved 19 April 2021, from kompas.com

[2] Ma'arif, N. (2021). 9,77 Juta Orang Kena PHK, MPR Soroti SDM dan Literasi Teknologi. Retrieved 3 April 2021, from detik.com

[3] Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Rumah Tangga Memerlukan Kebijakan Menyeluruh. (2021). Retrieved 3 April 2021, from mpr.go.id

[4] Badan Pusat Statistik. (2021). Retrieved 3 April 2021, from bps.go.id

[5] (2021). Retrieved 3 April 2021, from unicef.org

[6] Indonesia: Angka masalah gizi pada anak akibat COVID-19 dapat meningkat tajam kecuali jika tindakan cepat diambil. (2021). Retrieved 3 April 2021, from unicef.org

[7] Media, K. (2021). Komnas PA: Ada 2.700 Kasus Kekerasan Terhadap Anak Selama 2020, Mayoritas Kejahatan Seksual. Retrieved 3 April 2021, from kompas.com

[8] Media, K. (2021). Marak Prostitusi Anak, Ahli Sebut 3 Faktor Pemicu Tak Terelakkan Halaman all - Kompas.com. Retrieved 3 April 2021, from kompas.com

[9] 6 Fakta Bansos Diperpanjang hingga 2021, Diumumkan 14 Agustus : Okezone Economy. (2021). Retrieved 3 April 2021, from okezone.com

[10] Beda dengan Bantuan Siswa Miskin, ini Serba-serbi Kartu Indonesia Pintar. (2021). Retrieved 3 April 2021, from detik.com

[11] Masih Ada Persoalan dalam Penyaluran KIP. (2021). Retrieved 3 April 2021, from beritasatu.com

[12] 8 Negara Maju dengan Tingkat Kemiskinan Anak Tertinggi. (2021). Retrieved 3 April 2021, from liputan6.com

[13] Purnomo, H. (2021). Top Pak Jokowi! Perangi Kemiskinan Ekstrem, RI Masuk 15 Besar - Halaman 2. Retrieved 3 April 2021, from cnbcindonesia.com

[14] Badan Pusat Statistik. (2021). Retrieved 3 April 2021, from bps.go.id

[15] GTV News. (2015, June 5). Miris! Anak Ini Dipaksa Mengemis Oleh Ibunya Untuk Nafkahi Keluarga - BIS 04/06 [Video]. YouTube. youtube.com

[16] RTV. (2018, October 25). My Mother Sold Me. Cambodia, where virginity is a commodity [Video]. YouTube. youtube.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun