Apa yang ada di benakmu ketika melihat anak-anak yang berjualan di pinggir jalan? Memikirkan makanan apa yang akan dimakan untuk hari itu. Deka (8 tahun) dipaksa oleh ibunya untuk mengemis dan dilarang pergi ke sekolah. Tidak hanya itu, baru-baru ini seorang ibu ditangkap karena menjual anaknya kepada pria hidung belang guna melunasi utangnya [1].
Pandemi yang melanda seluruh dunia, terutama Indonesia, tentunya membawa efek kejut tertentu. Salah satunya dengan semakin meningkatnya angka kemiskinan rumah tangga menjadi 26,42 juta orang pada bulan Maret 2020.Â
Menurut data Kementerian Keuangan, jumlah pengangguran yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19 telah mencapai jumlah total 9,77 juta orang per November 2020 [2].Â
Lebih lanjutnya, Athia Yumna, Deputy Director of Research and Outreach SMERU, memaparkan dampak pandemi terhadap rumah tangga per Oktober-November 2020 yang diyakini dapat berakibat semakin parah, dengan penurunan pendapatan sebanyak tiga dari empat rumah tangga, dan 14% pencari nafkah yang harus mengubah nasibnya dan beralih ke sektor pertanian dan konstruksi [3].
Dalam banyaknya pemberitaan yang berfokus pada lemahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran tersebut, kita seringkali dilupakan akan nasib anak-anak kecil yang sudah diharuskan untuk terlahir dalam lingkungan yang kumuh dan kurang dari cukup. Seberapa jauh kemiskinan berdampak pada anak-anak? Apakah pemerintah turut turun tangan dalam menangani permasalahan ini?
Kemiskinan Anak dan Permasalahannya
Menurut BPS, suatu penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran  perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan di Indonesia pada bulan maret 2020 mencapai Rp454.652/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan (GKM) sebesar Rp335.793 (73,86%) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) sebesar Rp118.859 (26,14%) [4].
Komposisi penduduk miskin ini pun tidak hanya terpaku pada orang dewasa, namun juga melanda anak-anak sebagai bagian dari demografi Indonesia. Bahkan, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh UNICEF, sebanyak 1 dari 4 anak Indonesia rentan mengalami kemiskinan dengan data pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 7% anak dikategorikan "miskin ekstrem" (pengeluaran kurang dari US$1,90) dan 26% dikategorikan "miskin sedang" (pengeluaran antara US$1,90 - US$3,1) [5].Â
Melihat data-data yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan kemiskinan anak di Indonesia masih banyak. Namun, jika kita melihat lebih dalam, kemiskinan anak ini lebih dari sekedar menahan rasa lapar dan hidup serba kekurangan. Kemiskinan anak, nyatanya banyak membawa permasalahan yang mengakar dan diyakini menjadi domino effect bagi permasalahan-permasalahan lainnya.
Apa saja permasalahan tersebut? Mengapa Isu kemiskinan anak menjadi isu yang penting untuk diatasi?
Hidup dan terlahir dalam kondisi kekurangan tentu tidak menjadi impian atau sesuatu yang diinginkan oleh anak. Ibarat roda kehidupan yang terus berjalan, kemiskinan bagi anak menjadi suatu "takdir" yang mau tidak mau harus diterimanya sejak ia lahir.Â