"Yah... hujannya turun lagi," ucapku seraya menatap langit yang kian lama kian menggelap.Â
Aku melihat jam tanganku. Sudah pukul 6 petang rupanya. Ini sudah ketiga kalinya aku berteduh. Aku menghembuskan nafasku. Hari ini sungguh sangat melelahkan. Mulai dari urusan pekerjaan, perkuliahan , semua sedang mengejarku rasanya. Semua masalah memang harus kuhadapi, harus kujalani. Sudah tidak ada lagi kata tegar, yang aku lakukan dikala kesal hanya bisa menangis. Berusaha pun sudah, tetapi untuk apa apabila terus saja disalahkan tanpa pembelaan? Â
Dengan tekadku, aku memberanikan diri untuk menerobos hujan sore ini. Tidak apa walaupun aku akan basah kuyup, yang penting aku sampai di rumah. Seperti sudah remuk rasanya seluruh persendianku ini. Ditambah lagi angkutan umum yang kosong sulit sekali diyemukan saat ini.
"Ra, tunggu!" Aku menoleh ke sumber suara itu. Suara yang aku pahami betul siapa pemiliknya. Lagi dan lagi, aku bertemu dengannya. Sangat canggung rupanya. Aku menghentikan langkahku di tengah rintikan hujan yang mulai deras.Â
Aku tertegun seperti biasa. Hanya bisa menatapnya dengan detakan jantung yang tidak karuan lagi rasanya. "Pakai payung punyaku saja. Aku duluan, Ra. Kamu hati-hati, ya!" ucapnya seraya memberikan payung itu kepadaku. Lagi dan lagi hanya ini yang bisa aku lakukan. Terdiam membeku sambil memegang payung itu di tanganku.Â
"Terus... kamu bagaimana...?" Percayalah, ini adalah kalimat terpanjang yang pernah kulontarkan kepadanya.Â
"Sudah. Tak usah kamu pikirkan. Sudah, ya. Aku duluan. Dah.... "
Aku masih terdiam di sudut halte sore itu. Aku memandangnya yang berlari kecil di bawah rintik hujan sore ini. Aku melihatnya yang semakin lama menghilang di balik tikungan. Ya, kamu masih begitu, menyukai hujan yang membasahi tubuhmu. Dan aku, masih menyukai hujan saat bersamamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H